Rabu, 24 Juni 2009

METODE KITAB FATH AL-BARI

Metode Syarah Hadis Kitab Fath Al-Bari
Abstrak,Agung Danarta. Artikel ini membahas masalah ma’an al-hadis dalam khazanah peninggalan ulama abad
pertengahan. Fokus kajian dilakukan pada Kitab Fath al-Bari karya Ibn Hajar al-‘Asqalani yang merupakan syarah
kitab SahIh al-Bukhari. Kajian yang dilakukan tidak mengkhususkan pada metode kontekstual dan hermeunetiknya,
tetapi berusaha merekonstruksi seluruh metode yang dipergunakan Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam mensyarah
hadis. Dari kajian yang dilakukan dengan merujuk ragam metode yang dipakai oleh al-‘Asqalani maka penulis
berkesimpulan bahwa syarah hadis telah menggunakan berbagai pendekatan baik yang bersifat naqli maupun aqli
dengan berbagai penekanan tertentu pada suatu kasus. Upaya metodologis tersebut disertai dengan contoh-contoh
konkrit untuk memperkuat hasil temuannya.
I. Pendahuluan
Telah menjadi pengetahuan bersama bahwa perkembangan syarah hadis dan metodologinya kalah jauh dibandingkan
perkembangan tafsir al-Qur’an dan metodologinya. Terhadap al-Qur’an, dengan mudah akan bisa
ditemukan berbagai kitab tafsir dari berbagai macam corak, aliran, pendekatan dan metode penafsiran. Akan tetapi tidak
demikian halnya dengan syarah hadis.
Berangkat dari kesadaran atas perkembangan syarah hadis tersebut, berbagai tawaran metodologi untuk memahami
hadis banyak dikemukakan oleh pemerhati hadis. Metodologi yang ditawarkan tersebut di antaranya adalah metode
kontekstual dan metode hermeunetik. Salah satu kelemahan metode-metode yang ditawarkan tersebut antara lain
disebabkan karena mencangkok metode dari luar ilmu hadis, sehingga mengakibatkan susah dioperasionalisasikan
dalam ilmu hadis dan miskin contoh penerapannya.
Sebenarnya unsur kontekstual dan hermeunetik telah ada dalam syarah hadis karya ulama abad pertengahan. Akan
tetapi karena metode syarah yang telah digunakan oleh ulama hadis tidak banyak dikuasai, tetapi lebih menguasai
metode cangkokan karena dianggap lebih modern dan kontemporer, menyebabkan unsur-unsur kontekstual dan
hermeunetiknya tidak banyak diketahui orang.
Makalah ini mencoba untuk merekonstruksi metode pemahaman hadis dari karya ulama abad pertengahan. Makalah ini
tidak mengkhususkan pada metode kontekstual dan hermeunetiknya, tetapi berusaha merekonstruksi seluruh metode
yang dipergunakan Ibn H}ajar al-‘Asqa>lani> dalam mensyarah hadis. Mudah-mudahan makalah ini bisa memberi
sumbangan bagi pengembangan metodologi pemahaman hadis yang berbasis pada tradisi ulama hadis.
II. SEKILAS KITAB FATH AL-BARI
Pengarang kitab ini adalah Ibn H}ajar al-‘Asqala>ni> (773H./1371M.-852H./1448.). Ia hidup di Mesir pada masa
dinasti Mama>lik (648H./1250M.-923H./1517M.) yang menganut sistem pemerintahan oligarkhi militer dimana hak turun
temurun tidak berlaku dalam pemerintahan.
Dalam bidang keilmuan, Mesir pada masa dinasti Mama>lik mengalami kemajuan yang pesat disebabkan karena:
1. Mengalirnya para ulama dan cendekiawan dari belahan Timur dan Barat. Di belahan Timur ummat Islam saat itu
diserbu oleh bangsa Mongol. Di belahan Barat ummat Islam diserang oleh tentara Kristen Eropa. Banyak ulama dan
cendekiawan yang lari ke Mesir yang lebih aman.
2. Banyaknya harta wakaf yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan belajar dan mengajar. Para sultan Amir, dan
hartawan berlomba-lomba membentuk pusat ilmu pengetahuan.
3. Ketekunan para cendekiawan dalam mengumpulkan dan mengembangkan ilmu, terutama untuk mengganti bukubuku
yang dibakar oleh tentara Mongol dan yang diangkut tentara salib ke Eropa.
4. Banyaknya pusat-pusat ilmu pengetahuan berupa madrasah, masjid dan perpustakaan.
Oleh karena itu, tidak heran kalau banyak ilmu yang berkembang di Mesir waktu itu, antara lain, sejarah, kedokteran,
optik, astronomi, matematika, arsitektur, kimia dan ilmu agama.
Ibn H}ajar al-‘Asqala>ni> dibesarkan dalam keadaan yatim piatu. Ayahnya meninggal ketika ia berumur 4 tahun,
sedangkan ibunya telah meninggal sebelum itu. Ia diasuh oleh Zaki> al-Di>n Abi> Bakr al-Kharubi>, seorang pedagang
besar.
Karya Ibn H}ajar lebih dari 150 buah buku terutama yang berkaitan tentang hadis seperti Us}u>l al-H}adi>s|, syarh} al-
H}adi>s|, t}uruq al-H}adi>s|, takhri>j al-H}adi>s|, at}ra>f, al-zawa>id, al-Ma’a>jim wa al-masyikhat, al-rija>l, dan almana>
qib. Di samping itu sebagian kecil di antaranya mengenai al-fiqh, al-ta>ri>kh dan ‘ulu>m al-qur’a>n.
Jurnal Online
http://uin-suka.info/ejurnal Powered by Joomla! Generated: 9 June, 2009, 14:25
Kitab Fath} al-Ba>ri> adalah kitab yang mensyarah S}ah}I>h} al-Bukhari> bi Syarh} S}ah}I>h} al-
Bukha>ri terdiri dari 15 juz kitab syarah dan 1 juz tebal muqaddimah-nya (Beirut: Da>r al-Fikr, 1405 H). Muqaddimah
kitab Fath} al-Ba>ri> ini diberi nama Hadyu al-Sa>ri>. Sistematika kitab Fath} al-Ba>ri> mengikuti sistematika yang ada
dalam S}ah}I>h} al-Bukha>ri>. Urutan kitab, bab, dan nomor hadis adalah sebagaimana yang terdapat dalam S}ah}I>h}
al-Bukha>ri>. Dalam Fath} al-Ba>ri>, sebagaimana juga dalam S}ah}I>h} al-Bukha>ri>, terdiri dari 97 judul kitab, 3.230
judul bab dan 7523 hadis.
Ketika memasuki judul kitab baru, dikemukakan judul kitab sebagaimana dalam S}ah}I>h} al-Bukha>ri>, kemudian judul
tersebut diberi syarah oleh Ibn H}ajar. Syarah terhadap judul kitab tersebut antara lain meliputi penjelasan tentang
maksud judul tersebut dan penjelasan tentang berbagai macam judul yang dipakai oleh para periwayat hadis terdahulu
yang menulis kitab hadis.
Setelah melakukan syarah terhadap judul kitab, kemudian Ibn Hajar menuliskan nomor bab, judul bab, dan hadis-hadis
yang ada dalam satu bab tersebut. Penukilan ini persis sebagaimana yang dinukilkan oleh al-Bukhari. Syarah yang yang
diberikan oleh Ibn Hajar meliputi at}ra>f, sanad dan matan. Hadis yang ada dalam bab yang sedang dibahas
dikemukakan at}ra>f-nya dengan menyebut nomor-nomor hadis yang terdapat di bagian lain dalam S}ah}I>h} al-
Bukha>ri>. Dalam aspek sanad, dijelaskan hanya pada periwayat yang tidak jelas, musytarak, ataupun yang
dipertentangkan kesiqahannya Terhadap matan, dijelaskan maksud kata perkata terutama kata yang garib, dijelaskan
tata-bahasanya terutama aspek nahwu dan balaghahnya, dikemukakan lafal matan hadis lain dari mukharrij lain,
kemudian diterangkan maksud hadis tersebut secara keseluruhan.
Kitab S}ah}I>h} al-Bukha>ri> bisa digolongkan sebagai kitab ensiklopedis, karena di dalamnya Ibn H}ajar banyak
menukilkan pendapat berbagai ulama yang berbeda-beda. Pendapat-pendapat yang ia nukilkan tersebut terutama dari
ulama fikih, kalam, tafsir, hadis dan tasawwuf. Ada tujuh macam cara penukilan yang ia pakai, yaitu:
1. Mengemukakan pendapat ulama sebagai landasan baginya dalam berpendapat. (III:642).
2. Mengemukakan pendapat ulama untuk memperkuat pendapatnya (VII:216)
3. Mengemukakan pendapat ulama begitu saja tanpa komentar darinya dan tanpa disertai pendapat Ibn H}ajar, baik
setuju ataupun menolak.(IV: 492; V: 143, 543).
4. Mengemukakan pendapat ulama kemudian ia bantah (V:24,25, 444).
5. Mengemukakan pendapat ulama, kemudian ia mengemukakan pendapat sendiri yang berbeda dengan pendapat
yang ia nukilkan (V:24, 377)
6. Mengemukakan beberapa pendapat ulama yang saling berbeda sebagai perbandingan, tanpa ia menentukan salah
satu pendapat sebagai pilihannya (I:552; V:553).
