Sabtu, 30 Mei 2009

Sabotase Teks atas Kaum Hawa (Sebuah Anggapan)
Oleh Zaenab Mahmudah el-Wahied


Diskreditasi terhadap kaum hawa kian merajalela. Seakan tidak ada perimbangan sedikit pun mengenai obyek dan subyek yang dibidik. Demikian pula kesan yang terjadi ketika masalah gender dan feminisme dikupas. Melelahkan ketika suatu perbincangan dan pemecahan suatu masalah tidak berujung, terus berputar dan bermunculan. Dan mengasyikan, karena ternyata pembahasan ini selalu meng up-date nuansa dan wacana baru dengan jargon-jargon yang terus bermunculan dan berkembang hingga tak kita rasakan kejenuhanya. Maka jelas, diskursus gender adalah akar masalah yang membumi. Artinya, wacana ini tidak terhenti dalam satu fenomena kelompok atau golongan tertentu yang dipatok oleh garis geografis ataupun ideologis. Namun, lebih terfokus pada wacana global yang tanpa batas ruang dan waktu.
Sejenak kita tengok sejarah, dalam bisu, ternyata para ahli sejarah bersepakat "Islam datang ketika perempuan terseok-seok dalam kenestapaan dan keteraniayaan, dimana hak hidup yang merupakan hak asasi setiap individu tidak di dapatkan". Fenomena ini terus bergejolak hingga datang Islam dengan menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya kehidupan. Saat itu pula, Islam mengangkat harkat dan martabat perempuan dan melepaskan dari belenggu keteraniayaan.
Di tengah-tengah gemuruh permasalahan manusia, Allah mengutus Rasulullah ke bumi yang kemudian kian hari kian menyusut. Layaknya film yang berakhir dengan happy ending. Begitu pula dengan lahirnya Fathimah az-Zahra As dari rahim ibunda Khadijah merupakan seorang tauladan bagi kaum hawa yang telah Allah anugerahkan kepada masyarakat Islam untuk merenovasi kultur jahili menuju kultur Islami.
Al-Qur'an dan Sunnah yang dijadikan sebagai pedoman dasar hidup individu, ternyata dalam sebuah penafsiranya banyak terjadi penyelewengan dari beberapa oknum, khususnya dalam sebuah teks yang membahas tentang perempuan. Inilah yang kemudian dikenal dengan tafsir misoginis. Yakni sebuah penafsiran teks (al-Qur'an dan Sunnah) yang mendiskreditkan atau mendiskriminasikan kaum perempuan. Sebagai misal, termaktub dalam sabda Rasulullah Saw: "Sesungguhnya perempuan imanya, akalnya,...adalah kurang...", "Jauhilah bermusyawarah dengan perempuan karena pendapat dan tekadnya lemah...". Teks ini dalam realitanya dijadikan sebagai senjata para musuh untuk menyerang Islam. Lantas, apakah doktrin-doktrin agama menunjukkan adanya perbedaan substansi perempuan sebagaimana yang dipahami orang awam? Dan kalau memang mempunyai maksud yang lain, lantas bagaimana kita menginterpretasi hadist-hadist tersebut?
Ketika muncul sebuah interpretasi bahwa Islam membenci dan merendahkan wanita, maka ini layaknya penyakit kronis dalam sejarah kehidupan yang juga menimpa sekte, agama dan aliran kepercayaan lainnya. Jika kita tarik benang merah, maka sebenarnya masalah ini muncul karena sebuah penafsiran dan pemahaman yang dangkal pada sebuah doktrin agama dan sekte. Hendaknya ketika kita mengambil sepenggal kesimpulan dari al-Qur'an atau Sunnah yang kemudian menisbatkan kepada Islam dengan menyatakan "seperti inilah perempuan dalam perspektif Islam".
Tegasnya, penarikan kesimpulan ini tidak dapat dibenarkan oleh akal. Karena untuk mengetahui bagaimana perspektif perempuan dalam Islam, seharusnya menelaah ajaran Islam secara matang. Utamanya dari sumber-sumbernya. Jika bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah, maka harus merujuk kembali pada kedua sumber tersebut dan menganalisanya, baru setelah itu menarik sebuah kesimpulan dan mengatakan seperti inilah Islam memandang perempuan.
Kemudian, maksud dari "Imanya, akalnya,...adalah kurang..." bukan berarti Islam tidak menghargai kebrilianan otak kaum hawa. Namun, hal itu merupakan sebuah kekurangan mereka dalam peribadatannya, artinya Allah memberikan kelonggaran mereka untuk tidak beribadah layaknya umat muslim secara umum, yakni dengan diberikannya waktu istirahat (tawaquf fi al 'ibadah) sebagaimana dalam ibadah puasa dan shalat. Mereka tidak diperkenankan melakukannya dikarenakan haid atau nifas. Dalam kondisi demikian, seorang wanita tidak bisa melakukan pendekatan diri kepada Allah dalam syari'at secara formal.
Misoginis merupakan sebuah istilah ilmiah sebagaimana feminis, liberalis, dan lain-lainya yang berasal dari bahasa Inggris. Maka untuk mendefinisikannya hendaklah merujuk kembali pada kamus bahasa aslinya. Kata Misogini berasal dari kata "misogyny". Jhon M. Echols dan Hassan Shadzily menyebutnya dengan "kebencian terhadap wanita". Kemudian ketika kita merujuk pada kamus ilmiah populer, akan ditemukan tiga ungkapan, yaitu: pertama, "misogini" yang berarti "benci akan perempuan, membenci perempuan. Kedua, "misogini" yang berarti "benci akan perempuan, perasaan benci akan perempuan". Ketiga, "misoginis" yang artinya "laki-laki yang benci kepada perempuan". Namun, kemudian secara terminologi istilah misoginis juga di gunakan untuk doktrin-doktrin sebuah aliran pemikiran yang secara lahir memojokkan dan merendahkan derajat perempuan.
Maka untuk memahami teks-Hadist- di atas tidak menutup kemungkinan bahwa ternyata teks di atas menunjukkan kekurangan perempuan secara eksistensial. Jika hal ini benar adanya, lantas bagaimana dengan pribadi-pribadi seperti Maryam As dan Aisyah As yang Allah puji-puji dalam kalam-Nya dan Khadijah As dan Fatimah Zahra As yang Allah puji pula melalui Rasul-Nya yang merupakan insan kamil? Padahal, konsekuensi sebagai manusia sempurna bukankah berarti akal dan iman mereka harus sempurna juga?

Untuk menjawab tafsiran dalam hadist di atas, perlu adanya langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menafsiri sebuah hadist sehingga tidak didapatkan sebuah kesimpulan yang mengandung unsur diskriminatif terhadap perempuan. Langkah pertama, dengan menganalisa sanad hadist tersebut, apakah memenuhi standar legalitas yang diperlukan atau tidak? Jika dari sisi sanad terjadi masalah, lanjutkan dengan langkah berikutnya. Kedua, dengan memahami muatan hadist tersebut. Dan ketiga, melihat situsi dan kondisi ketika hadist tersebut di riwayatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar