Rabu, 03 Juni 2009

Ajaran SINTO

PENDAHULUAN
Agama Shinto di Jepang tumbuh dan hidup serta berkembang dalam lingkungan penduduk, dan bukan dating dari luar. Nama asli dari agama itu sendiri adalah Kami ni Michi, yang bermakna: Jalan Dewa.
Pada saat Jepang bebenturan dengan kebudayaan Tiongkok maka nama asli itu terdesak oleh nama baru yaitu Shin-To. Nama baru tersebut merupakan perobahan bunyi dari Tien-Tao, yang bermakna “Jalan Langit”.
Agama Shinto berpangkal pada mithos masyarakat bahwa bumi Jepang itu adalah ciptaan dewata yang pertama-tama dan bahwa Jimmu-Tenno (660 SM) yang merupakan kaisar pertama Jepang adalah turunan langsung dari Dewi Matahari yaitu Amaterasu Omi Kami yang kewin dengan Dewi Bulan Touki Iomi, sehingga seluruh upacara kebaktian Shinto terpusat pada poko keyakinan tersebut.

Sejarah Agama Shinto
Agama Shinto didirikan mulai kurang lebih 2,500 - 3000 tahun yang lalu di Jepang. Agama ini memiliki 13 sekte yang mana masing-masing dari ketigabelas sekte kuno memiliki pendirinya. Dengan pengikut sekitar 30 Juta orang, terutama di Jepang. Sebagian besar juga adalah penganut agama Buddha. Ada dua pemisahan utama. Pertama adalah tiga belas sekte-sekte kuno, hampir mirip semuanya. Kedua adalah apa yang dikenal sebagai Shinto Negara, dan merupakan sinthesa kemudian yang menemukan ekspresi tertinggi pada pemujaan Kaisar dan kesetiaan pada Negara dan keluarga. Shinto (dari bahasa Cina Shen dan Tao, yang berarti "Jalan dari Jiwa-jiwa") disebut Kami-no-michi dalam bahasa Jepang. Kami adalah banyak Dewa atau jiwa alam.
Ajaran Shinto yang secara halfiah berarti “Jalan Para Dewa”. Shin, juga dibaca sebagai “Kami”, ini adalah istilah untuk para dewa-dewi, jiwa para leluhur, setan dan jiwa alam seperti binatang, tumbuhan dan lain-lain. Shinto mulai dikenal pada periode Yayoi (300 SM). Shinto adalah agama asli orang Jepang pada masa lampau, dan masih dilaksanakan sampai saat ini dengan dilakukan banyak modifikasi terutama karena pengaruh dari ajaran Buddha dan Konghucu. Shinto pada saat ini lebih banyak diperingati dalam bentuk ritual dan festival-festival keagamaan. Tempat pemujaan Shinto disebut “Shrines” (Tempat Suci) sedangkan untuk agama Buddha disebut “Temple” (Kuil). Shinto sudah dipuja dan dikenal oleh orang jepang berabad-abad lama sebelum kedatangan ajaran Buddha yang masuk melalui China dan Korea pada abad ke-6. Bahkan pada saat sekarang “Tempat Suci Shinto” banyak ditemukan dalam Kuil Buddha, ini adalah sebuah integrasi yang luar biasa, dimana juga banyak terdapat dewa-dewi Shinto yang masuk sebagai dewa-dewi Agama Buddha dan begitu sebaliknya. Kasus ini sangat mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia, dimana terjadi penyatuan ajaran Konghucu, Tao dan Buddha dalam satu kesatuan seperti yang terjadi di kelenteng-kelenteng Konghucu. Para dewa-dewi Shinto disebut “Kami”, juga terdapat dalam Gohonzon. Adapun beberapa dewa-dewi, mahkluk gaib, roh-roh, setan yang dipuja dalam Shinto antara lain: Naga (mahkluk sejenis ular), Dosojin, Ebisu (salah satu dewa keberuntungan Jepang), Dewa Hachiman, Henge, Kappa, Kitsune (Roh Srigala), Oinari (Roh Srigala), Shishi (Singa), Ssu-ling (Empat Binatang Pelindung), Tanuki (Sejenis Dewa Anjing), Tengu. Pada intinya konsep Shinto adalah pemujaan kepada para dewa, jiwa para leluhur, jiwa para binatang, para dewa pelindung keluarga, jiwa alam (lima unsur).

Kamus Shinto Populer menjabarkan ‘kami’ sebagai berikut: “Kami bisa mengacu kepada keagungan, kekeramatan, spiritual, dan keajaiban dari sifat atau energi dari suatu tempat, dan benda, mahkluk gaib dari mitologi lokal maupun kerajaan, roh-roh dari alam dan tempat, para pahlawan yang dipuja, leluhur, penguasa, dan negarawan.”
Di Jepang, sebuah teori bernama ‘Honji-Suijaku’ diciptakan untuk menjelaskan hubungan antara kami dari Shinto dan para buddha dan bodhisattva dari Buddhisme. Istilah tersebut memiliki arti “inti hakekat mendasar dan perwujudan penjelmaan” dan didasarkan pada ajaran Tendai bahwa Buddha dalam sejarah dari separuh bagian awal Saddharma Pundarika Sutra adalah perwujudan penjelmaan dari Buddha Abadi dari separuh bagian akhir Saddharma Pundarika Sutra. Teori ‘Honji-Suijaku’ mengatakan; bahwa sesungguhnya kami dari Shinto adalah perwujudan sementara dari para Buddha dan Bodhisattva. Dalam Dasar-Dasar Buddhisme Jepang (Vol.II), hubungan antara Nichiren dan kami dirangkumsebagai:
“Nichiren dihadapkan pada permasalahan yang sama yang dihadapi oleh semua pemimpin Kamakura, berkaitan dengan peran dari para dewa penduduk setempat. Seperti halnya pendiri dari gerakan-gerakan lainnya, ia dengan sendirinya mengidentifikasikan kami dengan negara Jepang itu sendiri dan secara teliti ia menyadari pentingnya peran dari para dewa dan kepercayaan penduduk bagi masyarakat, yang ingin ia pengaruhi.
Untuk menjelaskan peran dari para dewa dalam ajaran- ajarannya, Nichiren menggunakan teori ‘Honji-Suijaku’ (perwujudan hakekat sesungguhnya). Ia menganggap setiap dewa Shinto dimulai dari Dewi Matahari adalah sebuah ‘Suijaku’ (perwujudan) dari Sakyamuni yang Abadi dari Saddharma Pundarika Sutra dan Ia juga percaya bahwa para dewa memiliki suatu kewajiban untuk melindungi para penganut sutra ini, juga untuk menghukum para musuh mereka. Dihadapkan dengan apa yang ia anggap sebagai bencana-bencana aneh yang terjadi di seluruh negeri, Nichiren hanya bisa menyimpulkan bahwa para dewa telah mengabaikan negara dan kembali ke tempat mereka di surga.”
Sikap Nichiren terhadap para dewa penduduk local cenderung agak bertentangan. Di pulau Sado, orang-orang yang melihat, Ia berteriak di atas sebuah puncak gunung kepada matahari dan bulan, percaya bahwa ia telah menjadi gila, tapi ini adalah cara Nichiren berhubungan dengan para dewa, mendesak mereka untuk memenuhi kewajiban mereka, dan menyerang para musuh dari Saddharma Pundarika Sutra, dan mengakhiri berbagai bencana yang menimpa seluruh negeri. Ia juga memarahi mereka, karena telah mengabaikan tugas-tugas mereka. Oleh sebab itu Ia bimbang antara kemarahan ketika ia menganggap mereka lalai menjalankan tugasnya, dengan kepercayaan tertentu bahwa mereka berkumpul di atasnya dan melindungi ia terhadap iblis.” Nichiren juga mungkin telah merasa bahwa kami Shinto adalah termasuk para dewa lokal dan maka dari itu tidak sepenting para dewa Vedic yang lebih berkuasa yang telah diuniversalkan melalui Buddhisme.