7. Mengemukakan beberapa pendapat ulama yang saling berbeda, kemudian ia memeilih satu atau beberapa pendapat
yang ia anggap benar.
III. PENDEKATAN NAQLI
1. Pemakaian Ayat-Ayat Al-Qur’an
Penggunaan ayat-ayat al-Qur’an dalam syarah matan hadis pada kitab Fath} al-Ba>ri> memakai dua macam pola
penerapan. Pola pertama, ayat al-Qur’an diletakkan pada awal bab kemudian dikemukakan hadis-hadis yang
berkaitan dengan ayat tersebut. Dalam pola ini, ayat-ayat al-Qur’an dipakai sebagai dasar pemahaman hadis.
Adapun hadis dipakai sebagai penjelas terhadap pemahaman yang diberikan oleh ayat al-Qur’an. (V:333-334;
VII:144; XIV:50; XV:379) Contoh pola ini bisa ditemukan dalam kitab S}ah}I>h} al-Bukha>ri>.
Pola kedua, ayat al-Qur’an dipakai untuk menjelaskan hadis yang sedang dibahas. Dikemukakan terlebih dahulu
hadisnya, kemudian hadis tersebut dibahas. Dalam pembahasan tersebut dikemukakan ayat-ayat al-Qur’an yang
berkaitan. Fungsi ayat disini adalah sebagai petunjuk bagi pemahaman hadis tersebut (VI:120-122; I: 151-155).
2. Pemakaian Hadis-Hadis Setopik
Hadis setopik ini ada dua macam. Pertama, hadis setopik, semakna tetapi beda redaksi/lafal. Hadis ini muncul sebagai
akibat ditolerirnya periwayatan hadis bi al-ma’na. Kedua, hadis setopik, beda makna dan beda redaksi/lafal.
Hadis ini terjadi karena nabi menyampaikannya dalam berbagai forum yang berbeda dan dalam kasus yang berbeda
pula, tetapi memiliki kesamaan topik.
Jurnal Online
http://uin-suka.info/ejurnal Powered by Joomla! Generated: 9 June, 2009, 14:25
Kedua macam hadis setopik ini banyak digunakan dalam Fath} al-Ba>ri> . Sehingga sebenarnya Ibn Hajar sudah
berusaha untuk membahas hadis secara topikal /tematik. Apalagi penyusunan sistematika kitab Fath} al-Ba>ri> ,
sebagaimana S}ah}I>h} al-Bukha>ri>, berdasarkan tema, ditambah lagi Ibn Hajar banyak menukilkan hadis-hadis setopik
yang diriwayatkan oleh mukharrij lain yang tidak terdapat dalam S}ah}I>h} al-Bukha>ri>. Akan tetapi metode tematik
yang dipakai oleh Ibn H}ajar masih digolongkan ke dalam metode tah}li>li>, karena pengelompokan temanya adalah
tema kecil, dan antara tema kecil satu dengan lainnya tidak nampak adanya penjelasan.
3. Pemakaian as\ar sahabat
Asa\r sahabat banyak digunakan untuk mensyarah hadis yang ada dalam kitab Fath} al-Ba>ri>. As|ar tersebut sebagian
yang mengemukakan adalah al-Bukhari dan tertulis dalam kitab S}ah}I>h} -nya sehingga karenanya tertulis dalam Fath}
al-Ba>ri>, dan sebagian yang lain dikemukakan oleh Ibn H}ajar sehingga karenanya hanya tertulis dalam kitab Fath} al-
Ba>ri>, dan tidak tertulis dalam S}ah}I>h} al-Bukha>ri>.
Pemakaian as|ar sahabat sebagai alat untuk mensyarah hadis memakai dua pola. Pola pertama, as|ar sahabat
dikemukakan sebagai kasus kemudian dikemukakan dan dijelaskan hadis yang sesuai. Pada pola ini atsar sahabat yang
mengemukakan adalah al-Bukhari. Pola kedua, atsar sahabat dikemukakan untuk menjelaskan hadis yang diberi syarah
dalam bab. Pada pola ini as|ar sahabat yang mengemukakan adalah Ibn H}ajar.
IV. PENDEKATAN RA’YI
1. Pendekatan Kebahasaan
Terhadap kata-kata gari>b, Ibn Hajar menjelaskan kata tersebut dengan mura>dif-nya atau memberikan penjelasan
terhadap maksud kata-kata tersebut. Ibn H}ajar juga menjelaskan gramatika bahasa dengan memberikan I’rabnya
terhadap kalimat-kalimat musytarak.
2. Pemakaian Takwil.
Pada masa salaf awwal, para ulama enggan menggunakan takwil terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi.
Imam Malik (w.179H./795M.), misalnya, dengan membenarkan seseorang berkata ‘langit menurunkan
hujan’, tetapi harus diyakini bahwa sesungguhnya yang menurunkannya adalah Allah. Keengganan
menggunakan takwil ini menjadikan sebagian ulama salaf menduga bahwa batu adalah makhluk hidup yang berakal,
berdasarkan firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah (2): 74. Juga ada yang menduga bahwa Allah mengutus nabi-nabi
kepada lebah berdasar al-Qur’an surat al-Nah}l (16): 68.
Dalam kitab al-jum’ah bab ketiga belas terdapat hadis:
0OCP1N 9PFR/N 'DFQN(PJQP 5NDQNI 'DDQNG 9NDNJRGP HN3NDQNEN 1N,ODL ANBPJDN EN' 2N'DN FN'&PEK'
-N*QNI #N5R(N-N EN' BN'EN %PDNI 'D5QNDN')P ANBN'DN (N'DN 'D4QNJR7N'FO APJ #O0OFPGP *
Terhadap sabda nabi ini, Ibn Hajar memberikan lima macam takwil yang ia nukilkan dari berbagai pendapat yang
berkembang. Kelima pendapat tersebut adalah:
a. ‘Syetan mengencingi telinganya’ itu merupakan kiasan. Maksudnya adalah syetan telah menghalangi
telinga orang yang tidur tersebut sehingga ia tidak mendengar panggilan untuk shalat.
b. Syetan telah mengisi pendengaran orang yang tidur tersebut dengan suara-suara yang ba>t}il, sehingga karenanya
pendengarannya menjadi tertutup dari panggilan shalat.
c. Syetan telah menghinakan orang tersebut, dengan tidak mendengar panggilan shalat sehingga tidak mendirikan
shalat.
d. Syetan telah menempati telinganya dan bersembunyi di dalamnya, sehingga ia menjadikannya seperti WC.
e. Keadaan orang yang lupa melaksanakan shalat karena tidurnya nyenyak adalah seperti orang yang di dalam
telinganya terdapat air kencing, sehingga telinganya menjadi berat dan merusakkan inderanya.
Terhadap hadis-hadis yang musykil, Ibn H}ajar tidak segan-segan mentakwilkannya, seperti terlihat dalam contoh di
atas. Contoh-contoh takwil yang dipakai Ibn H}ajar dalam mensyarah hadis cukup banyak jumlahnya dan cukup mudah
untuk mendapatkannya.
V. PEMAKAIAN ANALISA KONTEKSTUAL
Jurnal Online
http://uin-suka.info/ejurnal Powered by Joomla! Generated: 9 June, 2009, 14:25
1. Asba>b al-Wuru>d
Asba>b al-wuru>d adalah sebab-sebab lahir, latar belakang dan sejarah keluarnya hadis. Dengan demikian, asba>b alwuru>
d tidak harus dipahami dalam arti kausalitas, tetapi paling tidak ia menggambarkan bahwa hadis tersebut
berinteraksi dengan kenyataan yang ada. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kenyataan tersebut mendahului atau
paling tidak bersamaan dengan keadaan hadis itu.
Ibn H}ajar al-‘Asqala>ni> banyak memakai asba>b al-wuru>d dalam syarahnya untuk mengetahui makna
sesungguhnya yang dikandung dalam hadis. Pemakaian asba>b al-wuru>d tersebut dapat dilihat dalam contoh-contoh
berikut ini.
Dalam Kitab Adab, bab ke-92 dikemukakan hadis sebagai berikut:
9NFP 'DFQN(PJQP 5NDQNI 'DDQNG 9NDNJRGP HN3NDQNEN BN'DN DN#NFR JNER*NDP&N ,NHRAO #NN/
PCOER BNJR-K' .NJR1L DNGO EPFR #NFR JNER*NDP&N 4P9R1K'
Hadis ini secara tekstual melarang orang bersyair. Lebih baik perutnya diisi dengan nanah daripada diisi dengan syair.
Ibn H}ajar tidak memahami hadis ini secara tekstual, tetapi terlebih dahulu menelaah sabab al-wuru>d-nya.
Suatu saat Rasulullah mengadakan perjalanan bersama sahabat. Ketika sampai di ‘Arj, yang terletak sekitar 78
mil dari Madinah, tiba-tiba Rasulullah dihadang oleh seseorang yang mendeklamasikan syairnya. Syair itu berisi hinaan
dan ejekan bagi Rasul. Rasul kemudian menyabdakan pernyataan dalam hadis di atas. Inilah sabab al-wuru>d hadis
tersebut.
Berdasar sabab al-wuru>d tersebut, Ibn H{ajar memahami bahwa yang dilarang itu bukanlah bersyair secara umum,
tetapi bersyair yang menghina dan mencaci Nabi, atau bersyair yang menghina dan menjelekkan orang lain. Dalam
contoh ini terlihat bahwa sabab al-wuru>d telah berfungsi untuk mendapatkan pengertian yang benar, dan
menghindarkan dari pemahaman yang sebaliknya.
Dalam kitab al-jum’ah, bab taqs}ir al-s}ala>t dikemukakan hadis:
-N/QN+NFPJ 9PER1N'FO (RFO -O5NJRFM HNCN'FN EN(R3OH1K' BN'DN 3N#NDR*O 1N3OHDN 'DDQNGP 5NDQNI
'DDQNG 9NDNJRGP HN3NDQNEN 9NFR 5NDN')P 'D1QN,ODP BN'9P/K' ANBN'DN %PFR 5NDQNI BN'&PEK'
ANGOHN #NAR6NDO HNENFR 5NDQNI BN'9P/K' ANDNGO FP5RAO #N,R1P 'DRBN'&PEP HNENFR 5NDQNI
FN'&PEK' ANDNGO FP5RAO #N,R1P 'DRBN'9P/P *
Zahir hadis ini menyatakan bahwa setiap orang yang shalat sambil duduk pahalanya adalah setengah dari orang yang
berdiri, tanpa membedakan alasan tidak berdirinya. Untuk memahami hadis ini lebih lanjut, Ibn H}ajar mengemukakan
sabab al-wuru>d-nya. Pada suatu ketika nabi beserta para sahabat memasuki kota Makkah setelah musafir. Keadaan
saqat itu sangat panas sehingga para sahabat merasa kepanasan dan merasa lelah yang amat sangat. Ketika tiba
waktu shalat, nabi masuk ke masjid, sedangkan para sahabat tetap di tempatnya dan melaksanakan shalat sambil
duduk. Dalam sabab al-wuru>d seperti inilah hadis tersebut muncul.
Berdasar hal tersebut, Ibn hajar menjelaskan bahwa yang mendapat pahala setengah adalah orang yang shalat dengan
duduk, padahal ia mampu berdiri. Sedangkan bagi mereka yang berhalangan, ia boleh shalat dengan duduk, dan
pahalanya tetap sama dengan shalat orang yang berdiri.
2. Sosial Budaya
Sebagaimana asbab al-wurud, keadaan sosial budaya juga seringkali digunakan sebagai alat untuk memahami hadis.
Sebagian orang yang memahami teks-teks keagamaan secara kontekstual menganggap bahwa keadaan sosial budaya
juga merupakan asbab al-wurud. Hanya saja kalau keadaan yang berkaitan langsung dengan lahirnya suatu hadis
disebut asbab al-wurud mikro, sedangkan keadaan sosial budaya merupakan asbab al-wurud makro. Dalam bentuknya
yang masih sederhana, Ibn Hajar juga memakai konteks sosial budaya ini sebagai salah satu alat analisisnya dalam
memahami hadis.
Dalam kitab al-Jihad wa al-sair, bab wuju>b al-nafir terdapat hadis:
9NFP '(RFP 9N(QN'3M 1N6PJ 'DDQNG 9NFRGEN' #NFQN 'DFQN(PJQN 5NDQNI 'DDQNG 9NDNJRGP
HN3NDQNEN BN'DN JNHREN 'DRAN*R-P DN' GP,R1N)N (N9R/N 'DRAN*R-P HNDNCPFR ,PGN'/L HNFPJQN)L
HN%P0N' '3R*OFRAP1R*OER AN'FRAP1OH' *
Ibn H}ajar tidak memahami hadis ini secara tekstual. Teks hadis tersebut menyatakan bahwa setelah fath} al-Makkah
Jurnal Online
http://uin-suka.info/ejurnal Powered by Joomla! Generated: 9 June, 2009, 14:25
tidak boleh lagi ada ada hijrah, tetapi yang harus dilakukan adalah jihad. Ibn Hajar memahami hadis ini dengan melihat
keadaan sosial ummat Islam ketika hadis ini diucapkan oleh Rasul. Ibn H}ajar melihat bahwa ketika nabi mengucapkan
hadis ini, keadaan ummat Islam kuat. Sehingga karenanya, hadis ini hanya berlaku manakala keadaan ummat Islam
kuat sebagaimana keadaan ummat Islam waktu hadis ini disabdakan, yaitu pada Fath} al-Makkah. Apabila keadaan
ummat Islam belum kuat dan berada di da>r al-kafir, maka hadis ini tidak berlaku, dan mereka diperbolehkan melakukan
hijrah. Demikian Ibn H}ajar al-‘Asqala>ni>.
Dalam kitab al-daba>ih wa al-s}ayd bab ke-27 dikemukakan hadis:
FNGNI 'DFQN(PJQO 5NDQNI 'DDQNG 9NDNJRGP HN3NDQNEN JNHREN .NJR(N1N 9NFR DO-OHEP 'DR-OEO1P
HN1N.QN5N APJ DO-OHEP 'DR.NJRDP *
Terhadap hadis ini, ada beberapa pendapat ulama yang dinukilkan dalam Fath} al-Ba>ri>. Di antaranya yang menarik
adalah pendapat Abu Muhammad ibn Abi Hamzah. Menurut Abu Muhammad, alasan pelarangan makan daging keledai
itu karena keledai banyak digunakan untuk jihad, sedangkan populasi keledai waktu itu sangat sedikit, dan populasi kuda
lebih banyak. Oleh karenanya, jika pelarangan tersebut tidak dilakukan dikhawatirkan akan menyebabkan banyak
pekerjaan yang terbengkalai.
Dalam kitab al-Libas bab ke-49 dikemukakan hadis:
3NEP9R*O 9N(R/N'DDQNGP BN'DN 3NEP9R*O 'DFQN(PJQN 5NDQNI 'DDQNG 9NDNJRGP HN3NDQNEN
JNBOHDO %PFQN #N4N/QN 'DFQN'3P 9N0N'(K' 9PFR/N 'DDQNGP JNHREN 'DRBPJN'EN)P 'DREO5NHQP1OHFN *
Secara tekstual, hadis ini menyatakan bahwa al-mushawwirun itu akan diazab sangat keras oleh Allah pada hari kiamat.
Dalam hadis tersebut tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai al-mushawwirun, sehingga secara tekstual dipahami
bahwa semua orang yang membuat gambar dan patung akan mendapat siksa yang keras.
Ibn Hajar menyitir pendapat al-Thabari untuk menjelaskan maksud al-mus}awwiru>n tersebut. Menurut al-T}abari, yang
mendapat azab sangat keras dalam hadis tersebut adalah orang yang membuat gambar atau patung yang akan
disembah sedangkan ia mengetahuinya. Tidaklah masuk kelompok ini orang yang membuat gambar atau patung,
sedangkan gambar atau patung tersebut tidak disembah oleh orang lain.
Pendapat al-T}abari ini kemudian ia padukan dengan penjelasan al-Qurtubi> mengenai keadaan orang-orang pada
masa jahiliyah. Menurut al-Qurtubi>, orang-orang jahiliyah itu membuat patung dari apa saja, bahkan sebagian dari
mereka membuat patung dari kurma, sehingga kalau mereka lapar, maka patung yang disembahnya itu akan segera
dimakannya.
Secara tersirat Ibn H}ajar telah menggunakan analisa sosial budaya. Ia tidak memahami kata al-mus}awwiru>n dalam
hadis tersebut secara tekstual. Akan tetapi ia memahami kata tersebut berdasar keadaan sosial budaya orang-orang
jahiliyah yang sedang diubah oleh Rasulullah.
3. Psikologi Dakwah
Dalam kitab al-Tauhid bab kelima dan keenam dikemukakan hadis berikut:
9NFR #N(PJ EOH3NI 1N6PJ 'DDQNG 9NFRG BN'DN BN'DOH' JN' 1N3OHDN 'DDQNGP #NJQO 'DR%P3RDN'EP
#NAR6NDO BN'DN ENFR 3NDPEN 'DREO3RDPEOHFN EPFR DP3N'FPGP HNJN/PGP *
9NFR 9N(R/P'DDQNGP (RFP 9NER1MH 1N6PJ 'DDQNG 9NFRGE' #NFQN 1N,ODK' 3N#NDN 'DFQN(PJQN 5NDQNI
'DDQNG 9NDNJRGP HN3NDQNEN #NJQO 'DR%P3RDN'EP .NJR1L BN'DN *O7R9PEO 'D7QN9N'EN HN*NBR1N#O
'D3QNDN'EN 9NDNI ENFR 9N1NAR*N HNENFR DNER *N9R1PAR *
Secara tekstual, hadis ini tidak sejalan. Hadis pertama menyebutkan bahwa orang Islam yang paling baik adalah orang
yang tangan dan lisannya tidak mengganggu orang lain. Hadis kedua menyatakan bahwa orang Islam terbaik adalah
yang memberi makan, dan mengucapkan salam kepada semua orang, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal.
Ibn H}ajar dalam syarahnya mengemukakan bahwa kedua hadis nabi tersebut adalah jawaban terhadap pertanyaan
yang dilakukan sahabat, sehingga karenanya menurut Ibn H}ajar, nabi perlu menyesuaikan jawabannya dengan kondisi
orang yang bertanya. Jawaban yang terdapat dalam hadis pertama, menurut Ibn H}ajar, mungkin diperuntukkan sebagai
jawaban terhadap pertanyaan orang-orang yang usil dan keusilannya tersebut diperkirakan akan mengganggu orang
lain. Jawaban nabi tersebut diberikan untuk mencegah perbuatan yang dikhawatirkan tersebut. Sedangkan jawaban
yang terdapat dalam hadis kedua, menurut Ibn H}ajar, mungkin diberikan kepada orang yang berharap perbuatan dan
perkataannya akan memberi manfaat umum. Sehingga karenanya beliau memberi petunjuk sebagaimana terdapat
Jurnal Online
http://uin-suka.info/ejurnal Powered by Joomla! Generated: 9 June, 2009, 14:25
dalam hadis kedua tersebut. Kedua hadis tersebut muncul, demikian Ibn H}ajar, untuk menyentuh kebutuhan orangorang
yang bertanya kepada nabi, yaitu untuk meningkatkan kesungguhan dan untuk kemaslahatan mereka.
Dalam syarah hadis di atas, Ibn H}ajar memahami hadis dengan cara menganalisa keadaan orang-orang yang dihadapi
Nabi. Dia tidak memahami hadis secara literal begitu saja.
4. Fungsi Nabi
Dalam kitab al-shalat bab ke-85 dikemukakan hadis:
9NFR 9N(QN'/P (RFP *NEPJEM 9NFR 9NEQPGP #NFQNGO 1N#NI 1N3OHDN 'DDQNGP 5NDQNI 'DDQNG
9NDNJRGP HN3NDQNEN EO3R*NDRBPJK' APJ 'DREN3R,P/P HN'6P9K' %P-R/NI 1P,RDNJRGP 9NDNI 'DR#O.R1NI
Ibn H}ajar menjelaskan bahwa hadis ini menerangkan tentang kebolehan beristirahat di dalam masjid. Di dalamnya
terkandung kebolehan bersandar, berbaring terlentang atau miring, dan segala macam bentuk istirahat yang tidak hanya
duduk saja. Nabi berbaring di masjid dalam hadis di atas adalah dilakukan ketika sedang istirahat, dan bukannya ketika
sedang berkumpul dengan banyak orang.
Dalam syarahnya tersebut, tampaknya Ibn Hajar meletakkan posisi Nabi dalam dua fungsi, yaitu sebagai manusia biasa
dan sebagai rasul. Dalam posisinya sebagai manusia biasa, berbaringnya nabi di masjid dengan meletakkan kaki yang
satu di atas kaki yang lain adalah salah satu bentuk dari cara beristirahat nabi. Beliau mungkin saja beristirahat dengan
cara bersandar, berbaring miring, telentang, duduk ataupun segala macam bentuk istirahat yang biasa digunakan oleh
manusia biasa lainnya. Hal ini terlihat dari bentuk-bentuk kebolehan yang dijelaskan oleh Ibn H}ajar.
Sebagai rasul, perilaku nabi adalah uswah hasanah. Ucapan, persetujuan dan perbuatan nabi menjadi dasar hukum,
baik itu sebagai wajib, sunnah, mubah, makruh, maupun haram. Dalam syarah hadis tersebut dijelaskan bahwa bentuk
istirahat nabi yaitu berbaring dengan meletakkan satu kakinya di atas kaki yang lain, sebagai kebolehan (mubah).
Dalam kitab al-shiyam bab ke-48 dikemukakan hadis:
9NFR #NFN3M 1N6PJ 'DDQNG 9NFRG 9NFP 'DFQN(PJQP 5NDQNI 'DDQNG 9NDNJRGP HN3NDQNEN BN'DN DN'
*OHN'5PDOH' BN'DOH' %PFQNCN *OHN'5PDO BN'DN DN3R*O CN#N-N/M EPFRCOER %PFQPJ #O7R9NEO
HN#O3RBNI #NHR %PFQPJ #N(PJ*O #O7R9NEO HN#O3RBNI *
Ibn H}ajar menjelaskan bahwa hadis ini merupakan dalil bagi kekhususan puasa wis}al hanya untuk Rasulullah.
Sedangkan untuk selain Rasulullah, puasa wishal tidak diperbolehkan. Lebih lanjut Ibn hajar mengatakan bahwa tidak
boleh ada orang melakukan sesuatu yang dikhususkan bagi nabi.
Dalam syarahnya tersebut Ibn H}ajar memposisikan nabi dalam fungsinya sebagai pribadi yang mempunyai kekhususankekhususan
tertentu yang diberikan dalam kedudukannya sebagai rasul, dan tidak dimiliki oleh orang lain.
Dalam kitab al-Ahkam bab ke-29 dikemukakan hadis:
#NFQN #OEQN 3NDNEN)N 2NHR,N 'DFQN(PJQP 5NDQNI 'DDQNG 9NDNJRGP HN3NDQNEN #N.R(N1N*RGN'
9NFR 1N3OHDP 'DDQNGP 5NDQNI 'DDQNG 9NDNJRGP HN3NDQNEN #NFQNGO 3NEP9N .O5OHEN)K (P(N'(P -
O,R1N*PGP AN.N1N,N %PDNJRGPER ANBN'DN %PFQNEN' #NFN' (N4N1L HN%PFQNGO JN#R*PJFPJ
'DR.N5REO ANDN9NDQN (N9R6NCOER #NFR JNCOHFN #N(RDN:N EPFR (N9R6M AN#N-R3P(O #NFQNGO
5N'/PBL AN#NBR6PJ DNGO (P0NDPCN ANENFR BN6NJR*O DNGO (P-NBQP EO3RDPEM AN%PFQNEN' GPJN
BP7R9N)L EPFN 'DFQN'1P ANDRJN#R.O0RGN' #NHR DPJN*R1OCRGN' *
Ibn H}ajar menyatakan bahwa keputusan nabi adalah berdasar pada bukti dan argumentasi yang dikemukakan oleh
orang yang berperkara, sehingga karenanya, secara formal keputusan nabi tidak mungkin salah, tetapi secara material
ada kemungkinan nabi melakukan kesalahan. Dalam hal ini nabi diposisikan sebagai hakim yang juga merupakan
manusia biasa yang bisa keliru yang disebabkan oleh sesuatu yang tidak ia ketahui.
Dalam kitab al-Daba>ih wa al-S}ayd bab ke-27 dikemukakan hadis:
FNGNI 'DFQN(PJQO 5NDQNI 'DDQNGE 9NDNJRGP HN3NDQNEN JNHREN .NJR(N1N 9NFR DO-OHEP 'DR-OEO1P
HN1N.QN5N APJ DO-OHEP 'DR.NJRDP *
Pelarangan ini dilakukan karena keledai itu banyak manfaatnya untuk jihad, sedangkan ppulasinya tinggal sedikit. Jika
penyembelihan tetap dilakukan dikhawatirkan populasi keledai akan habis dan mengakibatkan terganggunya sarana
Jurnal Online
http://uin-suka.info/ejurnal Powered by Joomla! Generated: 9 June, 2009, 14:25
jihad. Demikian dikemukakan dalam Fath} al-Ba>ri>.
Dalam syarah tersebut, nabi telah diposisikan sebagai pemimpin masyarakat. Dalam fungsinya tersebut, keputusan nabi
harus dipatuhi oleh masyarakat yang dipimpinnya pada masa itu. Akan tetapi untuk masyarakat yang tidak dipimpin
olehnya secara langsung, maka penerapannya perlu dicari ‘illat hukumnya terlebih dahulu. Bila ‘illat
hukumnya terdapat dalam masyarakat tersebut, maka keputusan itu juga berlaku bagi masyarakat itu. Bila ‘illatnya
tidak ditemukan, maka hadis tersebut tidak berlaku.
VI. Kesimpulan
Ayat al-Qur’an dan hadis setopik digunakan oleh Ibn H}ajar al-‘Asqala>ni> sebagai pedoman dan
kerangka acuan dalam memahami hadis agar pemahaman yang ia berikan tidak terlalu jauh dari keseluruhan pesanpesan
nash. Sedangkan as|ar sahabat ia pakai sebagai kasus untuk memperjelas maksud dari hadis yang ia bahas.
Untuk mengembangkan pemahaman terhadap hadis nabi, Ibn Hajar ternyata juga menggunakan pendekatan bi alra&
rsquo;yi dan pendekatan kontekstual. Pendekatan bi al-ra’yi ia lakukan dengan eksplorasi makna bahasa dan
analisa gramatika serta mempergunakan takwil. Sedangkan pendekatan kontekstual ia lakukan dengan melakukan
analisa terhadap latar belakang munculnya hadis, kondisi sosial budaya ketika hadis muncul, keadaan dan psikologi
obyek yang menyebabkan munculnya hadis, serta analisa terhadap posisi dan fungsi nabi.
Setelah mengamati metode syarah hadis yang dilakukan oleh Ibn H}ajar al-‘Asqala>ni> ini, nampaknya tidak
berlebihan bila dikatakan bahwa metode pemahaman terhadap hadis nabi tidak banyak mengalami perkembangan,
bahkan dengan adanya usulan metode cangkokan sekalipun.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqala>ni>, Ibn H}ajar. Fath} al-Ba>ri. Jilid III, VI, XI, I, II, IV, XV . Beirut: Da>r al-Fikr, 1405 H.
Becker, C.H. ‘Egypt” dalam A.J. Wensinck, Encyclopedia of Islam 1313-1936, vol. II. Leiden: EJ
Brill’sPub., 1987.
Ash-Shiddiqie, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: rajawali Press, 1994.
Jurnal Online
http://uin-suka.info/ejurnal Powered by Joomla! Generated: 9 June, 2009, 14:25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar