Sabtu, 30 Mei 2009

Muhammad Fuad Abdul Baqi [1388H/1968M]


Muhammad Fuad bin ‘Abd al-Baqi b. Salleh b. Muhammad (w1388H / 1968M).Beliau merupakan seorang penyusun indeks di dalam lapangan Sunnah Nabawiyah dan juga ayat-ayat al-Quran.

Beliau berasal dari negara Mesir dan pernah mengajar di sekolah-sekolah sekitar kota Kaherah, kemudiannya menjadi penterjemah Bahasa Arab dari Bahasa Perancis untuk Bank Pertanian di Kaherah dari tahun 1905 hingga tahun 1933.

Setelah itu, beliau berhenti dari kerjanya dan mula bergiat dalam bidang penulisan secara langsung. Penglihatannya kabur dan menjadi buta sebelum beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir di kota Kaherah kerana terlalu banyak membaca dan mentelaah buku dan kitab. Seorang yang rajin berpuasa, bersemangat gigih serta cekal dalam mencapai hasratnya.

Karyanya:

* Kitab “Miftah Kunuz al-Sunnah” yang telah diterjemahkan dari Bahasa Inggeris ke dalam Bahasa Arab adalah satu sumbangan beliau di samping usahanya untuk mempelajari bahasa tersebut,
* Kitab “Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Quran”,
* Kitab “al-Lu’lu’ wa al-Marjan Fi Ma Ittafaqa ‘ala Syaikhan” iaitu himpunan hadis yang disepakati oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, setebal 3 jilid,
* Kitab “Mu’jam Gharib al-Quran” dan
* Indeks untuk kitab “Muwatta’ Imam Malik”,
* Indeks untuk kitab “Sunan Ibn Majah” dan
* Indeks untuk kitab “Sahih Muslim” di samping sedikit huraian.

Semoga Allah merahmatinya dan kita semua! Amin ya Rabb!

Biografi Imam Ibnu Hibban

Pengarang kitab Shahih Ibnu Hibban adalah imam Ibnu Hibban. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban. Ia juga memiliki kunyah yaitu Abu Hatim al-Busti. Sebagai seorang ahli hadits ternama, ia mendapatkan gelar al-hafizh, sebuah gelar kehormatan yang hanya disematkan pada pakar hadits yang pilih tanding.

Ibnu Hibban lahir di desa Busta (Afganistan). Ia dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang sangat kental dengan nuansa religius, sehingga ia menjadi seorang muslim yang taat beribadah. Disamping itu, ia juga mendapat bimbingan langsung dari orangtuanya mengenai dasar-dasar agama. Karenanya tak heran jika sejak kecil ia sudah menguasai berbagai disiplin keilmuan Islam, seperti fikih, tafsir, akhlak, sejarah dan hadits.

Akan tetapi di kemudian hari, minatnya terfokus pada disiplin ilmu hadits. Iapun mengkonsentrasikan diri menekuni pelajaran hadits, tanpa mengabaikan bidang ilmu lainnya.

Setiap guru yang ahli di bidang keilmuan tertentu ia datangi. Ketika ingin belajar tafsir, ia mengunjungi guru tafsir. Ketika hendak mendalami disiplin ilmu fikih, ia menjambangi guru fiqih. Ketika berhasrat menekuni bidang hadits, iapun mendatangi guru hadits. Demikian seterusnya.

Itulah yang dijalankan oleh Ibnu Hibban ketika menuntut ilmu. Terlebih ketika berniat untuk menekuni ilmu hadits, ia berjuang mati-matian untuk mendapatkannya. Iapun mulai belajar hadits kepada guru-guru hadits didaerahnya. Setelah semua guru hadits didaerahnya ia datangi, ia memohon doa restu orangtuanya untuk mengembara ke negeri-negeri lain.

Dalam pengembaraannya mencari hadits, ia sempat menjadi salah seorang murid imam Ibnu Khuzaimah. Sungguh rute perjalanan keilmuan Ibnu Hibban sangat panjang. Ia menuntut ilmu sampai ke Khurasan, Syiria, Mesir, Irak, dan Semenanjung Arab.

Setelah dirasa cukup, Ibnu Hibban pun kembali ke tempat asalnya. Di daerahnya, dia didaulat sebagai guru besar hadits. Bahkan, ia diangkat oleh pemerintah di daerahnya sebagai hakim syariat.

Di tengah kesibukannya menangani persoalan peradilan agama, ia menyempatkan diri untuk menulis karya tulis. Salah satu karya terbesarnya adalah Taqasimul Anwa atau lebih dikenal dengan Shahih Ibnu Hibban. Kitab ini kemudian disusun kembali oleh Abi bin Balban dan hingga sekarang dikenal dengan nama al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibnu Hibban atau Taqrib Ibnu Balban ‘Ala Shahih Ibnu Hibban.

Disamping kitab tersebut, Ibnu Hibban juga memusatkan diri untuk menulis kitab mengenai kualitas perawi hadits. Diantara karyanya tentang hal ini adalah Majruhin minal Muhadditsin. Sayangnya, hingga sekarang kitab yang terakhir ini masih belum bisa sampai ke tangan kita, karena masih berbentuk manuskrip yang disimpan di perpustakaan Masjid Aya Sofya, Turki.

Karya Ibnu Hibban lainnya yang terkait dengan perawi hadits adalah al-Majruhin minal Muhadditsin wa ad-Du’afa wa al-Matrukin, sebuah kitab yang memuat daftar perawi hadits yang ditinggalkan perkataannya dan perawi dhoif yang terkena jarh (cela). Kitab ini tersusun dalam tiga jilid. Disamping itu ia juga menyusun kitab yang berjudul ats-Tsiqat setebal 9 juz yang memuat daftar para perawi hadits yang berkualitas terpercaya (tsiqah).

Diantara hadits yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Hibban adalah sebuah hadits yang terkait dengan qiyamul lail di bulan Ramadhan. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat, setelah itu beliau shalat witir. Pada malam berikutnya, kamipun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau hingga datang waktu fajar.

Pagi harinya, kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami menunggumu tadi malam dengan harapan engkau akan shalat bersama kami”. “Sungguh aku khawatir kalau akhirnya shalat itu menjadi wajib atas kalian”, jawab beliau.

Sebagai seorang pakar hadits, Ibnu Hibban menjadi panutan para ulama hadits. Adapun di bidang fiqih, ia menjadi penganut mahdzab Syafi’i. Bahkan biografinya termaktub dalam Thaqabat asy-Syafi’iyyah, sebuah kitab yang merekam biografi para ulama mahdzab Syafi’i.

Sumber: Dzulmani, Mengenal Kitab-kitab hadits. Terbitan Pustaka Insan Madani, Yogyakarta. 2008.

Biografi Ibnu Khuzaimah (223-311 H)

Ibnu Khuzaimah (223-311 H)
Ibnu Khuzaimah nama lengkapnya ialah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah al-Naisaburi. Ia lahir pada bulan Safar 223 H (838 M) di Naisabur (Nisapur), sebuah kota kecil di Khurasan, yang sekarang terletak di bagian timur negara Iran.
Sejak kecil ia telah mempelajari al-Qur’an, setelah itu konon ia sangat ingin untuk melawat menemui Ibn Qutaibah (wafat tahun 240 H) guna mencari dan mempelajari hadits. Lantas ia meminta izin kepada ayahnya namun ayahnya meminta agar puteranya terlebih dahulu mempelajari al-Qur’an hingga benar-benarn memahaminya. Setelah dianggap mampu memahami al-Qur’an barulah ia diizinkan oleh ayahnya mencari dan mempelajari hadits-hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan melawat ke Marwa dan menemui Muhammad bin Hisyam serta Ibnu Qutaibah.
Sejak itulah, yakni sekitar tahun 240 H, ketika Ibnu Khuzaimah berusia tujuh belas tahun, ia giat mengadakan lawatan intelektual ke berbagai kawasan Islam. Di Naisabur ia belajar kepada Muhammad bin Humaid (wafat tahun 230 H), Ishaq bin Rahawaih (wafat 238 H) dan lain-lain. Di Marwa kepada ‘Ali bin Muhammad, di Ray kepada Muhammad bin Maran dan lain-lain, di Syam kepada Musa bin Sahl al-Ramli dan lain-lain, di Jazirah kepada ‘Abdul Jabbar bin al-A’la dan lain-lain, di Mesir kepada Yunus bin ‘Abdul al-A’la dan lain-lain, di Wasit kepada Muhammad bin Harb dan lain-lain, di Baghdad kepada Muhammad bin Ishaq al-Sagani dan lain-lain, di Basrah kepada Nashr bin ‘Ali al-Azadi al-Jahdimi dan lain-lain, dan di Kufah kepada Abu Kuraib Muhammad bin al-A’la al-Hamdani dan lain-lain.
Selain itu ia pun banyak meriwayatkan hadits dari Ahmad bin Mani’, Muhammad bin Rafi’, Muhammad bin Basyar, Bandar Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Muhammad bin Yahya al-Zuhali, Ahmad bin Sayar al-Marwazi dan sebagainya. Iapun menerima hadits dari imam al-Bukhari, Muslim dan Khalaq. Guru-guru imam Ibnu Khuzaimah memang sangat banyak jumlahnya. Dalam periwayatan hadits ia tidak mau menyampaikan hadits-hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang telah ia terima dari guru-gurunya sebelum betul-betul memahaminya, dan seringkali ia memperlihatkan cacatan-cacatannya kepada guru-gurunya.
Demikian juga dengan orang-orang atau murid-murid yang pernah meriwayatkan hadits dari Ibnu Khuzaimah jumlahnya sangat banyak, sejumlah guru pun ada yang menerima hadits darinya, seperti al-Bukhari, Muslim dan Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam. Diantara murid-murid Ibnu Khuzaimah ialah Yahya bin Muhammad bin Sa’id, Abu ‘Ali an-Naisaburi dan Khala’iq. Yang paling akhir meriwayatkan hadits darinya di Naisabur ialah cucunya sendiri yaitu Abu Thahir Muhammad bin al-Fadl.
Hadits-haditsnya pun banyak diriwayatkan oleh ulama-ulama terkemuka pada zamannya. Diantara yang meriwayatkan hadits darinya ialah Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub at-Tabra’i, Abu Hatim, Muhammad bin Hibban al-Busyti, Abu Ahmad, Abdullah ibn Abdul Jurjani, Abu Ishaq Ibrahim bin Abdullah bin al-Albihani, Abu Bakar Muhammad bin Ismail as-Sasi, al-Qafal al-Kabir dan lain-lain.
Berkat kecerdasan dan keuletannya dalam mencari ilmu pengetahuan, akhirnya beliau menjadi seorang imam besar di Khurasan. Iapun banyak menggeluti hadits dengan mempelajari dan mendiskusikannya. Karena itulah ia terkenal sebagai seorang hafizh dan digelari Imam al-A’immah (pemimpin diantara para pemimpin).
Dari segi kepribadiannya pun Ibnu Khuzaimah dikenal sebagai orang yang sangat baik. Banyak orang yang memberikan kesaksian dan komentar tentang hal ini. Ia dikenal sebagai orang yang berani menyampaikan kebenaran, kritik dan koreksi sekalipun terhadap penguasa, terutama jika berkaitan dengan penyampaian hadits yang keliru. Hal ini, misalnya ia lakukan ketika mengkritik Ismail bin Ahmad, salah seorang penguasa pada saat itu, yang menyampaikan hadits yang didalam sanadnya terdapat periwayatan yang tidak jelas yaitu Abu Zar al-Qadhi. Demikian lah kesaksian yang diberikan oleh Abu Bakar bin Baluih.
Iapun dikenal sangat dermawan dan suka bersedaqah. Abu Tahir Muhammad bin al-Fadl (wafat tahun 387 H), cucu Ibnu Khuzaimah menyatakan bahwa kakeknya suka bekerja keras dan suka memberi urang dan pakaian kepada pecinta ilmu meskipun sesungguhnya yang dimilikinya itu sangat terbatas. Sementara al-Hakim menyatakan bahwa Ibnu Khuzaimah sering melakukan dakwah secara besar-besaran di Bustan. Acara tersebut dihadiri oleh banyak orang, baik kaya maupun miskin.
Selain itu, iapun dikenal memiliki kecerdasan atau daya hafal yang luar biasa. Abu Ali al-Husain bin Muhammad al-Hafiz an-Naisaburi berkata, “Aku belum pernah menemukan orang sehebat Muhammad bin Ishaq (Ibnu Khuzaimah). Beliau sangat mampu menghafal hukum-hukum fiqih dari hadits-hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dari hafalan al-Qur’an”. Hal senada juga juga dikemukakan oleh ad-Daraquthni yang menyatakan bahwa ia adalah seorang pakar hadits yang sangat terpercaya dan sulit mencari bandingannya. Sementara itu, Ibnu Abi Hatim memberikan komentar bahwa Ibnu Khuzaimah adalah orang yang sangat mumpuni. Ar-Rabi’, salah seorang guru Ibnu Khuzaimah dalam bidang fiqih, disamping Ibnu Rahawaih dan al-Muzani, juga menuturkan secara tulus bahwa iapun banyak memperoleh manfaat dari Ibnu Khuzaimah.
Selama masa hayatnya, Ibnu Khuzaimah banyak menghasilkan karya tulis. Abu Abdullah al-Hakim menyebutkan bahwa karya Ibnu Khuzaimah mencapai lebih dari 140 buah. Sayangnya sebagian besar karya-karya beliau tidak sampai ke tangan kita, meskipun sekedar nama ataupun judulnya. Karyanya yang masih dapat dijumpai sampai saat ini hanya dua, yaitu kitab at-Tauhid dan Kitab Shahih (Mukhtashar)-nya (yang lebih populer dengan nama Shahih Ibnu Khuzaimah-red). Namun berdasarkan penyelusuran M.M. Azhami terhadap kedua kitab tersebut di dalamnya beliau menemukan ada 35 buah nama “kitab” yang pernah disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah. Nama-nama kitab yang disebutkan itu ialah: 1) al-Asyribah, 2) al-Imamah, 3) al-Ahwal, 4) al-Iman, 5) al-Iman wa al-Nuzur, 6) al-Birr wa al-Silah, 7) al-Buyu, al-Tafsir, 9) at-Taubah, 10) al-Tawakkal, 11) al-Jana’iz, 12) al-Jihad, 13) al-Du’a, 14) al-Da’awat, 15) Zikr Na’im al-Jannah, 16) Zikr Na’im al-Jannah, 17) al-Sadaqat, 18) al-Sadaqat min Kitabihi al-Kabir, 19) Sifat Nuzul al-Qur’an, 20) al-Mukhtashar min Kitab al-Salah, 21) al-Salat al-Kabir, 22) al-Salah, 23) al-Siyam, 24) al-Tibb wa al-Raqa, 25) al-Zihar, 26) al-Fitan, 27) Fadl Ali bin Abi Thalib, 28) al-Qadr, 29) al-Kabir, 30) al-Libas, 31) Ma’ani al-Qur’an, 32) al-Manasik, 33) al-Wara’, 34) al-Wasaya, dan 35) al-Qira’ah Khalfa al-Imam.
Dari penyebutan 35 nama kitab diatas, menurut M.M. Azhami termasuk-termasuk “Kitab” terdapat dapat memiliki tiga kemungkinan: (1) merupakan judul atau nama buku tersendiri, (2) hanya merupakan bagian atau bab dari satu buku, dan (3) dapat pula berarti kedua-duanya, yakni terkadang sebagai judul atau nama buku tersendiri, dan terkadang sebagai bagian atau bab dari suatu buku. M.M. Azhami berpendapat bahwa kemungkinan yang terakhirlah yang lebih kuat. Ia mengakui bahwa para ulama hadits seringkali menyusun kitab atau bukunya terdiri dari beberapa “kitab”. Hal itu misalnya dapat dilihat dalam Kitab Shahih al-Bukhari yang terdiri dari beberapa kitab yaitu (1) Kitab al-Iman, (2) Kitab al-Ilmi, (3) Kitab al-Wudlu, dan seterusnya.
Setelah mengisi masa hidupnya dengan berbagai perjuangan dan pengabdian, akhirnya pada malam sabtu tanggal 2 Zulqai’dah 311 H, Ibnu Khuzaimah wafat dalam usia kurang lebih 89 tahun. Jenazahnya dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dimakamkan di bekas kamarnya yang kemudian dijadikan makam.
Disalin dari Bab 11 “ Shahih Ibnu Khuzaimah” oleh Dadi Nurhaedi dalam buku “Studi Kitab hadits” Penulis: Dosen tafsir fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga-Yogyakarta. Penerbit Teras Press. Yogyakarta. Cet-1, Oktober 2003.

Ilmu Takhrij Hadits, Cara Mentakhrij Hadist dan Ilmu Sanad

*Pengertian Takhrij*

Takhrij menurut bahasa mempunyai beberapa makna. Yang paling mendekati di
sini adalah berasal dari kata *kharaja* ( خَرَجَ ) yang artinya nampak dari
tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata
*al-ikhraj* ( اْلِإخْرَج ) yang artinya menampakkan dan memperlihatkannya.
Dan *al-makhraj* ( المَخْرَج ) artinya artinya tempat keluar; dan
*akhrajal-hadits
wa kharrajahu* artinya menampakkan dan memperlihatkan hadits kepada orang
dengan menjelaskan tempat keluarnya.

*Takhrij* menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadits pada sumber
aslinya yang mengeluarkan hadits tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan
derajatnya ketika diperlukan.

*Sejarah Takhrij Hadits*

Penguasaan para ulama terdahulu terhadap sumber-sumber As-Sunnah begitu
luas, sehingga mereka tidakmerasa sulit jika disebutkan suatu hadits untuk
mengetahuinya dalam kitab-kitab As-Sunnah. Ketika semangat belajar sudah
melemah, mereka kesulitan untuk mengetahui tempat-tempat hadits yang
dijadikan sebagai rujukan para ulama dalam ilmu-ilmu syar'i. Maka sebagian
dari ulama bangkit dan memperlihatkan hadits-hadits yang ada pada sebagian
kitab dan menjelaskan sumbernya dari kitab-kitab As-Sunnah yang asli,
menjelaskan metodenya, dan menerangkan hukumnya dari yang shahih atas yang
dla'if. Lalu muncullah apa yang dinamakan dengan *"Kutub
At-Takhrij"*(buku-buku takhrij), yang diantaranya adalah :

- *Takhrij Ahaadits Al-Muhadzdzab*; karya Muhammad bin Musa Al-Hazimi
Asy-Syafi'I (wafat 548 H). Dan kitab *Al-Muhadzdzab* ini adalah kitab
mengenai fiqih madzhab Asy-Syafi'I karya Abu Ishaq Asy-Syairazi.
- *Takhrij Ahaadits Al-Mukhtashar Al-Kabir li Ibni Al-Hajib*; karya
Muhammad bin Ahmad Abdul-Hadi Al-Maqdisi (wafat 744 H).
- *Nashbur-Rayah li Ahaadits Al-Hidyah li Al-Marghinani*; karya Abdullah
bin Yusuf Az-Zaila'I (wafat 762 H).
- *Takhrij Ahaadits Al-Kasyaf li Az-Zamakhsyari*; karya Al-Hafidh
Az-Zaila'I juga. [Ibnu Hajar juga menulis *takhrij* untuk kitab ini
dengan judul *Al-Kafi Asy-Syaafi fii Takhrij Ahaadits Asy-Syaafi* ]
- *Al-Badrul-Munir fii Takhrijil-Ahaadits wal-Atsar Al-Waqi'ah
fisy-Syarhil-Kabir li Ar-Rafi'I*; karya Umar bin 'Ali bin Mulaqqin (wafat
804 H).
- *Al-Mughni 'an Hamlil-Asfaar fil-Asfaar fii Takhriji maa fil-Ihyaa'
minal-Akhbar*; karya Abdurrahman bin Al-Husain Al-'Iraqi (wafat tahun 806
H).
- *Takhrij Al-Ahaadits allati Yusyiiru ilaihat-Tirmidzi fii Kulli Baab*;
karya Al-Hafidh Al-'Iraqi juga.
- *At-Talkhiisul-Habiir fii Takhriji Ahaaditsi Syarh Al-Wajiz Al-Kabir li
Ar-Rafi'I*; karya Ahmad bin Ali bin Hajar Al-'Asqalani (wafat 852 H).
- *Ad-Dirayah fii Takhriji Ahaaditsil-Hidayah*; karya Al-Hafidh Ibnu
Hajar juga.
- *Tuhfatur-Rawi fii Takhriji Ahaaditsil-Baidlawi*; karya 'Abdurrauf Ali
Al-Manawi (wafat 1031 H).

*Contoh :*

Berikut ini contoh *takhrij* dari kitab *At-Talkhiisul-Habiir* (karya Ibnu
Hajar) :

Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,"Hadits 'Ali bahwasannya Al-'Abbas
meminta kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam tentang mempercepat
pembayaran zakat sebelum sampai tiba *haul*-nya. Maka Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam memberikan keringanan untuknya. Diriwayatkan
oleh Ahmad, para penyusun kitab Sunan, Al-Hakim, Ad-Daruquthni, dan
Al-Baihaqi; dari hadits Al-Hajjaj bin Dinar, dari Al-Hakam, dari Hajiyah bin
'Adi, dari 'Ali. Dan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari riwayat Israil, dari
Al-Hakam, dari Hajar Al-'Adawi, dari 'Ali. Ad-Daruquthni menyebutkan adanya
perbedaan tentang riwayat dari Al-Hakam. Dia menguatkan riwayat Manshur dari
Al-Hakam dari Al-Hasan bin Muslim bin Yanaq dari Nabi shallallaahu 'alaihi
wasallam dengan derajat *mursal*. Begitu juga Abu Dawud menguatkannya.
Al-Baihaqi berkata,"Imam Asy-Syafi'I berkata : 'Diriwayatkan dari Nabi
shallallaahu 'alaihi wasallam bahwasannya beliau mendahulukan zakat harta
Al-'Abbas sebelum tiba masa *haul* (setahun), dan aku tidak mengetahui
apakah ini benar atau tidak?'. Al-Baihaqi berkata,"Demikianlah riwayat
hadits ini dari saya. Dan diperkuat dengan hadits Abi Al-Bakhtari dari 'Ali,
bahwasannya Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,*"Kami sedang
membutuhkan lalu kami minta Al-'Abbas untuk mendahulukan zakatnya untuk dua
tahun"*. Para perawinya *tsiqah*, hanya saja dalam sanadnya terdapat *
inqitha'*. Dan sebagian lafadh menyatakan bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi
wasallam bersabda kepada 'Umar,"Kami pernah mempercepat harta Al-'Abbas pada
awal tahun". Diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi dari hadits Abi
Rafi'" [*At-Talkhiisul-Habiir* halaman 162-163]

*METODE TAKHRIJ*

Dalam takhrij terdapat beberapa macam metode yang diringkas dengan mengambil
pokok-pokoknya sebagai berikut :

*Metode Pertama, takhrij dengan cara mengetahui perawi hadits dari shahabat*

Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama shahabat yang meriwayatkan
hadits, lalu kita mencari bantuan dari tiga macam karya hadits :

- *Al-Masaanid* (musnad-musnad) : Dalam kitab ini disebutkan
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh setiap shahabat secara tersendiri.
Selama kita telah mengetahui nama shahabat yang meriwayatkan hadits, maka
kita mencari hadits tersebut dalam kitab *al-masaanid* hingga mendapatkan
petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.
- *Al-Ma'aajim* (mu'jam-mu'jam) : Susunan hadits di dalamnya berdasarkan
urutan musnad para shahabat atau *syuyukh* (guru-guru) atau bangsa
(tempat asal) sesuai huruf kamus (hijaiyyah). Dengan mengetahui nama
shahabat dapat memudahkan untuk merujuk haditsnya.
- Kitab-kitab *Al-Athraf* : Kebanyakan kitab-kitab *al-athraf* disusun
berdasarkan musnad-musnad para shahabat dengan urutan nama mereka sesuai
huruf kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadits itu, maka
dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab *
al-athraf* tadi untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap.

*Metode Kedua, takhrij dengan mengetahui permulaan lafadh dari hadits*

Cara ini dapat dibantu dengan :

- Kitab-kitab yang berisi tentang hadits-hadits yang dikenal oleh orang
banyak, misalnya : *Ad-Durarul-Muntatsirah
fil-Ahaaditsil-Musytaharah*karya As-Suyuthi;
*Al-Laali Al-Mantsuurah fil-Ahaaditsl-Masyhurah* karya Ibnu Hajar;
*Al-Maqashidul-Hasanah
fii Bayaani Katsiirin minal-Ahaaditsil-Musytahirah 'alal-Alsinah* karya
As-Sakhawi; *Tamyiizuth-Thayyibminal-Khabits fiimaa Yaduru 'ala
Alsinatin-Naas minal-Hadiits* karya Ibnu Ad-Dabi' Asy-Syaibani;
*Kasyful-Khafa
wa Muziilul-Ilbas 'amma Isytahara minal-Ahaadits 'ala
Alsinatin-Naas*karya Al-'Ajluni.
- Kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan urutan huruf kamus,
misalnya : *Al-Jami'ush-Shaghiir minal-Ahaaditsil-Basyir An-Nadzir* karya
As-Suyuthi.
- Petunjuk-petunjuk dan indeks yang disusun para ulama untuk kitab-kitab
tertentu, misalnya : *Miftah Ash-Shahihain* karya At-Tauqadi; *Miftah
At-Tartiibi li Ahaaditsi Tarikh Al-Khathib* karya Sayyid Ahmad
Al-Ghumari; *Al-Bughiyyah fii Tartibi Ahaaditsi Shahih Muslim* karya
Muhammad Fuad Abdul-Baqi; *Miftah Muwaththa' Malik* karya Muhammad Fuad
Abdul-Baqi.

*Metode Ketiga, takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang
penggunaannya oleh orang dari bagian mana saja dari matan hadits*

Metode ini dapat dibantu dengan kitab *Al-Mu'jam Al-Mufahras li
Alfaadzil-Hadits An-Nabawi*, berisi sembilan kitab yang paling terkenal
diantara kitab-kitab hadits, yaitu : *Kutubus-Sittah, Muwaththa'* Imam
Malik, Musnad Ahmad, dan Musnad Ad-Darimi. Kitab ini disusun oleh seorang
orientalis, yaitu Dr. Vensink (meninggal 1939 M), seorang guru bahasa Arab
di Universitas Leiden Belanda; dan ikut dalam menyebarkan dan mengedarkannya
kitab ini adalah Muhammad Fuad Abdul-Baqi.

*Metode Keempat, takhrij dengan cara mengetahui tema pembahasan hadits*

Jika telah diketahui tema dan objek pembahasan hadits, maka bisa dibantu
dalam *takhrij*-nya dengan karya-karya hadits yang disusun berdasarkan
bab-bab dan judul-judul. Cara ini banyak dibantu dengan kitab *Miftah Kunuz
As-Sunnah* yang berisi daftar isi hadits yang disusun berdasarkan
judul-judul pembahasan. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis
berkebangsaan Belanda yang bernama Dr. Arinjan Vensink juga. Kitab ini
mencakup daftar isi untuk 14 kitab hadits yang terkenal, yaitu :

- Shahih Bukhari
- Shahih Muslim
- Sunan Abu Dawud
- Jami' At-Tirmidzi
- Sunan An-Nasa'i
- Sunan Ibnu Majah
- Muwaththa' Malik
- Musnad Ahmad
- Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi
- Sunan Ad-Darimi
- Musnad Zaid bin 'Ali
- Sirah Ibnu Hisyam
- Maghazi Al-Waqidi
- Thabaqat Ibnu Sa'ad

Dalam menyusun kitab ini, penyusun (Dr. Vensink) menghabiskan waktunya
selama 10 tahun, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan diedarkan
oleh Muhammad Fuad Abdul-Baqi yang menghabiskan waktu untuk itu selama 4
tahun.

Lebih Lanjut bisa di baca disini dalam bentuk pdf, *Mengenal Kitab dan Cara
Mentakhrij Hadist*
(1)
| (2)
| (3
)

*STUDI SANAD HADITS*

Yang dimaksudkan dengan studi sanad hadits adalah mempelajari mata rantai
para perawi yang ada dalam sanad hadits. Yaitu dengan menitikberatkan pada
mengetahui biografi, kuat lemahnya hafalan serta penyebabnya, mengetahui
apakah mata rantai sanad antara seorang perawi dengan yang lain bersambung
atau terputus, dengan mengetahui waktu lahir dan wafat mereka, dan
mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan *Al-Jarh wat-Ta'dil*.

Setelah mempelajari semua unsur yang tersebut di atas, kemudian kita dapat
memberikan hukum kepada sanad hadits. Seperti mengatakan,"Sanad hadits ini
shahih, Sanad hadits ini lemah, atau Sanad hadits ini dusta". Ini terkait
dengan memberikan hukum kepada sanad hadits.

Sedangkan dalam memberikan hukum kepada matan hadits, disamping melihat
semua unsur yang tersebut di atas, kita harus melihat unsur-unsur yang lain.
Seperti meneliti lebih jauh matannya untuk mengetahui apakah isinya
bertentangan dengan riwayat perawi yang lebih terpercaya atau tidak. Dan
apakah di dalamnya terdapat *illat* yang dapat menjadikannya tertolak atau
tidak. Kemudian setelah itu kita memberikan hukum kepada matan tersebut.
Seperti dengan mengatakan : "Hadits ini shahih" atau "Hadits ini dla'if".
Memberikan hukum kepada matan hadits lebih sulit daripada memberikan hukum
kepada sanad. Tidak ada yang mampu melakukannya kecuali yang ahli dalam
bidang ini dan sudah menjalaninya dalam kurun waktu yang lama.

Dalam studi sanad ini, buku-buku yang dapat digunakan untuk membantu adalah
buku-buku yang membahas tentang *Al-Jarh wat-Ta'dil* serta biografi para
perawi.

Sumber :Ditulis oleh Abu Al Jauzaa
TAFSIR PENDEKATAN SASTRA
(Metode Amin al-Khuli dan Bint al-Syathi’ dalam memahami al-Qur’an)

oleh:FajarD.K

Pendahuluan
Gagasan pemikiran evolutif dalam dunia pemikiran Islam seharusnya menjadi lokomotif bagi perkembangan kemajuan peradaban Islam yang sudah lama tertidur sementara mereka maju dengan pesatnya. Ide cemerlang progessif harus disadari betul oleh kaum muslim, khususnya kaum intelektual Islam yang mengaku memiliki tanggung jawab social-moral bagi citra baik agama tercinta ini. Gagasan ini bukan tanpa konsekwensi. Sebagai hal yang musti dilakukan tatkala tergugah melihat kenyataan yang terjadi dalam tubuh agama Islam adalah keberanian untuk coba sedikit merekonstruksi pemikiran ulama terdahulu yang dipandang sebagai boomerang bagi upaya menjawab berbagai permasalahan yang semakin kompleks dan runyam. Atau bahkan membuat sesuatu yang amat berbeda sekaligus demi cita-cita ideal tersebut. Gagasan itu harus memiliki prinsip dasar pada relevansi dengan tuntutan permasalahan yang sesuai dengan perkembangan zaman, sekaligus sebagai penolakan atas aturan-aturan hukum yang bersifat dogmatis dalam satu masa tertentu, serta sebagai penolakan terhadap kalangan yang mengklaim atas absolutisme ajaran keagamaan.
Salah satu pemikir Islam kontemporer yang memiliki kesadaran keharusan memberikan nuansa baru sekaligus kritik terhadap pendahulu adalah Amin al-Khuli. Kritikan beliau dialamatkan pada polemic di antara mufassir-mufassir klasik yang mengklaim memiliki kebenaran pada pendapat masing-masing, lebih-lebih jika problem dalam perbedaan itu berbau ideology. Tawaran yang beliau ajukan bagaimana pemahaman terhadap al-Qur’an tersebut dapat sepadan meskipun dari latar belakang yang berbeda-beda. Meskipun beliau hanya sebatas penggagas dan pencetus ide yang tidak memiliki karya tafsir tersendiri, namun kita bisa melihat banyak sekali pengaruh metodologi yang beliau tawarkan ini. Di antara murid-murid beliau yang tenar di dunia Islam kontemporer adalah Aisyah Binti Syathi dan Nasr Hamid Abu Zaid.
Pada makalah ini kami akan sedikit mengulas tokoh Amin al-Khuli dan Binti Syati’ yang dipandang memiliki kesamaan ide antara guru dan murid. Yaitu memahami al-Qur’an dari perspektif sastra, al-Qur’an sebagai kitab sastra yang agung. Berbeda dengan Nasr Hamid yang mencoba mengkomparasikan pemikiran sang guru dan Muhammad Abduh.

Setting Historis
§ Amin al-Khuli
Nama lengkap Amin al-Khuli adalah Amin Ibn Ibrohim Abdul Baqi’ Ibn Amir Ibn Ismail Ibn Yusuf al-khuli. Keluarga dia adalah keluarga pendekar Arab yang gagah pemberani dan kental nuansa keagamaannya. Kakek Amin al-Khuli dari pihak ibu nya (Fatimah) ini adalah Syekh Ali Amir al-Khuli yang terkenal dengan sebutan al-Sibhi seorang alumni al-Azhar,dengan speialisasi Qira’at . Dia lahir pada awal bulan mei 1895 M.
Pada usia tujuh tahun Amin tinggal bersama pamannya dan di gembleng dangan pendidikan agama yang sangat ketat seperti meng hafal al-qur’an,menghafal tajwit al-tuhfah dan al-jazariah, fiqh, dan nahwu. Adapun kitab yang wajib di hafal adalah al-samsia ,al-kanz, al-ajurumiah dan matan al-alfiah. Dalam penghafalan itu dia di beri keistimewaan yakni di usia yang ke sepuluh tahun dia sudah hafal al-qur’an khususnya Qra’at Hafs dalam waktu singkat”18 bulan”.
Pada usia yang kelima belas enam bulan enam hari Amin al-Khuli masuk akademi hukum (madrasah al-qada al-syar’i) dengan mata ujian masuk hafalan al-qur’an lengkap, membaca kitab dan mengarang dalam bidang fiqh dan nahwu. Selain itu juga mempelajari ilmu pengetahuan yang lain seperti al-jabar, matematika teoritis, astronomi, fisika, kimia, sejarah, sampai geografi. Selain itu dia juga aktif dalam organisasi yang diikuti Ikhwan al-Sofa dengan aktifitas di bidang seni dan sastra.
Pada tahun 1917 dia menulis tesis dengan titel al-Jundiyah al-Islamiyah wa nadmuha yang di terbitkan tahun 1960 dengan judul al-jundiyah wa silmu waqi’ wa nissal dan artikel yang ditulis al-Madinah al-jundiyah fi siqhiyah,al-Aslihah al-Nariyah fil juyusy al-islamiyah dan al-jundiyah fil islam.
Setelah mengecam berbagai aktifitas intelektual maupun sosial politik dengan penuh semanggat dan tanggung jawab demi kemajuan agama, negara dan bangsa dengan segala suka yang mana kesemuanya kental dengan nuansa seni-seni dan sastra, sehingga pada akhirnya yakni bertepatan pada hari Rabu tanggal 6 Maret 1966 dalam usia yang ke 71 tahun sang Pendekar Sastra dan Penbaharu ini meninggal.
§ Binti al-Syathi’
Bint syati', nama aslinya 'Aisyah 'Abd al-Rahman, guru besar sastra dan bahasa Arab pada Universitas 'Ain al-Syams, Mesir, guru besar tamu pada Universitas Umm Durman, Sudan, dan Guru besar tamu pada Universitas Qarawiyyin, Maroko. Lahir di Dumyat, sebelah barat delta Nil, tanggal 06 November 1913,dari keluarga muslim yang saleh. Ayahnya, 'Abd al-Rahman, adalah tokoh sufi dan guru teologi di Dumyat. Namun, demikian ia bukan orang asli Dumyat melinkan dari daerah Syubra Bakhum, sebelah wilayah di manufiyah. Setelah menyelesikan pendiikan di al-Azhar, ia menikah dengan putri Ibrahim Damhuji al-Kabir, seorang Syaikh al-Azhar.
Pendidikan bint al-Syathi dimulai dari belajar membaca dan menulis Arab pada Syaikh Mursi di Shubra Bakhum, di tempat asal ayahnya, ketika ia berumur 5 tahun. Selanjutnya ia masuk sekolah dasar untuk belajar gramatika bahasa arab dan dasar-dasar kepercayaan Islam, di Dumyat. Setelah menjalani pendidikan lanjutan, pada tahun 1939, ia berhasil meraih jenjang Licence (Lc) jurusan sastra dan bahasa Arab, pada Universitas Fuad I, Kairo. Dua tahun kemudian Bint al-Syathi menjalani jenjang Master, dan tahun 1950 meraih gelar doctor pada bidang yang sama dan lembaga pendidikan yang sama pula, dengan desertasi berjudul al-Ghufran li Abu al-A'la l-Ma'ari.
Karier akademik Bint al-syati dimulai sebagai guru sekolah dasar khusus perempuan di al-Mansuriah, 1929. Tahun 1932 menjadi supervisor pendidikan di sebuah lembaga bahasa untuk inggris dan perancis; tahun 1939 menjadi asisten Lektur pada Universitas Kairo, menjadi Inspektur bahasa Arab pada sebuah lembaga bahasa pada tahun 1942 sekaligus sebagai kritikus sastra pada Koran al-Ahram; menjadi lektur pada bahasa Arab pada Universitas 'Ain al-Syam tahun 1950, menadi asisten profesor untuk bahasa Arab pada Univrsitas yang sama pula tahun 1957, menjadi profesor sastra Arab pada sebuah Universitas khusus perempuan, dan akhirnya menjadi profesor penuh untuk sastra Arab pada Universitas 'Ain al-Syam, tahun 1967.
Disamping minat dalam bidang pendidikan dan sastra, bint al-Syathi juga mempunyai bakat jurnalistik yang besar. Ia telah menulis artikel di mass media sejak dipendidikan lanjut, suatu prestasi yang jarang terjadi di lingukungannya. Bakat ini kemudian di kembangkan dengan penerbit majalah al-Nahdlah al-Nasiyah, tahun 1933, dimana ia sekaligus bertindak sebagai redakturnya.
Tawaran Kreatif Amin al-Khuli dalam Studi al-Qur’an
Nama Amin al-Khuli dalam dunia tafsir mungkin tidak terlalu banyak didengar. Nama tokoh yang sejak usia dini (sepuluh tahun) sudah menghafal al-Qur’an dan beberapa matan kitab hadis ini justru tenggelam, sementara murid-muridnya banyak mendapat sorotan masyarakat. Di antara murid-murid beliau yang mampu memberikan pemikiran segar bagi studi al-Qur’an adalah Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Ahmad Khalf Allah, Syukri Ayyad, dan Binti Syathi’. Barangkali salah satu alasan yang menyebabkan demikian terjadi adalah hasil dari kajian murid dan pengikutnya ini di negerinya sendiri justru banyak mendapatkan pertentangan keras sehingga yang menjadi sorotan yang bersangkutan bukan pencetus ide utamanya. Tampaknya masyarakat muslim – baik kalangan elit maupun awam – dan Mesir khususnya, lebih memperhatikan kesimpulan akhir dari pada proses yang menghantarkanya.
Sumbangsih al-Khuli, setelah ia bergelut di dalam menelaah turats Arab-Islam terutama dalam bidang humanioranya, terletak pada gagasan prosedur memproduksi teks, dalam konteks ini al-Qur’an. Meskipun beliau bukan yang pertama, namun kesadaran para ulama dalam pandanganya terhadap al-Qur’an, sebelumnya memiliki kecenderungan yang tidak sepadan dengan beliau. Para sarjana sebelum Abduh melihat al-Qur’an dari sisi dogmatis-teologis. Sehingga memunculkan corak-corak tafsir ideologis yang amat sectarian dan cenderung eksklusif untuk secara lapang dapat menerima gagasan di luar dirinya. Sebagai akibat dari cara pandang ini maka penafsiran al-Qur’an lebih berupa latihan intelektual bidang tertentu seperti kalam, sufisme, fiqh, gramatika Arab atau sejarah bahkan cabang sains. Penafsiran semacam ini memberikan kesimpulan al-Qur’an hanyalah alat justifikasi bagi konsentrasi tertentu mufassirnya.
Untuk merenovasi bangunan tafsir semacam ini, Amin al-Khuli merasa perlu merancang dari dasar fondamen yang baru. Prinsip yang harus dipegang mufassir sebelum menafsirkan al-Qur’an, supaya tidak terjebak pada upaya mencari pembenar dari al-Qur’an atas kecenderungan pribadinya, diusulkan olehnya dengan cara memandang al-Qur’an sebagai sebuah karya sastra agung sebelum memandangnya kitab suci.
Pertama sekali al-Qur’an harus dianggap sebagai kitab al-‘Arabiyah al-kubra. Karena al-Qur’an mengabadikan bahasa Arab, menjadi kebanggaan bahasa Arab dan kearabanya diakui oleh semua orang Arab apapun agama mereka sepanjang mereka masih menyadari kearaban mereka. Dengan cara pandang ini Amin al-Khuli memprediksikan bahwa hasil akhir kesimpulan tentang al-Quran akan sama oleh mufassir yang muslim, maupun orang Kristen, kaum pagan, materialis, atau ateis. Dengan kata lain bahkan bukan kepentingan agama yang harus menjadi pangkal tolak penafsiran al-Qur’an. Bahwa hasil akhirnya nanti diperlukan bagi kepentingan agama, itu soal lain, karena dalam kasus semacam ini aksi penafsiran itu tidak terpengaruh oleh konsepsi keagamaan apapun jadi lebih relative objektif. Artinya penafsiran yang dibangun di atas cara pandang bahwa al-Qur’an adalah kitab sastra Arab besar, akan bisa mendapatkan dan mencapai makna sejati al-Qur’an.
Untuk mewujudkan cita-cita penafsiran ini Amin al-Khuli menetapkan tugas pokok seorang mufassir dalam aksi penafsiran dengan langkah studi eksternal teks (dirasah ma haul al-Qur’an) dan studi internal teks (dirasah fi al-Qur’an nafsihi).
Dua persyaratan ini menjadi keharusan bagi seorang mufassir yang ingin melahirkan tafsirnya bersifat sastrawi. Jadi seorang mufassir harus melacak terlebih dahulu lingkungan material maupun non material yang ada ketika al-Qur’an turun, hidup, dihimpun, dibaca, dan dihafal, juga bagaimana al-Qur’an berbicara pada audienya yang pertama.
Sedang studi aspek internal al-Qur’an dimaksudkan bahwa seorang mufassir harus melacak perkembangan makna dan signifikansi kata-kata tertentu al-Qur’an dalam bentuk tunggalnya. Kemudian dilacak indikasi makna ini dalam setiap generasinya agar dapat dilihat pergeseran makna dalam berbagai generasi serta pengaruhnya secara psikologis social dan peradaban umat terhadap pergeseran makna.
BINTI SYATI’ PENERUS PEMIKIRAN SANG SUAMI
Kepada Amin al-Khuly …
Mengarungi – bersamanya – lautan hidup,
Tampak olehku “tanda-tanda manusia”: Keagungan, ambisi, arogansi, ketajaman akal, kehalusan perasaan, keluhuran nuraninya.
Terasa pula “tragedy manusia”: Kelemahan, kerapuhan, keterbatasanya.
Dan disela-sela hidup dan matinya,
Aku menjadi sensitive dengan “kisah manusia”,
Dari mula perjalanan hingga puncaknya.
Mesir Baru, Maret 1969.
Beberapa untaian kalimat di atas diungkapkan Binti Syathi’ pasca kematian sang suami tercinta, Amin al-Khuli (w. 1966). Sekelumit memang, namun dapat menggambarkan kepedihan yang teramat berat karena ditinggal seorang yang “telah mengisi keberadaanku dengan nilai dan makna”.
Yang menjadi catatan penting di sini adalah bagaimana posisi Binti Syathi terhadap Amin al-Khuli dalam hal pemikiran dalam studi al-Qur’an. Binti Syathi’ adalah sosok yang telah meneruskan al-Khuli untuk mengungkap dan memahami al-Qur’an perspektif sastra yang dicetuskanya sebagai tawaran yang lebih dapat mengarah obyektifitas pemahaman non-ideologis-teologis. Secara jujur Binti Syathi’ mengakui bahwa metode yang beliau pakai ia peroleh dari guru besarnya di Universitas Fuad I.
Binti Syathi’ meyakini bahwa al-Qur’an menjelaskan dirinya dengan sendirinya, kedua al-Qur’an harus dipelajari dan dipahami keseluruhanya sebagai suatu kesatuan yang karakteristik-karakteristik ungkapan dan gaya bahasa yang khas, dan ketiga penerimaan atas tatanan kronologis al-Qur’an dapat memberikan keterangan sejarah mengenai kandungan al-Qur’an tanpa menghilangkan keabadaian nilainya.
Berdasarkan tiga dictum atau basis pemikiran di atas, Binti Syathi mengajukan metode tafsirnya, yang menurutnya diambil dan dikembangkan dari prinsip-prinsip metode penafsiran al-Khuli yang terdiri dari 4 langkah:
1. Memberlakukan apa yang ingin dipahami dari al-Qur’an secara obyektiif, dan hal ini dimulai dengan pengumpulan semua surah dan ayat mengenai topic yang ingin dipelajari.
2. Untuk memahami gagasan tertentu yang terkandung di dalam al-Qur’an, menurutn konteksnya, ayat-ayat di sekitar gagasan itu harus di susun menurut tatanan kronologis pewahyuan, hingga keterangan-keterangan mengenai wahyu dan tempat dapat diketahui.
3. Karena bahasa Arab adalah bahsa yang digunakan dalam al-Qur’an, maka harus dicari arti linguistic aslinya yang memiliki rasa kearaban kata tersebut dalam berbagai penggunaan material dan figuratifnya. Dengan demikian, makna al-Qur’an diusut melalui pengumpulan seluruh bentuk kata dalam al-Qur’an, dan mempelajari konteks spesifik kata itu dalam ayat-ayat dan surah-surah tertentu serta konteks umumnya dalam al-Quir’an.
4. Untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit, seorang mufassir harus berpegang pada makna nash dan semangatnya (maqashid al-syar’i), kemudian dikonfrontasikan dengan pendapat para mufassir. Namun, hanya pendapat yang sejalan dengan maksud teks yang bisa diterima sedangkan penafsiran yang berbau sectarian dan israilliyat bisa dijauhkan.
Beberapa Kesimpulan Binti Syathi’ Dari Hasil Pembacaan Terhadap al-Qur’an
Bahwa apa yang oleh sebagian ahli linguistic dipandang sinonim-sinonim, pada kenyataanya tidak pernah muncul di dalam al-Qur’an dengan pengertian yang benar-benar sama.
Penggunaan kata kerja diseputar peristiwa qiyamat, baik dalam bentuk pasif (majhul) atau lainya yaitu bentuk-bentuk VII dan VIII. Binti Syathi menyatakan para mufassir dan ahli retorika telah menyibukan diri dengan pertimbangan-pertimbangan tata bahasa di sekitar subjek-subjek seperti di atas, dengan demikian melupakan fenomena gaya penekanan al-Qur’an pada kepasifan alam raya pada hari qiyamat, ketika semua ciptaan secara spontan tunduk kepada peristiwa-peristiwa yang dahsyat pada hari itu. Lebih jauh bentuk kata kerja pasif mengonsentrasikan perhatian pada peristiwa dan mengabaikan sang pelaku actual, bentuk VII dan bentuk VIII secara kuat menunjukan ketundukan ketika peristiwa berlangsung.
Dengan aturan bahwa ayat-ayat yang setema disusun secara kronologi pewahyuan, bisa diketahui secara lebih meyakinkan tentang proses penetapan hukum dan arah tujuanya. Ini, antara lain, terlihat pada proses dan kronologi pelarangan minuman keras.
Dalam kaitanya dengan pemahaman teologis, bahwa kehendak yang diakui adalah yang berupa tindakan, bukan sekedar abstraksi intelektual atau suatu sifat, dan kehendak ini tidak bisa dipaksakan. Ini didasarkan atas studi bahwa kata arada (berkehendak) muncuk 140 kali; 50 kali dinisbatkan kepada Tuhan, 90 kepada makhluk. Kata ini tidak pernah muncul dalam bentuk kata kerja abstrak iradah, tetapi dalam bentuk madly dan kata kerja sekarang serta masa depan.

Contoh Tafsir Sastra Binti Syathi’
Salah satu contoh penafsiran Binti Syathi dengan pendekatan sastra dapat dilihat bagaimana beliau menafsirkan surat al-Duha. Menurut beliua surat Duha dimulai dengan qasam wawu. Pendapat yang berlaku dikalangan ulama terdahulu mengatakan bahwa, sumpah al-Qur’an ini mengandung makna pengagungan terhadap muqsam bih (obyek yang digunakan untuk bersumpah). Gagasan ini berkembang luas, sehingga menyeret mereka untuk melakukan pemaksaan di dalam menjelaskan segi keagungan pada setiap hal yang digunakan al-Qur’an untuk bersumpah dengan wawu.
Qasam dengan wawu pada umumnya adalah gaya bahasa yang menjelaskan makna-makna dengan penalaran inderawi. Keagungan yang tampak dimaksudkan untuk menciptakan daya tarik yang kuat. Sedangkan pemilihan muqsam bih dilakukan dengan memperhatikan sifat yang sesuai dengan keadaan. Menelusuri sumpah-sumpah al-Qur’an seperti yang terdapat dalam ayat al-Duha, kita menemukanya dikemukakan sebagai lafitah (penarikan perhatian) terhadap suatu gambaran materi yang dapat diindera, dan realitas yang dapat dilihat, sebagai inisiatif ilustratif bagi gambaran lain yang maknawi dan sejenis, tidak dapat dilihat dan diindera.
Dengan demikian, al-Qur’an dengan sumpah-sumpahnya dalam surat al-Duha menjelaskan makna-makna petunjuk dan kebenaran, atau kesesatan dan kebatilan, dengan materi-materi cahaya dan kegelapan. Penjelasan yang maknawi degan yang hissi ini dapat kita kemukakan pada sumpah-sumpah al-Qur’an dengan wawu. Yang demikian dapat diterima tanpa paksaan dalam pentakwilan ayat-ayat.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Khuli, Amin. Kamil sa’fan, Kairo:al-Haiah al-Misriyah al-Amamah lil Kitab,1982.

Amn, Muhammad, A Study of Bint al-Shati Exegesis, Kanada, Tesis McGill, 1992.

Golzier, Ignaz. Mazhab Tafsir, dari Aliran Klasik hingga Modern, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003.

Boullata, Issa J.. Pengantar Tafsir Binti al-Syathi’, terj. Ihsan Ali Fauzi, Bandung: Mizanj, 1996.

Mansur, Muhammad. “Amin al-Khuli dan Pergeseran Paradigma Tafsir al-Qur’an”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 6, No. 2, Juli, Yogyakarta: UIN Suka, 2005.

Nahdiyyin, Khairon. Pengantar Penerjemah “Metode Tafsir Sastra”, Amin al-Khuli dan Nasr Hamid Abu Zaid, Yogyakarta: Adab Press, 2004.

Jurnal al-Hikmah, (no.3, oktober 1991), hal 6. Tesis MA-nya sendiri berjudul, al-Hayah al-Insaniyah ind Abu al-A'la, diterbitkan Dar al-Ma'arif, Kaero, 1942.

Shaleh, Achmad Chudlari. “Bint al-Syathi: Tafsir tematik”, Pemikiran Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003.

Syathi’, Binti. Manusia, Sensitifitas Hermeneutika al-Qur’an, (Yogyakarta: LKPSM, 1997.

----------------. Tafsir Bintu al-Syathi’, (Bandung: Mizan,

Ignaz Golzier. Mazhab Tafsir, dari Aliran Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hal. 286.

Amin al-khuli. Kamil sa’fan, (kairo:al-Haiah al-Misriyah al-Amamah lil Kitab,1982)

Amin al-khuli. Kamil…hal. 7-8.

Amin al-khuli. Kamil…hal. 13.

Muhammad Amn, A Study of Bint al-Shati Exegesis, (Kanada, Tesis McGill, 1992,) hal 6.

Muhammad Amn, A Study…hal. 7.

Secara lebih luas, Ibid, 8-12. lihat pula, Issa j. Boullata, Tafsir al-Qur'an Modern Studi Atas metode bint al-Shati, dalam jurnal al-Hikmah, (no.3, oktober 1991), hal 6. Tesis MA-nya sendiri berjudul, al-Hayah al-Insaniyah ind Abu al-A'la, diterbitkan Dar al-Ma'arif, Kaero, 1942.

Ibid, hal 16-17.

M. Mansur. “Amin al-Khuli dan Pergeseran Paradigma Tafsir al-Qur’an”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 6, No. 2, Juli (Yogyakarta: UIN Suka, 2005), hal. 212.

Khairon Nahdiyyin. Pengantar Penerjemah “Metode Tafsir Sastra”, Amin al-Khuli dan Nasr Hamid Abu Zaid, (Yogyakarta: Adab Press, 2004), hal. Vi.

M. Mansur. “Amin … hal. 219.

M. Mansur. “Amin … hal. 220.

M. Mansur. “Amin … hal. 222.

Binti Syathi’. Manusia, Sensitifitas Hermeneutika al-Qur’an, (Yogyakarta: LKPSM, 1997), hal. 1-3.

Achmad Chudlari Shaleh. “Bint al-Syathi: Tafsir tematik”, Pemikiran Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hal. 112-113.

Issa J. Boullata. Pengantar Tafsir Binti al-Syathi’, terj. Ihsan Ali Fauzi, (Bandung: Mizanj, 1996), hal. 12-13.

Issa J. Boullata. Pengantar … hal. 22-23.

Achmad Chudlari Shaleh. “Bint al-Syathi … hal. 120.

Dr. Aisyah Abdurrahman. Tafsir Bintu al-Syathi’, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 49.

Dr. Aisyah Abdurrahman. Tafsir … hal. 51-52.
Sabotase Teks atas Kaum Hawa (Sebuah Anggapan)
Oleh Zaenab Mahmudah el-Wahied


Diskreditasi terhadap kaum hawa kian merajalela. Seakan tidak ada perimbangan sedikit pun mengenai obyek dan subyek yang dibidik. Demikian pula kesan yang terjadi ketika masalah gender dan feminisme dikupas. Melelahkan ketika suatu perbincangan dan pemecahan suatu masalah tidak berujung, terus berputar dan bermunculan. Dan mengasyikan, karena ternyata pembahasan ini selalu meng up-date nuansa dan wacana baru dengan jargon-jargon yang terus bermunculan dan berkembang hingga tak kita rasakan kejenuhanya. Maka jelas, diskursus gender adalah akar masalah yang membumi. Artinya, wacana ini tidak terhenti dalam satu fenomena kelompok atau golongan tertentu yang dipatok oleh garis geografis ataupun ideologis. Namun, lebih terfokus pada wacana global yang tanpa batas ruang dan waktu.
Sejenak kita tengok sejarah, dalam bisu, ternyata para ahli sejarah bersepakat "Islam datang ketika perempuan terseok-seok dalam kenestapaan dan keteraniayaan, dimana hak hidup yang merupakan hak asasi setiap individu tidak di dapatkan". Fenomena ini terus bergejolak hingga datang Islam dengan menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya kehidupan. Saat itu pula, Islam mengangkat harkat dan martabat perempuan dan melepaskan dari belenggu keteraniayaan.
Di tengah-tengah gemuruh permasalahan manusia, Allah mengutus Rasulullah ke bumi yang kemudian kian hari kian menyusut. Layaknya film yang berakhir dengan happy ending. Begitu pula dengan lahirnya Fathimah az-Zahra As dari rahim ibunda Khadijah merupakan seorang tauladan bagi kaum hawa yang telah Allah anugerahkan kepada masyarakat Islam untuk merenovasi kultur jahili menuju kultur Islami.
Al-Qur'an dan Sunnah yang dijadikan sebagai pedoman dasar hidup individu, ternyata dalam sebuah penafsiranya banyak terjadi penyelewengan dari beberapa oknum, khususnya dalam sebuah teks yang membahas tentang perempuan. Inilah yang kemudian dikenal dengan tafsir misoginis. Yakni sebuah penafsiran teks (al-Qur'an dan Sunnah) yang mendiskreditkan atau mendiskriminasikan kaum perempuan. Sebagai misal, termaktub dalam sabda Rasulullah Saw: "Sesungguhnya perempuan imanya, akalnya,...adalah kurang...", "Jauhilah bermusyawarah dengan perempuan karena pendapat dan tekadnya lemah...". Teks ini dalam realitanya dijadikan sebagai senjata para musuh untuk menyerang Islam. Lantas, apakah doktrin-doktrin agama menunjukkan adanya perbedaan substansi perempuan sebagaimana yang dipahami orang awam? Dan kalau memang mempunyai maksud yang lain, lantas bagaimana kita menginterpretasi hadist-hadist tersebut?
Ketika muncul sebuah interpretasi bahwa Islam membenci dan merendahkan wanita, maka ini layaknya penyakit kronis dalam sejarah kehidupan yang juga menimpa sekte, agama dan aliran kepercayaan lainnya. Jika kita tarik benang merah, maka sebenarnya masalah ini muncul karena sebuah penafsiran dan pemahaman yang dangkal pada sebuah doktrin agama dan sekte. Hendaknya ketika kita mengambil sepenggal kesimpulan dari al-Qur'an atau Sunnah yang kemudian menisbatkan kepada Islam dengan menyatakan "seperti inilah perempuan dalam perspektif Islam".
Tegasnya, penarikan kesimpulan ini tidak dapat dibenarkan oleh akal. Karena untuk mengetahui bagaimana perspektif perempuan dalam Islam, seharusnya menelaah ajaran Islam secara matang. Utamanya dari sumber-sumbernya. Jika bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah, maka harus merujuk kembali pada kedua sumber tersebut dan menganalisanya, baru setelah itu menarik sebuah kesimpulan dan mengatakan seperti inilah Islam memandang perempuan.
Kemudian, maksud dari "Imanya, akalnya,...adalah kurang..." bukan berarti Islam tidak menghargai kebrilianan otak kaum hawa. Namun, hal itu merupakan sebuah kekurangan mereka dalam peribadatannya, artinya Allah memberikan kelonggaran mereka untuk tidak beribadah layaknya umat muslim secara umum, yakni dengan diberikannya waktu istirahat (tawaquf fi al 'ibadah) sebagaimana dalam ibadah puasa dan shalat. Mereka tidak diperkenankan melakukannya dikarenakan haid atau nifas. Dalam kondisi demikian, seorang wanita tidak bisa melakukan pendekatan diri kepada Allah dalam syari'at secara formal.
Misoginis merupakan sebuah istilah ilmiah sebagaimana feminis, liberalis, dan lain-lainya yang berasal dari bahasa Inggris. Maka untuk mendefinisikannya hendaklah merujuk kembali pada kamus bahasa aslinya. Kata Misogini berasal dari kata "misogyny". Jhon M. Echols dan Hassan Shadzily menyebutnya dengan "kebencian terhadap wanita". Kemudian ketika kita merujuk pada kamus ilmiah populer, akan ditemukan tiga ungkapan, yaitu: pertama, "misogini" yang berarti "benci akan perempuan, membenci perempuan. Kedua, "misogini" yang berarti "benci akan perempuan, perasaan benci akan perempuan". Ketiga, "misoginis" yang artinya "laki-laki yang benci kepada perempuan". Namun, kemudian secara terminologi istilah misoginis juga di gunakan untuk doktrin-doktrin sebuah aliran pemikiran yang secara lahir memojokkan dan merendahkan derajat perempuan.
Maka untuk memahami teks-Hadist- di atas tidak menutup kemungkinan bahwa ternyata teks di atas menunjukkan kekurangan perempuan secara eksistensial. Jika hal ini benar adanya, lantas bagaimana dengan pribadi-pribadi seperti Maryam As dan Aisyah As yang Allah puji-puji dalam kalam-Nya dan Khadijah As dan Fatimah Zahra As yang Allah puji pula melalui Rasul-Nya yang merupakan insan kamil? Padahal, konsekuensi sebagai manusia sempurna bukankah berarti akal dan iman mereka harus sempurna juga?

Untuk menjawab tafsiran dalam hadist di atas, perlu adanya langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menafsiri sebuah hadist sehingga tidak didapatkan sebuah kesimpulan yang mengandung unsur diskriminatif terhadap perempuan. Langkah pertama, dengan menganalisa sanad hadist tersebut, apakah memenuhi standar legalitas yang diperlukan atau tidak? Jika dari sisi sanad terjadi masalah, lanjutkan dengan langkah berikutnya. Kedua, dengan memahami muatan hadist tersebut. Dan ketiga, melihat situsi dan kondisi ketika hadist tersebut di riwayatkan.

BINTU SYATHI'

Prof. DR. Aisyah Abdurrahman
Oleh Musyidah Mujahid


Prof.Dr Aisyah Abdurrahman adalah salah satu tokoh dalam bidang tafsir Al-qur’an dan sastra. Lebih dikenal dengan nama Bintu Syathi. Seorang sosok perempuan alim dan produktif. Lahir di Kota Dimyat Mesir pada tanggal 6 November 1913 M. Bertepatan 6 Dzulhijjah 1331 H. dari pasangan Muhammad Ali Abdurrahman dan Farida Abdussalam Muntasyir.
Bintu Syati’ hidup ditengah-tengah keluarga yang agamis, mapan, dan berpendidikan. Syeikh Ibrahim Addamhuji al Kabir, kakek dari garis keturunan sang ibu merupakan salah satu ulama besar Azhar.
Karir pendidikan Bintu Syathi’ dimulai dari umur 5 tahun. Sejak kecil, ia telah dididik serta dipersiapkan untuk menjadi seorang ulama Islam. Keluarganya selalu menekankan untuk senantiasa memperdalam khazanah pemikiran Islam. Hafalan Al Qur’an telah menjadi hidangan setiap harinya. Di usianya yang masih sangat belia, Bintu Syati’ telah menyelesaikan hafalan Al Qur’an.
Bintu Syathi menyelesaikan pendidikan dasarnya dengan predikat cumlaude. Hal ini mendorong ia untuk senantiasa menekuni ilmu-ilmu Islam. Setelah menyelesaikan studi ilmu pendidikan di Madrasah Ta’lîmiyyah Thanta tahun 1928, Bintu Syathi’ berinisiatif untuk hijrah ke Kota Kairo untuk lebih mencari pengalaman. Di ibu kota Mesir tersebut, seluruh bakat dan kecerdasan Bintu Syathi’ mulai ditempa.
Bintu Syathi’ memulai karirnya seorang penulis di sebuah lembaga, di Giza. Ia banyak melayangkan tulisannya ke beberapa media massa terkenal di Mesir. Diantaranya, majalah Nahdhah Islamiyyah, Ahram, dll. Dari sinilah nama besar Bintu Syathi’ mulai mencuat. Konon, nama pena ini (Bc: Bintu Syathi) sengaja dipakai karena takut akan kemarahan ayahnya ketika membaca artikel-artikel yang ditulis.
Kesibukannya dalam dunia tulis menulis bukanlah merupakan penghambat proses studinya. Tahun 1936, Bintu Syathi’ menyelesaikan studi S1 Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab di Universitas Cairo. Kemudian merampungkan program Magister di Universitas dan jurusan yang sama pada tahun 1941, dengan judul tesis al Hayât al Insâniyyah ‘Inda Abi ‘Ala’.
Di universitas Cairo, Bintu Syathi’ bertemu dengan sang pujaan hati, Amin Khuli, yang kemudian menjadi suaminya. Suaminya merupakan pakar ilmu Tafsir. Selain membimbing dalam keluarga, Amin Khuli, sang suami juga banyak memberikan pengaruh terhadap pemikiran Bintu Syati’. Hal ini terlihat dari corak beberapa tulisan dan pemaparan Bintu Syati’.
Tahun 1950 Bintu Syathi merampungkan studi Doktoralnya. Dengan judul disertasi Risâlatul Ghufran Li Abil ‘Ala’. Menghadirkan DR. Thaha Husein sebagai dosen penguji, Bintu Syati’ meraih predikat cumlaude.
Ilmu-ilmu yang telah diserap di bangku kuliah kemudian sampaikan di beberapa universitas. Diantaranya: Universitas Qarawiyyin Maroko, Universitas Cairo Mesir, Universitas ‘Ain Syam Mesir dan universitas Umm Durman Sudan. Selama puluhan tahun Bintu Syati’ abdikan dirinya menjadi dosen di bidang pendidikan dan studi Al Qur’an. Ia juga banyak memberikan kuliah dan ceramah dihadapan para sarjana di Roma, Al Jazair, New Delhi, Bagdad, Kuwait, Yerrusalem, Rabat, Fez, Khartoum, dll.
Bintu Syati’ berkali kali dinobatkan sebagai pakar ilmu Adab oleh beberapa institusi, pemerintah Mesir (1978), pemerintah Kuwait (1988), Raja Faishal (1994). Ide-ide brilian perempuan ini menarik perhatian beberapa penerbit dan media untuk menerbitkan karya-karyanya. Tema-tema yang diangkat lebih banyak berkisar tentang Sastra, Sejarah dan Tafsir Al Qur’an. Tapi tidak terbatas sampai disitu, Ia juga menulis tentang isu-isu yang banyak berkembang di dunia, seperti tentang posisi perempuan yang telah mengalami perubahan, perjuangan orang-orang Arab memerangi imperialisme Barat dan Zionisme.
Karya Bintu syathi sangat banyak, seluruh karyanya menjadi saksi kehebatan Bintu Syathi. Ada sekitar 40 judul buku dalam bidang Dirasah Islamiyyah, Fiqh, Tafsir, Adab, dll telah terbit di Mesir dan beberapa negara Arab. Diantaranya: Tafsir Bayani Lil Qur’anil Karim, Al I’jaz al Bayani Wa Masail Ibnu Arzu dan At Tafsir Al Bayani Lil Qur’an Al Karim, yang banyak menjadi rujukan metode penfsiran kontemporer.
Tulisan terakhir yang sempat diterbitkan oleh koran Ahram berjudul “Ali bin Abi Thalib Karramllahu Wajhah” tanggal 26 Februari 1998. Pada awal bulan Desember tahun 1998 Bintu Syathi’ menghembuskan nafas terakhirnya. Wafat dalam usia 85 tahun. Bintu Syati telah mati tapi nama beliau akan selalu hidup dan dikenang karna telah memberikan sumbangsih untuk kemajuan ilmu- ilmu Islam di bidang Tafsir.

BINTU SYATHI'

Prof. DR. Aisyah Abdurrahman


Prof.Dr Aisyah Abdurrahman adalah salah satu tokoh dalam bidang tafsir Al-qur’an dan sastra. Lebih dikenal dengan nama Bintu Syathi. Seorang sosok perempuan alim dan produktif. Lahir di Kota Dimyat Mesir pada tanggal 6 November 1913 M. Bertepatan 6 Dzulhijjah 1331 H. dari pasangan Muhammad Ali Abdurrahman dan Farida Abdussalam Muntasyir.
Bintu Syati’ hidup ditengah-tengah keluarga yang agamis, mapan, dan berpendidikan. Syeikh Ibrahim Addamhuji al Kabir, kakek dari garis keturunan sang ibu merupakan salah satu ulama besar Azhar.
Karir pendidikan Bintu Syathi’ dimulai dari umur 5 tahun. Sejak kecil, ia telah dididik serta dipersiapkan untuk menjadi seorang ulama Islam. Keluarganya selalu menekankan untuk senantiasa memperdalam khazanah pemikiran Islam. Hafalan Al Qur’an telah menjadi hidangan setiap harinya. Di usianya yang masih sangat belia, Bintu Syati’ telah menyelesaikan hafalan Al Qur’an.
Bintu Syathi menyelesaikan pendidikan dasarnya dengan predikat cumlaude. Hal ini mendorong ia untuk senantiasa menekuni ilmu-ilmu Islam. Setelah menyelesaikan studi ilmu pendidikan di Madrasah Ta’lîmiyyah Thanta tahun 1928, Bintu Syathi’ berinisiatif untuk hijrah ke Kota Kairo untuk lebih mencari pengalaman. Di ibu kota Mesir tersebut, seluruh bakat dan kecerdasan Bintu Syathi’ mulai ditempa.
Bintu Syathi’ memulai karirnya seorang penulis di sebuah lembaga, di Giza. Ia banyak melayangkan tulisannya ke beberapa media massa terkenal di Mesir. Diantaranya, majalah Nahdhah Islamiyyah, Ahram, dll. Dari sinilah nama besar Bintu Syathi’ mulai mencuat. Konon, nama pena ini (Bc: Bintu Syathi) sengaja dipakai karena takut akan kemarahan ayahnya ketika membaca artikel-artikel yang ditulis.
Kesibukannya dalam dunia tulis menulis bukanlah merupakan penghambat proses studinya. Tahun 1936, Bintu Syathi’ menyelesaikan studi S1 Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab di Universitas Cairo. Kemudian merampungkan program Magister di Universitas dan jurusan yang sama pada tahun 1941, dengan judul tesis al Hayât al Insâniyyah ‘Inda Abi ‘Ala’.
Di universitas Cairo, Bintu Syathi’ bertemu dengan sang pujaan hati, Amin Khuli, yang kemudian menjadi suaminya. Suaminya merupakan pakar ilmu Tafsir. Selain membimbing dalam keluarga, Amin Khuli, sang suami juga banyak memberikan pengaruh terhadap pemikiran Bintu Syati’. Hal ini terlihat dari corak beberapa tulisan dan pemaparan Bintu Syati’.
Tahun 1950 Bintu Syathi merampungkan studi Doktoralnya. Dengan judul disertasi Risâlatul Ghufran Li Abil ‘Ala’. Menghadirkan DR. Thaha Husein sebagai dosen penguji, Bintu Syati’ meraih predikat cumlaude.
Ilmu-ilmu yang telah diserap di bangku kuliah kemudian sampaikan di beberapa universitas. Diantaranya: Universitas Qarawiyyin Maroko, Universitas Cairo Mesir, Universitas ‘Ain Syam Mesir dan universitas Umm Durman Sudan. Selama puluhan tahun Bintu Syati’ abdikan dirinya menjadi dosen di bidang pendidikan dan studi Al Qur’an. Ia juga banyak memberikan kuliah dan ceramah dihadapan para sarjana di Roma, Al Jazair, New Delhi, Bagdad, Kuwait, Yerrusalem, Rabat, Fez, Khartoum, dll.
Bintu Syati’ berkali kali dinobatkan sebagai pakar ilmu Adab oleh beberapa institusi, pemerintah Mesir (1978), pemerintah Kuwait (1988), Raja Faishal (1994). Ide-ide brilian perempuan ini menarik perhatian beberapa penerbit dan media untuk menerbitkan karya-karyanya. Tema-tema yang diangkat lebih banyak berkisar tentang Sastra, Sejarah dan Tafsir Al Qur’an. Tapi tidak terbatas sampai disitu, Ia juga menulis tentang isu-isu yang banyak berkembang di dunia, seperti tentang posisi perempuan yang telah mengalami perubahan, perjuangan orang-orang Arab memerangi imperialisme Barat dan Zionisme.
Karya Bintu syathi sangat banyak, seluruh karyanya menjadi saksi kehebatan Bintu Syathi. Ada sekitar 40 judul buku dalam bidang Dirasah Islamiyyah, Fiqh, Tafsir, Adab, dll telah terbit di Mesir dan beberapa negara Arab. Diantaranya: Tafsir Bayani Lil Qur’anil Karim, Al I’jaz al Bayani Wa Masail Ibnu Arzu dan At Tafsir Al Bayani Lil Qur’an Al Karim, yang banyak menjadi rujukan metode penfsiran kontemporer.
Tulisan terakhir yang sempat diterbitkan oleh koran Ahram berjudul “Ali bin Abi Thalib Karramllahu Wajhah” tanggal 26 Februari 1998. Pada awal bulan Desember tahun 1998 Bintu Syathi’ menghembuskan nafas terakhirnya. Wafat dalam usia 85 tahun. Bintu Syati telah mati tapi nama beliau akan selalu hidup dan dikenang karna telah memberikan sumbangsih untuk kemajuan ilmu- ilmu Islam di bidang Tafsir.
Oleh Musyidah Mujahid
HASIL WAWANCARA MASYARAKAT MENGENAI
KH. MUHAMMAD ZAINI BIN ABDUL GHANI

Oleh : H. Hanafi (0601417757)
Diajukan sebagai tugas pada Mata Kuliah
Metodologi Penelitian Agama B
Dosen Pembimbing : Drs. Abdul Sani M. Ag







INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
BANJARMASIN
2009

A. Sejarah singkat KH. Muhammad Zaini Bin Abdul Ghani

Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syekh H. Muhammad Zaini Abdul Ghani bin Al ‘arif Billah Abdul Ghani bin H. Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin H. M. Sa’ad bin H. Abdullah bin ‘Alimul ‘allamah Mufti H. M. Khalid bin ‘Alimul ‘allamah Khalifah H. Hasanuddin bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Guru Sekumpul), dilahirkan pada, malam Rabu 25 Muharram 1361 H (11 Februari 1942 M) .

Nama kecilnya adalah Qusyairi, sejak kecil beliau termasuk dari salah seorang yang "mahfuzh", yaitu suatu keadaan yang sangat jarang sekali terjadi, kecuali bagi orang yang sudah dipilih oleh Allah SWT.Sejak kecil, beliau sudah mempunyai sifat dan pembawaan lain daripada yang lain, di antaranya beliau tidak pernah ihtilam.Guru Zaini sejak kecil selalu berada di samping kedua orang tua dan nenek, Salbiyah. Beliau dididik dengan penuh kasih sayang dan disiplin dalam pendidikan. Tauhid dan Akhlak sudah ditanamkan sejak bayi oleh ayah dan nenek beliau. Belajar membaca Al Quran dengan neneknya. Begitu pula guru pertama bidang ilmu Tauhid dan Akhlak.Kehidupan kedua orang tua beliau dalam keadaan ekonomi sangat lemah, namun mereka selalu memperhatikan untuk turut membantu dan meringankan beban guru yang mengajar anak mereka membaca Al Quran, sehingga setiap malamnya beliau selalu membawa bekal botol kecil yang berisi minyak tanah untuk diberikan kepada Guru yang mengajar Al Quran.Guru KH Zaini Abd. Ghani : 1. Ditingkat Ibtida adalah: Guru Abd Mu'az, Guru Sulaiman, Guru Muh. Zein, Guru H. Abd. Hamid Husin, Guru H. Mahalli, Guru H. Rafi'I, Guru Syahran, Guru H. Husin Dakhlan, Guru H. Salman Yusuf 2. Ditingkat Tsanawiyah adalah: 'Alimul Fadhil H. Sya'rani'Arif, 'Alimul Fadhil H, Husin Qadri, 'Alimul Fadhil H. Salilm Ma'ruf, 'Alimul Fadhil H. Seman Mulya, 'Alimul Fadhil H. Salman Jalil. 3. Guru dibidang Tajwid ialah: 'Alimul Fadhil H. Sya'rani 'Arif, 'Alimul Fadhil At Hafizh H. Nashrun Thahir, 'Al-Alim H. Aini Kandangan. 4. Guru Khusus adalah: 'Alimul'allamah H. Muhammad Syarwani Abdan, 'Alimul'allamah Asy Syekh As Sayyid Muh. Amin Kutby. Sanad sanad dalam berbagai bidang ilmu dan Thariqat diterima dari:
Kyai Falak (Bogor), 'Alimul'allamah Asy Syekh Muh Yasin Padang (Mekkah). 'Alimul'allamah As Syekh Hasan Masysyath, 'Alimul'allamah Asy Syekh Isma'il Yamani dan 'Alimul'allamah Asy Syekh Abd. Qadir Al Baar. 5. Guru pertama secara Ruhani ialah: 'Alimul 'allamah Ali Junaidi (Berau) bin 'Alimul Fadhil Qadhi H. Muhammad Amin bin 'Alimul 'allamah Mufti H. Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad, dan 'Alimul 'allamah H. Muhammad Syarwani Abdan.Kemudian 'Alimullailamah H. Muhammad Syarwani Abdan menyerahkan kepada Kiai Falak dan seterusnya Kiyi Falak menyerahkan kepada 'Alimul'allamah Asy Syekh As Sayyid Muh. Amin Kutby, kemudian beliau menyerahkan kepada Syekh Muhammad Arsyad yang selanjutnya langsung dipimpin oleh Rasulullah saw.Atas petunjuk 'Alimul'allamah Ali Junaidi, beliau dianjurkan untuk belajar kepada 'Alimul Fadhil H. Muhammad (Gadung) bin 'Alimul Fadhil H. Salman Farlisi bin 'Allimul'allamah Qadhi H. Mahmud bin Asiah binti Syekh Muhammad Arsyad, mengenal masalah Nur Muhammad; maka dengan demikian diantara guru beliau tentang Nur Muhammad antara lain adalah 'Alimul Fadhil H. M. Muhammad tersebut diatas.
Dalam usia kurang lebih 10 tahun, sudah mendapat khususiat dan anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf Hissi yaitu melihat dan mendengar apa yang ada di dalam atau yang terdinding.Dan dalam usia itu pula beliau didatangi oleh seseorang bekas pemberontak yang sangat ditakuti masyarakat akan kejahatan dan kekejamannya. Kedatangan orang tersebut tentunya sangat mengejutkan keluarga di rumah beliau. Namun apa yang terjadi, laki-laki tersebut ternyata ketika melihat beliau langsung sungkem dan minta ampun serta memohon minta dikontrol atau diperiksakan ilmunya yang selama itu ia amalkan, jika salah atau sesat minta dibetulkan dan dia pun minta agar supaya ditobatkan.
Beliau adalah seorang yang sangat mencintai para ulama dan orang yang shalih, hal ini tampak ketika beliau masih kecil, beliau selalu menunggu tempat yang biasanya 'Alimul Fadhil H. Zainal Ilmi lewati pada hari-hari tertentu ketika hendak pergi ke Banjarmasin semata mata hanya untuk bersalaman dan mencium tangan tuan Guru H Zainal Ilmi.
Karya tulis beliau adalah :- Risalah Mubarakah.- Manaqib Asy-Syekh As-Sayyid Muharnmad bin Abd. Karim Al-Qadiri Al Hasani As Samman Al Madani.- Ar Risalatun Nuraniyah fi Syarhit Tawassulatis Sammaniyah.- Nubdzatun fi Manaqibil Imamil Masyhur bil Ustadzil a'zham Muhammad bin Ali Ba-'Alwy.
Nasab Tuan Guru Zaini: H Muhammad Zaini Abdul Ghani bin Al 'arif Billah Abdul Ghani bin H Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin H M, Sa'ad bin H Abdullah bin 'Alimul 'allamah Mufti H M Khalid bin 'Alimul 'allamah Khalifah H Hasanuddin bin Syekh Muhammad Arsyad.
B. Karomah (kelebihan) KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani
Berbagai karomah (kelebihan) telah diberikan oleh Allah kepada beliau, diantaranya:
a. Ketika beliau masih tinggal di Kampung Keraton (Martapura), biasanya setelah selesai pembacaan maulid, beliau duduk-duduk dengan beberapa orang yang masih belum pulang sambil bercerita tentang orang orang tua dulu yang isi cerita itu untuk dapat diambil pelajaran dalam meningkatkan amaliyah. Tiba tiba beliau bercerita tentang buah rambutan, pada waktu itu masih belum musimnya; dengan tidak disadari dan diketaui oleh mereka yang hadir beliau mengacungkan tangannya kebelakang dan ternyata di tangan beliau terdapat sebiji buah rambutan yang masak, maka heranlah semua yang hadir melihat kejadian akan hal tersebut. Dan rambutan itupun langsung beliau makan.
b. Ketika beliau sedang menghadiri selamatan dan disuguhi jamuan oleh shahibul bait (tuan rumah) maka tampak ketika, itu makanan, tersebut hampir habis beliau makan, namun setelah piring tempat makanan itu diterima kembali oleh yang melayani beliau, sesudah dilihat, ternyata makanan yang tampak habis itu masih banyak bersisa dan seakan-akan tidak pernah dimakan oleh beliau.
c. Pada suatu musim kemarau yang panjang, di mana hujan sudah lama tidak turun sehingga sumur-sumur sudah hampir mengering, maka cemaslah masyarakat ketika itu dan mengharap agar hujan bisa segera turun. Melihat hal yang demikian banyak orang yang datang kepada beliau mohon minta doa beliau agar hujan segera turun, kemudian beliau lalu keluar rumah dan menuju pohon pisang yang masih berada di dekat rumah beliau waktu itu, maka beliau goyang-goyangkanlah pohon pisang tersebut dan ternyata tidak lama kemudian, hujanpun turun dengan derasnya.
d. Ketika pelaksanaan Haul Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang ke 189 di Dalam pagar Martapura, kebetulan pada masa itu sedang musim hujan sehingga membanjiri jalanan yang akan dilalui oleh ‘Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Asy-Syeikh H. M. Zaini Abdul Ghani menuju ke tempat pelaksanaan haul tersebut. Keadaan itu sempat mencemaskan panitia pelaksana haul tersebut, namun dan tidak disangka sejak pagi harinya jalanan yang akan dilalui oleh beliau yang masih digenangi air sudah kering, sehingga dengan mudahnya beliau dan rombongan melewati jalanan tersebut; dan setelah keesokan harinya jalanan itupun kembali digenangi air sampai beberapa hari kemudian.
Banyak orang orang yang menderita sakit seperti sakit ginjal, usus yang membusuk, anak yang tertelan peniti, ibu yang sedang hamil dan bayinya jungkir (sungsang) serta meninggal dalam kandungan, di mana semua kasus ini menurut keterangan dokter harus dioperasi. Namun keluarga sisakit kemudian pergi minta didoakan oleh ‘Allimul’allamah ‘Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abdul Ghani. Dengan air yang beliau berikan kesemuanya dapat tertolong dan sembuh tanpa dioperasi.
Demikianlah di antara karamah dan kekuasaan Tuhan yang ditunjukkan kepada diri seorang hamba yang dikasihi-Nya .
D. Pesan-pesan KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani
Beliau juga sempat memberikan beberapa pesan kepada seluruh masyarakat Islam, yakni:
1. Menghormati ulama dan orang tua
2. Baik sangka terhadap muslimin
3. Murah hati
4. Murah harta
5. Manis muka
6. Jangan menyakiti orang lain
7. Mengampunkan kesalahan orang lain
8. Jangan bermusuh-musuhan
9. Jangan tamak atau serakah
10.Berpegang kepada Allah, pada kabul segala hajat
11.Yakin keselamatan itu pada kebenaran.
E. Pandangan dan komentar mengenai KH. Muhammad Zaini Bin Abdul Ghani.
Muhammad Irfani menyebutkan : “Beliau adalah sosok seorang Guru besar asli banua yang “bujuran kawa disambat Warasatul Ambiya” (benar-benar layak disebut sebagai pewaris para nabi)”
Ikhwan Mirza menuturkan: “semenjak ulun mengikuti pengajian Beliau, rasanya ilmu agama benar-benar bertambah dan bermanfaat”.
H. M. Zainuddin HB mengatakan: “kami setiap minggu rutin pergi ke pengajian Abah Guru, karena beliau adalah Waliyullah yang kasyaf Hissi zaman ini yang masih hidup, kapan lagi kita bisa bertemu dengan wali seperti beliau…mumpung beliau masih hidup.”
Guru Ahmad Subqi : “Abah Guru itu adalah sosok teladan umat yang mumpuni di bidang syariat, thariqat, hakikat, dan ma’rifat, dan beliau adalah seorang wali Quthbul Ghauts, sudah menjadi kewajiban kita sebagai umat Rasulullah dan murid beliau untuk meneladani akhlak dan petuah-petuah beliau semampu kita, insya Allah…”
Namun disamping pendapat dan komentar yang positif tentang beliau, ada pula sebagian pendapat dan komentar yang bernada kritik dan mungkin agak kurang simpatik, di antaranya adalah;
1. Habib Abdul Hamid al-Kaff , beliau berujar: “Sidin tu…sebagai tokoh agama seharusnya berbaur dengan masyarakat yang tarap ekonominya rendah, tapi kenapa beliau malah dikelilingi oleh orang-orang berduit, padahal beliau sendiri sering memberikan petuah tentang hidup zuhud dan sederhana!”.
2. H. Anang Husaini : “sabuting haja pang nang aku masih pina ragu lawan sidin tu, bujuran lah sidin tu wali? Maka wali tu harus menjauhi seluruh apa-apa yang dilarang Allah sampai yang syubhat-syubhat, tapi kenapa sidin masih haja lagi baroko…timbul pengikut sidin ma’anggap bahwa baroko tu sunnah. Sunnah Guru kalu lih?” (satu saja yang saya masih meragukan nahwa beliau, aapakah beliau benar-benar seorang wali? Bukankah wali itu harus menjauhi seluruh apa-apa yang dilarang Allah, termasuk perkara yang syubhat, tapi mengapa beliau masih merokok…akibatnya pengikut-pengikut beliau beranggapan bahwa merokok itu hukumnya sunnah. Mungkin sunnah-nya Guru…)
Komentar-komentar Pro dan Kontra di atas adalah komentar yang telah berhasil penulis himpun dalam beberapa wawancara yang penulis lakukan di lapangan. Namun terlepas dari itu semua KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani adalah seorang tokoh agama terkemuka di Kalimantan Selatan, yang telah banyak memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan ilmu agama dan spiritual di tengah-tengah masyarakat. Sehingga nama beliau selalu disebut-sebut dan jadi contoh teladan bagi segenap lapisan masyarakat.
F. Peta ziarah kubah Guru Sekumpul
Setelah dirawat selama lebih kurang 10 hari di rumah sakit Mount Elizabeth Singapura, karena penyakit ginjal yang beliau derita, KH. M. Zaini bin Abdul Ghani wafat di Martapura pada hari Rabu, 5 Rajab 1426 H bertepatan dengan 10 Agustus 2005. dan di bawah adalah peta letak makam beliau.
JOHANES CALVIN (10 Juli 1509 – 27 Mei 1564)
Johanes Calvin adalah seorang pemimpin gerakan reformasi gereja di Swiss. Ia merupakan generasi yang kedua dalam jajaran pelopor dan pemimpin gerakan reformasi gereja pada abad ke-16, namun peranannya sangat besar dalam gereja-gereja reformatoris. Gereja-gereja yang mengikuti ajaran dan tata gereja yang digariskan Calvin tersebar di seluruh dunia. Gereja-gereja itu diberi nama Gereja Calvinis. Di Indonesia, gereja-gereja yang bercorak Calvinis merupakan golongan gereja yang terbesar.
Johanes Calvin dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1509 di Noyon, sebuah desa di sebelah utara kota Paris, Perancis. Ayahnya bernama Gerard Cauvin. Ibunya bernama Jeanne Lefranc. Ibunya adalah seorang wanita yang cantik dan saleh. Ia meninggal dunia tatkala Johanes Calvin masih muda. Gerard Cauvin bekerja sebagai pegawai uskup Noyon. Calvin memiliki empat saudara lelaki dan dua orang saudara perempuan. Keluarga Calvin mempunyai hubungan yang erat dengan keluarga bangsawan Noyon. Oleh karena itu, pendidikan elementernya ditempuh dalam istana bangsawan Noyon, Mommor, bersama-sama dengan anak-anak bangsawan itu. Itulah sebabnya maka Calvin memperlihatkan sifat-sifat kebangsawanan.
Pada mulanya ayah Calvin menginginkan anaknya untuk menjadi imam. Pada umur 12 tahun Calvin sudah menerima "tonsur" (pencukuran rambut dalam upacara inisiasi biarawan) dan ia sudah menerima upah dari paroki St. Martin de Marteville. Dengan penghasilan tersebut Calvin dapat meneruskan pendidikannya pada jenjang yang tinggi. Pada tahun 1523 Calvin memasuki College de la Marche di Park. Di sini ia belajar retorika dan Bahasa Latin. Bahasa Latin dipelajarinya pada seorang ahli bahasa Latin yang terkenal, yaitu Marthurin Cordier. Kemudian ia pindah ke College de Montague. Di sini Calvin belajar filsafat dan theologia. Di sekolah inilah Calvin belajar bersama dengan Ignatius dari Loyola, yang dikemudian hari menjadi musuh besar gerakan reformasi.
Setelah Calvin menyelesaikan pendidikannya itu tiba-tiba ayahnya tidak menginginkan anaknya lagi untuk menjadi imam. Ayahnya menginginkan Calvin menjadi seorang ahli hukum. Oleh karena itu Calvin memasuki Universitas Orleans untuk belajar ilmu hukum. Kemudian ia belajar juga di Universitas Bourges dan Paris. Bahasa Yunani dan Ibrani dipelajarinya dari Melchior Wolmar, seorang ahli bahasa terkenal pada abad itu. Dengan demikian Calvin menjadi seorang ahli hukum. Studi hukumnya sangat mempengaruhinya dalam usaha pembaharuan dan penataan gereja reformasi yang dipimpinnya. Calvin sangat menekankan ketertiban dan keteraturan dalam gereja.
April 1532, Calvin menerbitkan bukunya yang pertama, yaitu: Komentar Kitab De Clementia. Dalam buku ini dipersembahkan kepada Claude de Hangest, sahabat sekolahnya di keluarga bangsawan Mommer, di Noyon dahulu. Buku itu memperlihatkan Calvin sebagai seorang humanisme sejati. Dalam buku ini tidak terdapat tanda-tanda bahwa Calvin telah beralih ke pihak reformasi di Perancis. Dapat diduga bahwa Calvin telah membaca tulisan-tulisan Luther dan para reformator Swiss lainnya. Bilamana Calvin menjadi pengikut gerakan reformasi tidak dapat ditentukan dengan tepat. Pertobatannya kemungkinan terjadi pada akhir 1532 dan awal 1533. Hal ini didasarkan kepada suratnya kepada Bucer, yang meminta kepada Bucer di Strausburg untuk memberi perlindungan kepada orang-orang reformatoris yang melarikan diri karena dihambat di Perancis. Surat tersebut ditulis Oktober 1533. Mengenai pertobatannya, Calvin menulis sebagai berikut: " . . . muncullah suatu ajaran yang baru, yang tidak membelokkan kami dari pengakuan Kristen, malah justru membawa kami kembali kepada sumbernya yang asli, menyucikannya dari segala noda, mengembalikan kepadanya kemurniannya yang semula. Tetapi aku benci kepada hal hal yang baru itu, dan sukar mendengarnya sekalipun. Dan pada mulanya aku menentangnya sekeras-kerasnya, karena aku telah menempuh jalan yang sesat dan penuh kebodohan. Tetapi berkat pertobatan yang tiba- tiba, Allah menujukan hatiku kepada kepatuhan".
Pada tahun 1534 golongan reformatoris di Perancis dihambat dengan keras. Orang-orang reformatoris menyelamatkan dirinya dengan melarikan diri ke Swiss. Calvin pun ikut melarikan diri ke Strausburg di mana ia diterima dengan hangat oleh Bucer. Kemudian Calvin meneruskan perjalanannya ke Basel. Calvin tinggal di Basel setahun lebih lamanya. Selama itu Calvin masih pergi ke Perancis mengunjungi sahabat-sahabatnya dengan memakai nama-nama samaran seperti: Martianus Lucanius, Carolus Passelius, Calpunius, dan sebagainya. Di Basel inilah Calvin menerbitkan bukunya yang terkenal itu, yaitu: Religionis Christianae Institutio (Pengajaran tentang Agama Kristen), tahun 1536. Biasanya dikenal dengan sebutan Institutio. Buku ini kemudian direvisi berkali-kali dan menjadi buku dogmatika yang terutama dalam gereja-gereja Calvinis. Institutio adalah karangan theologia yang kedua yang keluar dari tangan Calvin. Buku theologia yang pertama adalah berjudul: Psychopannychia (Mengenai Tidurnya Jiwa-Jiwa), suatu karangan melawan ajaran Anabaptis yang mengajarkan bahwa jiwa manusia tidur hingga Kristus datang kembali setelah manusia itu meninggal.
Pada tahun 1536 Calvin pergi ke Italia. Dalam perjalanan pulang ke Basel ia terpaksa melalui Jenewa dan menginap di sana. Farel mendengar bahwa Calvin berada di Jenewa sehingga Farel mencari Calvin. Farel meminta kepada Calvin untuk tinggal di Jenewa dan bersama-sama dengan Farel menata kota Jenewa menjadi kota reformasi. Dua bulan sebelumnya Dewan Kota Jenewa telah memutuskan untuk menganut paham reformasi. Permintaan Farel ditolak oleh Calvin. Calvin mau hidup tenang dan terus menulis karya-karya theologia. Ia merasa tidak cocok dengan pekerjaan praktis dalam jemaat. Namun Farel mendesaknya dengan berkata: "Dengan nama Allah yang mahakuasa aku katakan kepadamu: jikalau engkau tidak mau menyerahkan dirimu kepada pekerjaan Tuhan ini, Allah akan mengutuki engkau karena engkau lebih mencari kehormatan dirimu sendiri daripada kemuliaan Kristus". Calvin melihat panggilan Allah kepadanya lewat Farel sehingga ia tinggal di Jenewa. Kini Calvin tinggal di Jenewa bersama-sama dengan Farel mengatur gereja reformatoris di sana. Mereka merancangkan sebuah tata gereja yang mengatur seluruh kehidupan warga kota menurut cita-cita theokrasi. Menurut rancangan tata gereja itu dikatakan, bahwa Perjamuan Kudus diadakan sebulan sekali dan berhubungan dengan itu akan dijalankan disiplin yang keras. Setiap penduduk diwajibkan menandatangani sehelai surat pengakuan sebagai tanda bahwa mereka sungguh-sungguh sadar akan iman dan pengakuannya. Hal yang terakhir ini tidak disetujui oleh banyak warga kota. Pada tahun 1538 Dewan Kota dikuasai oleh orang-orang yang menolak pengakuan itu sehingga Calvin dan Farel dilarang berkhotbah di mimbar-mimbar gereja di Jenewa, dan pada akhirnya keduanya diusir dari Jenewa. Kemudian Calvin dipanggil oleh jemaat Strausburg. Ia menjadi pendeta di sana tahun 1539-1541. Dalam jemaat ini Calvin bersama-sama Butzer dapat menerapkan cita-cita yang gagal di Jenewa dahulu. Di sini Calvin mengusahakan nyanyian Mazmur dengan bantuan ahli musik terkenal; yaitu Clement Marot, Louis Bourgois dan Maitre Piere. Di sini pula Calvin mulai menulis tafsiran-tafsiran Alkitab serta merevisi Institutio. Di sinilah pula Calvin menikah dengan Idelette de Bure, seorang janda bangsawan. Pernikahannya hanya berlangsung sembilan tahun lamanya, karena kemudian istrinya meninggal tanpa memberi keturunan kepada Calvin.
Namun tahun 1541 Calvin dipanggil kembali oleh jemaat Jenewa sehingga kita menemukannya lagi di sana. Calvin tinggal dan bekerja di sini hingga meninggalnya, 27 Mei 1564, karena mengidap TBC. Segera sesudah ia bekerja dalam jemaat Jenewa, Calvin menyusun suatu tata gereja baru yang bernama: Ordonnances Ecclesiastiques (Undang- undang Gerejani), 1541.
Calvin adalah seorang theolog besar dalam kalangan gereja-gereja reformatoris. Pandangan-pandangan theologianya dituangkannya dalam bukunya, Institutio.
Calvin mengajarkan tentang pembenaran hanya oleh iman (Sola Fide), sama seperti Luther. Namun Calvin sangat menekankan penyucian, kehidupan baru yang harus ditempuh oleh orang-orang Kristen yang bersyukur, karena Allah telah menyelamatkan mereka. Calvin menegaskan bahwa anggota-anggota jemaat yang berkumpul untuk mendengarkan Firman Allah dan untuk ikut ambil bagian dalam Perjamuan Kudus haruslah suci. Disiplin gereja diawasi dengan ketat. Pengawasan atas tingkah laku anggota jemaat bukan saja dilaksanakan oleh penatua, tetapi juga oleh pemerintah (Dewan Kota).
Hubungan gereja dan negara dalam theologia Calvin sangat erat. Calvin bercita-cita suatu negara theokrasi. Seluruh kehidupan masyarakat harus diatur sesuai dengan kehendak Allah. Pemerintah bertugas juga untuk mendukung gereja dan menghilangkan segala sesuatu yang berlawanan dengan berita Injil yang murni. Namun ini tidak berarti bahwa negara berada di bawah gereja. Gereja dan negara berdampingan. Keduanya bertugas untuk melaksanakan kehendak Allah dan mempertahankan kehormatan Tuhan Allah. Mengenai tugas negara, Calvin menulis sebagai berikut: "Pemerintah diberi tugas untuk, selama kita hidup di tengah-tengah orang-orang, mendukung serta melindungi penyembahan Allah yang lahiriah, mempertahankan ajaran yang sehat tentang ibadah dan kedudukan gereja, mengatur kehidupan kita dengan melihat kepada pergaulan masyarakat, membentuk kesusilaan kita sesuai dengan keadilan seperti yang ditetapkan oleh Undang-undang negara, menjadikan kita rukun dan memelihara damai serta ketentraman umum.... "
Mengenai jabatan-jabatan dalam gereja Calvin mengenal empat jabatan yaitu, pendeta, pengajar, penatua dan diaken. Pendeta-pendeta bersama-sama dengan para penatua merupakan konsistori, yaitu majelis gereja yang memimpin jemaat dan yang menjalankan disiplin gereja. Peraturan pemilihan dan penahbisan pejabat-pejabat gereja itu diatur dengan teliti, terutama jabatan pendeta.
Mengenai Perjamuan Kudus, Calvin mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus adalah pemberian Allah dan bukan perbuatan manusia. Roti dan anggur bukan saja lambang, melainkan alat yang dipakai untuk memberikan tubuh dan darah Kristus kepada umatNya. Akan tetapi Kristus kini ada di surga. Roti dan anggur tidak bisa dianggap sama saja dengan tubuh dan darah yang di dalam surga itu, melainkan harus dianggap sebagai tanda dan meterai dari anugerah dan kasih Tuhan dalam Yesus Kristus. Calvin membedakan tanda dengan apa yang ditandakan oleh tanda itu. Calvin menjelaskannya sebagai berikut: "Sebagaimana orang yang percaya itu sungguh menerima tanda-tanda itu dengan mulutnya, demikianlah pada waktu itu juga ia sungguh dihubungkan oleh Roh Kudus dengan tubuh Kristus yang di surga". Dalam pelaksanaan Perjamuan Kudus, Calvin sangat teliti.
Calvin di dalam ajarannya juga menekankan predestinasi di samping pembenaran oleh iman. Menurut Calvin bahwa sejak kekal Allah di dalam diri-Nya sendiri telah menetapkan orang-orang mana yang diberiNya keselamatan dan yang mana yang dibinasakan. Orang-orang yang dipilih Tuhan itu diberi anugerah dengan cuma-cuma sedangkan orang-orang yang ditolak Allah, Allah menutup jalan masuk ke dalam kehidupan. Calvin mengatakan hal ini sungguh sulit dipahami. Tanda- tanda bahwa seseorang ditetapkan Allah untuk kehidupan yang kekal ialah bahwa ia (mereka) dipanggil oleh Tuhan Allah dan mereka menerima pembenaran dari Allah. Ajaran Calvin mengenai predestinasi ini menyebabkan timbulnya perpecahan dalam gereja-gereja Calvinis di kemudian hari. Pada masa Calvin masih hidup, Hieronymus Bolsec telah menyerang ajaran predestinasi ini. Calvin membela kebenaran ajarannya dan ia menganjurkan kepada Dewan Kota untuk membuang Bolsec. Dengan demikian Bolsec diusir dari kota Jenewa.
Calvin juga melawan ajaran Antitrinitarian yang diajarkan oleh Michael Servet. Pada waktu Servet berada di Jenewa dalam pelarian dari hukuman mati yang telah dijatuhkan oleh Gereja Katolik Roma ke atasnya, Dewan Kota Jenewa menangkap dan memenjarakan Servet atas permintaan Calvin. Atas anjuran para pendeta dan tentunya termasuk Calvin di dalamnya, supaya kepala Servet dipenggal maka Dewan Kota memenggal kepala Servet pada tahun 1553.
Di Jenewa, Calvin juga mendirikan sekolah-sekolah. Di Jenewa didirikan sebuah Akademi yang memiliki dua bagian, yaitu gymnasium dan theologia. Theodorus Beza diangkat menjadi direktur Akademi tersebut. Di Akademi inilah dipersiapkan pemuda-pemuda Calvinis yang kelak menjadi pemimpin-pemimpin gereja Calvinis yang terkenal, seperti John Knox, Caspar Olevianus, pengarang Katekismus Heidelberg yang terkenal itu.
Banyak sekali pekerjaan yang dikerjakan oleh Calvin tanpa mengenal lelah. Sejak tahun 1558 penyakitnya mulai berat.
Kesehatan Calvin mulai memburuk ketika ia menderita sakit kepala, perdarahan paru-paru, asam urat dan batu ginjal. Kadang-kadang, ia harus digotong ke mimbar. Calvin juga mengalami hal-hal yang mengalihkan perhatiannya. Menurut Beza [3], Calvin hanya makan satu kali sehari selama satu dasawarsa, namun atas nasihat dokternya, ia makan telur dan minum segelas anggur pada tengah hari [4],(meskipun ia seorang yang keras menentang konsumsi alkohol yang berlebihan; lihat Tafsirannya tentang Kejadian 9:20 [5]); rekreasinya hanya terdiri dari jalan kaki setelah makan. Menjelang akhir hayatnya, Calvin berkata kepada teman-temannya yang kuatir tentang kadar kerjanya sehari-hari, "Apa? Apakah kalian ingin aku menganggur apabila Tuhan menemukan aku saat Ia datang kembali kedua kalinya?"
Sebelum meninggalnya, ia meninggalkan banyak pesan kepada jemaatnya dan kepada Theodorus Beza, yang akan menggantikan kedudukannnya di jemaat Jenewa.
John Calvin meninggal di Jenewa pada 27 Mei 1564. Ia dikuburkan di Cimetière des Rois dengan sebuah batu nisan yang ditandai semata-mata dengan inisialnya, "J.C", sebagian untuk menghormati permintaannya agar ia dikuburkan di sebuah tempat yang tidak dikenal, tanpa saksi ataupun upacara. Ia pergi dengan meninggalkan pekerjaan yang berat kepada Theodorus Beza. Namanya dikenang sepanjang sejarah di seluruh dunia dengan terpatrinya gereja Calvinis.










Diambil dari:
Judul buku : Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh Dalam Sejarah Gereja
Judul asli artikel : Johannes Calvin
Penulis : Drs.F.D.Wellem,M.Th.
Penerbit : BPK Gunung Mulia, Jakarta 1991
Halaman : 64 -- 69
John Calvin (10 Juli 1509 – 27 Mei 1564) adalah teolog Kristen Prancis terkemuka pada masa Reformasi Protestan. Namanya kini dikenal dalam kaitan dengan sistem teologi Kristen yang disebut Calvinisme. Ia dilahirkan dengan nama Jean Chauvin (atau Cauvin) di Noyon, Picardie, Prancis, dari Gérard Cauvin dan Jeanne Lefranc. Bahasa Prancis adalah bahasa ibunya. Calvin berasal dari versi Latin namanya, Calvinus. Martin Luther memasang 95 dalil pada 1517, ketika Calvin baru berumur 8 tahun.


Biografi


Pada 1523, dalam usia 14 tahun, ayah Calvin, seorang pengacara, mengirimnya ke Universitas Paris untuk belajar humaniora dan hukum. Pada tahun 1532, ia telah menjadi Doktor Hukum di Orléans. Terbitannya yang pertama adalah sebuah edisi dari buku karya filsuf Romawi Seneca, De clementia, yang diberikannya komentar yang mendalam.

Pada 1536 ia menetap di Jenewa, ketika ia dihentikan dalam perjalannya ke Basel, oleh bujukan pribadi dari William Farel, seorang reformator. Ia menjadi pendeta di Strasbourg dari 1538-1541, lalu kembali ke Jenewa. Ia tinggal di sana hingga kematiannya pada 1564.

John Calvin berniat menikah untuk menunjukkan sikap positifnya terhadap pernikahan daripada kehidupan selibat. Ia meminta teman-temannya menolongnya mencarikan seorang perempuan yang "sederhana, taat, tidak sombong, tidak boros, sabar, dan bisa merawat kesehatan saya." Pada 1539 ia menikah dengan Idelette de Bure, janda seseorang yang dulunya anggota Anabaptis di Strasbourg. Idelette mempunyai seorang anak laki-laki dan perempuan dari almarhum suaminya. Namun hanya anak perempuannya yang pindah bersamanya ke Jenewa. Pada 1542, suami-istri Calvin mendapatkan seorang anak laki-laki yang dua minggu kemudian meninggal dunia. Idelette Calvin meninggal pada 1549. Calvin menulis bahwa istrinya telah banyak menolongnya dalam pelayanan gerejanya, tidak pernah menghalangi, tidak pernah menyusahkannya dengan urusan anak-anaknya dan berjiwa besar.


Tulisan-tulisan Calvin


Calvin menerbitkan beberapa revisi dari Institutio, sebuah karya yang menjadi dasar dalam teologi Kristen yang masih dibaca hingga sekarang. Tulisan ini dibuatnya dalam bahasa Latin pada 1536 (pada usia 26 tahun) dan kemudian dalam bahasa ibunya, bahasa Prancis, pada 1541, dan edisi finalnya masing-masing muncul pada tahun 1559 dan 1560.

Ia juga banyak menulis tafsiran tentang kitab-kitab di dalam Alkitab. Untuk Perjanjian Lama, ia menerbitkan tafsiran tentang semua kitab kecuali kitab-kitab sejarah setelah Kitab Yosua (meskipun ia menerbitkan khotbah-khotbahnya berdasarkan Kitab 1 Samuel dan sastra Hikmat kecuali Mazmur. Untuk Perjanjian Baru, ia melewatkan Surat 2 Yohanes dan Surat 3 Yohanes serta Kitab Wahyu. (Sebagian orang mengatakan bahwa Calvin mempertanyakan kanonisitas Kitab Wahyu, tetapi ia mengutipnya dalam tulisan-tulisannya yang lain dan mengakui otoritasnya, sehingga teori itu diragukan.) Tafsiran-tafsiran ini pun ternyata tetap berharga bagi para peneliti Alkitab, dan setelah lebih dari 400 tahun masih terus diterbitkan.

Dalam jilid ke-8 dari Sejarah Gereja Kristen karya Philip Schaff, sang sejarahwan mengutip teolog Belanda Jacobus Arminius (Arminianisme, sebuah gerakan anti-Calvinis, dinamai sesuai dengan nama Arminius), sehubungan dengan nilai tulisan-tulisan Calvin:

Selain mempelajari Alkitab yang sangat saya anjurkan, saya mengimbau murid-murid saya untuk memanfaatkan Tafsiran-tafsiran Calvin, yang saya puji jauh melebihi Helmich (seorang tokoh gereja Belanda, 1551-1608); karena saya bahwa ia sungguh tidak tertandingi dalam penafsiran Kitab Suci, dan bahwa tafsiran-tafsirannya harus jauh lebih dihargai daripada semua yang telah diwariskan kepada kita oleh khazanah para Bapak Gereja; sehingga saya mengakui bahwa ia memiliki jauh dari kebanyakan orang lain, atau lebih tepatnya, jauh melampaui semua orang, apa yang dapat disebut semangat nubuat yang menonjol. Institutio-nya harus dipelajari setelah Katekismus Heidelberg, karena mengandung penjelasan yang lebih lengkap, namun, seperti tulisan-tulisan semua orang, juga mengandung prasangka.


Penyebaran Calvinisme


Lukisan gravir dari lukisan minyak asli di Perpustakaan Universitas Jeneva; lukisan ini dianggap paling mirip dengan Calvin. Sebagaimana praktik Calvin di Jenewa, terbitan-terbitannya menyebarkan gagasan-gagasannya tentang bagaimana Gereja Reformasi yang benar itu ke banyak bagian Eropa. Calvinisme menjadi sistem teologi dari mayoritas Gereja Kristen di Skotlandia, Belanda, dan bagian-bagian tertentu dari Jerman dan berpengaruh di Prancis, Hongaria (khususnya di Transilvania dan Polandia.
Kebanyakan kolonis di daerah Atlantik Tengah dan New England di Amerika adalah Calvinis, termasuk kaum Puritan dan para kolonis di New Amsterdam (New York). Para kolonis Calvinis Belanda juga merupakan kolonis Eropa pertama yang berhasil di Afrika Selatan pada awal abad ke-17, dan menjadi apa yang dikenal sebagai orang Boer atau Afrikaner.

Sebagian besar wilayah Sierra Leone dihuni oleh para kolonis Calvinis dari Nova Scotia, yang pada umumnya adalah kaum loyalis kulit hitam, yaitu orang-orang kulit hitam yang berperang untuk Britania Raya pada masa Perang Kemerdekaan Amerika.

Sebagian dari gereja-gereja Calvinis yang paling besar dimulai oleh para misionaris abad ke-19 dan abad ke-20, khususnya di Indonesia, Korea dan Nigeria.


Riba dan kapitalisme


Sebuah aliran pemikiran telah lama menganggap Calvinisme merupakan revolusi terhadap sikap bermusuhan Abad Pertengahan terhadap riba, dan, secara tidak langsung, keuntungan. Hal ini ikut mempersiapkan berkembangnya kapitalisme di Eropa utara. Hubungan ini dikemukakan dalam karya-karya berpengaruh dari R.H. Tawney dan Max Weber.

Calvin mengungkapkan pikirannya tentang riba dalam sebuah suratnya kepada seorang teman, Oecolampadius. Dalam surat ini, ia mengecam penggunaan ayat-ayat Alkitab tertentu oleh orang-orang yang menentang pemberlakuan bunga uang. Calvin menafsirkan kembali ayat-ayat tersebut dan mengatakan bahwa ayat-ayat yang lainnya sudah tidak relevan lagi mengingat kondisi-kondisi yang telah berubah.

Calvin juga menolak argumen (yang didasarkan pada tulisan-tulisan Aristoteles) bahwa mengambil bunga uang adalah keliru, karena uang sendiri itu mandul. Ia mengatakan bahwa dinding dan atap rumah pun mandul, tetapi orang diizinkan meminta bayaran dari seseorang yang menggunakannya. Dalam cara yang sama, uang pun dapat dimanfaatkan.

Namun demikian, Calvin juga berkata bahwa uang harus dipinjamkan kepada orang-orang yang sangat membutuhkannya, tanpa harus mengharapkan bunga.

Jenewa yang diperbarui

Pada saat perang Ottoman, John Calvin sedang melakukan perjalanan ke Strasbourg dan melalui kanton-kanton di Swiss. Ketika singgah di Jeneva, William Farel meminta Calvin agar menolongnya dengan urusan gereja. Tentang permohonan Farel ini, Calvin menulis, "Saya merasa seolah-olah Allah sendiri dari surga telah menyuruh saya untuk menghentikan perjalanan saya." Bersama-sama Farel, Calvin berusaha melembagakan sejumlah perubahan dalam pemerintahan kota dan kehidupan keagamaan. Mereka menyusun sebuah buku katekismus dan pengakuan iman; seluruh warga kota itu mereka wajibkan untuk mengakuinya. Dewan kota menolak pengakuan iman Calvin dan Farel, dan pada Januari 1538 mereka mencabut kekuasaan kedua orang ini untuk melakukan ekskomunikasi, sebuah kekuasaan yang mereka anggap penting untuk pekerjaan mereka. Calvin dan Farel menjawabnya dengan memberlakukan larangan umum kepada semua penduduk Jenewa untuk mengikuti Perjamuan Kudus pada kebaktian Paskah. Karena itu, dewan kota pun mengusir mereka dari kota tersebut. Farel pergi ke Neuchâtel, dan Calvin ke Strasbourg.

Selama tiga tahun Calvin melayani sebagai seorang dosen dan pendeta sebuah gereja dari orang-orang Huguenot Prancis di Strasbourg. Pada masa pembuangannya itulah Calvin menikahi Idelette de Bure. Ia juga dipengaruhi oleh Martin Bucer, yang menganjurkan sebuah sistem politik dan struktur gerejawi yang mengikuti pola Perjanjian Baru. Calvin tetap mengikuti perkembangan-perkembangan di Jenewa, dan ketika Jacopo Sadoleto, seorang kardinal Katolik, menulis sebuah surat terbuka kepada dewan kota yang isinya mengajak Jenewa untuk kembali ke Gereja induk (Gereja Katolik Roma), jawaban Calvin atas nama kaum Protestan Jenewa yang sedang mengalami berbagai serangan, menolongnya mendapatkan kembali respek yang telah hilang sebelumnya. Setelah sejumlah pendukung Calvin memenangkan jabatan di Dewan Kota Jenewa, ia diundang kembali ke kota itu pada 1541.

Sekembalinya ke sana, berbekal wewenang untuk menyusun bentuk kelembagaan gereja, Calvin memulai program pembaharuannya. Ia menetapkan empat kategori dalam pelayanan gereja, dengan peranan dan kekuasaan yang berbeda-beda:

Doktor memegang jabatan dalam ilmu teologi dan pengajaran untuk membangun umat dan melatih orang-orang dalam jabatan-jabatan lain di gereja.
Pendeta yang bertugas berkhotbah, melayankan sakramen, dan menjalankan disiplin gereja, mengajar, dan memperingatkan umat.
Diaken mengawasi pekerjaan amal, termasuk pelayanan di rumah sakit dan program-program untuk melawan kemiskinan.
Penatua yaitu 12 orang awam yang tugasnya adalah melayani sebagai suatu polisi moral. Mereka umumnya mengeluarkan surat-surat peringatan, serta bila perlu menyerahkan para pelanggar ke Konsistori.

Para pengkritik seringkali menganggap Konsistori sebagai lambang pemerintahan teokratis Calvin. Konsistori adalah sebuah peradilan gerejawi yang terdiri atas sejumlah penatua dan pendeat, yang diberikan kuasa untuk mempertahankan ketertiban di dalam gereja dan di antara para anggotanya. Pelanggaran merentang dari menyebarkan doktrin yang salah hingga pelanggaran moral, misalnya berdansa dengan liar dan menyanyi dengan dengan buruk. Bentuk-bentuk penghukuman biasanya lunak -- pelanggar dapat disuruh menghadiri khotbah-khotbah yang disampaikan secara terbuka atau kelas-kelas katekisasi. Perlu diingat konteks geopolitik yang lebih luas dari lembaga ini sebelum kita menilainya. Kaum Protestan pada abad ke-16 seringkali dikenai tuduhan oleh pihak Katolik bahwa mereka menciptakan doktrin-doktrin baru dan bahwa inovasi seperti itu mau tidak mau menyebabkan kemerosotan akhlak dan, pada akhirnya, kehancuran masyarakat itu sendiri. Calvin mengklaim bahwa ia ingin menegakkan legitimasi moral dari gereja yang diperbarui sesuai dengan programnya, namun juga meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat. Dokumentasi yang baru-baru ini ditemukan mengenai jalannya Konsistori memperlihatkan setidak-tidaknya perhatian terhadap kehidupan rumah tangga dan kaum perempuan pada khususnya. Untuk pertama kalinya kaum laki-laki yang serong dihukum sama kerasnya dengan kaum perempuan, dan Konsistori sama sekali tidak memperlihatkan toleransi terhadap pemukulan atau penyiksaan terhadap pasangan (khususnya istri). Peranan Konsistori ini kompleks. Badan ini membantu mentransformasikan Jenewa menjadi kota yang digambarkan oleh reformator Skotlandia John Knox sebagai "sekolah Kristus yang paling sempurna yang pernah ada di muka bumi sejak zaman para Rasul."

Namun demikian, tampaknya Calvin tidak bermaksud menggunakan Konsistori untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya dan untuk mempertahankan kontrolnya terhadap kehidupan sipil dan keagamaan di Jenewa. Calvin bergerak dengan cepat untuk menjawab pertanyaan apapun yang diajukan tentang tindakan-tindakannya. Kejadian yang paling menonjol adalah kasus Pierre Ameaux dan Jacques Gruet. Calvin enggan menahbiskan orang-orang Jenewa, karena ia lebih suka memilih pendeta dari arus para imigran Prancis yang masuk ke kota itu dengan maksud semata-mata mendukung program pembaruan Calvin. Ketika Pierre Ameaux mengeluh tentang praktik ini, Calvin menganggapnya sebagai serangan terhadap kewibawaannya sebagai seorang pendeta, dan ia membujuk dewan kota untuk memaksa Ameaux untuk berjalan mengelilingi kota dengan berpakaian rambut dan memohon belas kasihan di lapangan-lapangan terbuka. Jacques Gruet memihak dengan sejumlah keluarga Jenewa lama, yang menentang kekuasaan dan metode-metode Konsistori. Ia dipersalahkan dalam suatu insiden di mana seseorang menempatkan sebuah plakat di salah satu gereja di kota itu, yang berbunyi: "Bila orang telah terlalu banyak menderita, balas dendam pun akan dilakukan." Calvin menyetujui bahwa Gruet disiksa sampai mati, dengan tuduhan bahwa ia telah bersekongkol dengan sebuah komplotan Prancis untuk menyerang kota itu.

Pada 1553, dengan persetujuan Calvin, Michael Servetus (Miguel de Servetus) dijatuhi hukuman mati pada sebuah tiang atas tuduhan menyebarkan ajaran sesat. Servetus dipandang banyak Unitarian sebagai salah seorang pendiri agama mereka. Calvin sendiri meminta dewan - namun gagal - agar hukuman mati itu diubah dari hukuman bakar dengan hukuman mati dengan pedang. Rincian historis dapat ditemukan dalam Schaff [1]. Calvin tetap pada posisinya hingga ia meninggal. Hukuman mati Servetus merupakan sebuah argumen utama yang digunakan untuk menyerang Calvin sejak masa hidupnya hingga sekarang, meskipun sejumlah sejarahwan percaya bahwa "Calvin hanya sial, dan bukannya bersalah besar karena intoleransi di antara para Reformator. Ia dan Servetus adalah orang-orang yang paling banyak diserang pada abad ke-16. Nama baik Calvin telah dijelek-jelekkan, sementara Servetus telah terlalu jauh dibersihkan dari kesalahan jauh melampaui titik tolak abad ke-16, bukan abad ke-19." [2]. Pada 1559 Calvin mendirikan sebuah sekolah untuk mendidik anak-anak serta rumah sakit untuk merawat orang miskin.

Kesehatan Calvin mulai memburuk ketika ia menderita sakit kepala, perdarahan paru-paru, asam urat dan batu ginjal. Kadang-kadang, ia harus digotong ke mimbar. Calvin juga mengalami hal-hal yang mengalihkan perhatiannya. Menurut Beza [3], Calvin hanya makan satu kali sehari selama satu dasawarsa, namun atas nasihat dokternya, ia makan telur dan minum segelas anggur pada tengah hari [4],(meskipun ia seorang yang keras menentang konsumsi alkohol yang berlebihan; lihat Tafsirannya tentang Kejadian 9:20 [5]); rekreasinya hanya terdiri dari jalan kaki setelah makan. Menjelang akhir hayatnya, Calvin berkata kepada teman-temannya yang kuatir tentang kadar kerjanya sehari-hari, "Apa? Apakah kalian ingin aku menganggur apabila Tuhan menemukan aku saat Ia datang kembali kedua kalinya?"

John Calvin meninggal di Jenewa pada 27 Mei 1564. Ia dikuburkan di Cimetière des Rois dengan sebuah batu nisan yang ditandai semata-mata dengan inisialnya, "J.C", sebagian untuk menghormati permintaannya agar ia dikuburkan di sebuah tempat yang tidak dikenal, tanpa saksi ataupun upacara.
http://www.google.co.id/search?hl=id&client=firefox-a&channel=s&rls=org.mozilla%3Aen-US%3Aofficial&h