Dalam Tindakan-tindakan Penganut Saddharma Pundarika Sutra, sebuah tulisan dari Nichiren, kami Shinto diperbandingkan dengan para dewa Vedic, dan kedua-duanya baik kami maupun para dewa dikatakan adalah pelayan dan pelindung dari penganut Saddharma Pundarika Sutra: “Meski saya sendiri mungkin tidaklah penting, saya menyebarkan Saddharma Pundarika Sutra dan oleh sebab itu saya adalah utusan dari Buddha Sakyamuni. Dewi Matahari dan Bodhisattva Agung Hachiman, yang tidak penting, diperlakukan dengan penuh rasa hormat di negeri ini, tapi mereka hanyalah dewa-dewi kecil dibanding dengan Brahma, Shakra, para dewa matahari dan bulan, dan ke-Empat Raja Langit… Karena saya adalah utusan dari Buddha Sakyamuni, raja segala ajaran. Dewi Matahari dan Bodhisattva Agung Hachiman seharusnya membungkukkan kepala mereka di hadapan saya, menyatukan telapak tangan mereka, dan merebahkan diri mereka. Utusan dari Saddharma Pundarika Sutra dijaga oleh Brahma dan Shakra di kedua sisinya, dan para dewa matahari dan bulan menerangi jalan di depan dan dibelakangnya.”

Dewi Agama Shinto
Dewi matahari Shinto disebut Tensho Daijin yang juga dikenal dengan Amaterasu Omikami. Amaterasu adalah Ratu dari seluruh “Kami”, ia adalah anak dari Izanagi dan Izanami (Dewa Pencipta dari mitologi Jepang). Keluarga Kekaisaran Jepang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan langsung dari garis keturunan Dewi Amaterasu. Oleh karena itu maka para Kaisar Jepang dianggap sebagai keturunan para dewa. Kamus Istilah dan Konsep Buddhis menyertakan informasi berikut berkaitan dengannya: “Dewi Matahari yang terdapat dalam mitologi Jepang, yang belakangan diadopsi menjadi seorang dewa pelindung dalam Buddhisme. Menurut catatan sejarah tertua, Kojiki (Catatan tentang Hal-hal Kuno) dan Nihon Shoki (Sejarah Negeri Jepang), ia adalah pemimpin mahkluk gaib dan juga leluhur dari keluarga kerajaan.
Dalam banyak tulisannya, Nichiren Daishonin memandang Tensho Daijin sebagai personifikasi dari perbuatan-perbuatan yang melindungi kemakmuran orang-orang yang memiliki hati kepercayaan dalam Hukum Sejati.”
Kuil-Kuil Shinto
Kuil Shinto sangat banyak - lebih dari 100.000 di Jepang. Dalam kuil tidak ada citra/patung yang dipuja, tapi dianggap bahwa Kami sendiri ada di sana. Makanan segar, air, dupa dll, dipersembahkan setiap hari di altar. Ada kepercayaan batin mengenai kesucian dari seluruh alam semesta, dan bahwa manusia dapat selaras dengan kesucian ini. Tekanan diberikan pada kebenaran dan penyucian melalui mana manusia dapat menghilangkan "debu" yang menyembunyikan kesuciannya yang melekat pada dirinya dan dengan demikian menerima bimbingan dan karunia dari Kami. Kecintaan para pengikut Shinto kepada tanah air menemukan ekspresi yang unik dalam kesetiaan dan pemujaan dari rakyat Jepang kepada lembaga-lembaga negara mereka.
Kitab-kitab Suci Agama Shinto
Kitab suci agama Shinto yang paling tua ada dua buah, yang disusun sepuluh abad sepeninggal Jimmu Tenno (660 SM) yang merupakan kaisar Jepang yang pertama, yaitu;
Kojiki (Catatan dari hal-hal Kuno) yang mencatat peristiwa-peristiwa purbakala yang disusun pada 712 M, dan Nihongi (Sejarah Jepang) yang ditulis pada 720 M oleh seorang pangeran Jepang .
Kemudian terdapat dua karya kemudian, yakni Yengishiki (Lembaga-lembaga pada masa Yengi), dan Manyoshiu yaitu kumpulan dari 10.000 daun adalah karya utama, tapi ini tidak dianggap sebagai kitab suci yang diwahyukan.
Tujuan Utama Dari Shinto
Tujuan utama dari Shinto adalah mencapai keabadian di antara mahluk-mahluk rohani, Kami. Kami dipahami oleh penganut Shinto sebagai satu kekuasaan supernatural yang suci hidup di atau terhubung dengan dunia roh. Agama Shinto sangat animistik, sebagaimana kebanyakan keyakinan timur, percaya bahwa semua mahluk hidup memiliki satu Kami dalam hakikatnya. Hakikat manusia adalah yang paling tinggi, karena mereka memiliki Kami yang paling banyak. Keselamatan adalah hidup dalam jiwa dunia dengan mahluk-mahluk suci ini, Kami.
Jalan Untuk Mencapai Tujuan
Dalam Shinto keselamatan dicapai melalui pentaatan terhadap semua larangan dan penghindaran terhadap orang atau obyek yang mungkin menyebabkan ketidak sucian atau polusi. Persembahyangan dilakukan dan persembahan dibawa ke kuil untuk para Dewa yang dikatakan ada sejumlah 800 miliar di alam semesta. Manusia tidak mempunyai Tuhan tertinggi untuk ditaati, tapi hanya perlu mengetahui bagaimana menyesuaikan diri dengan Kami dalam berbagai manifestasinya. Kami seseorang tetap hidup setelah kematian, dan manusia biasanya menginginkan untuk berharga dan dikenang dengan baik oleh keturunannya. Oleh karena itu, pemenuhan kewajiban adalah unsur yang paling penting dari Shinto.
Ritual-ritual Agama Shinto

Matsuri adalah kata dalam bahasa Jepang yang menurut pengertian agama Shinto berarti ritual yang dipersembahkan untuk Kami, sedangkan menurut pengertian sekularisme berarti festival, perayaan atau hari libur perayaan.
Matsuri diadakan di banyak tempat di Jepang dan pada umumnya diselenggarakan jinja atau kuil, walaupun ada juga matsuri yang diselenggarakan gereja dan matsuri yang tidak berkaitan dengan institusi keagamaan. Di daerah Kyushu, matsuri yang dilangsungkan pada musim gugur disebut Kunchi.
Sebagian besar matsuri diselenggarakan dengan maksud untuk mendoakan keberhasilan tangkapan ikan dan keberhasilan panen (beras, gandum, kacang, jawawut, jagung), kesuksesan dalam bisnis, kesembuhan dan kekebalan terhadap penyakit, keselamatan dari bencana, dan sebagai ucapan terima kasih setelah berhasil dalam menyelesaikan suatu tugas berat. Matsuri juga diadakan untuk merayakan tradisi yang berkaitan dengan pergantian musim atau mendoakan arwah tokoh terkenal. Makna upacara yang dilakukan dan waktu pelaksanaan matsuri beraneka ragam seusai dengan tujuan penyelenggaraan matsuri. Matsuri yang mempunyai tujuan dan maksud yang sama dapat mempunyai makna ritual yang berbeda tergantung pada daerahnya.
Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui prosesi atau arak-arakan Mikoshi, Dashi (Danjiri) dan Yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan berisi Kami atau objek pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai Chigo (anak kecil dalam prosesi), Miko (anak gadis pelaksana ritual), Tekomai (laki-laki berpakaian wanita), Hayashi (musik khas matsuri), penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus, dan pasar kaget beraneka macam makanan dan permainan.
Sejarah Matsuri
Matsuri berasal dari kata matsuru (matsuru? menyembah, memuja) yang berarti pemujaan terhadap Kami atau ritual yang terkait. Dalam teologi agama Shinto dikenal empat unsur dalam matsuri: penyucian (harai), persembahan, pembacaan doa (norito), dan pesta makan. Matsuri yang paling tua yang dikenal dalam mitologi Jepang adalah ritual yang dilakukan di depan Amano Iwato.
Matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih tersisa seperti dalam bentuk Kigansai (permohonan secara individu kepada jinja atau kuil untuk didoakan dan Jichinsai (upacara sebelum pendirian bangunan atau konstruksi). Pembacaan doa yang dilakukan pendeta Shinto untuk individu atau kelompok orang di tempat yang tidak terlihat orang lain merupakan bentuk awal dari matsuri. Pada saat ini, Ise Jingū merupakan salah satu contoh kuil agama Shinto yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk pembacaan doa yang eksklusif bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak dibolehkan ikut serta.
Sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan penyelenggaraan matsuri sering melenceng jauh dari maksud matsuri yang sebenarnya. Penyelenggaraan matsuri sering menjadi satu-satunya tujuan dilangsungkannya matsuri, sedangkan matsuri hanya tinggal sebagai wacana dan tanpa makna religius.
DAFTAR PUSTAKA
Joesoef Sou’yb, Agama-agama Besar di Dunia, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1982
http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/150.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar