Rabu, 24 Juni 2009

TAKDIR DALAM PERSPEKTIF MUTAKALLIMIN

BAB I
PENDAHULUAN

Persoalan qadha dan qadar tidak habis-habisnya dibicarakan orang sampai sekarang dan tidak ada kesepakatan pendapat. Perbedaan pendapat dalam soal tersebut terutama karena adanya beberapa ayat al-Qur'an yang pengertian lahirnya saling bertentangan. Di satu pihak beberapa ayat menetapkan pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya. Di lain pihak beberapa ayat lainnya menyatakan bahwa Tuhan menjadikan segala sesuatu.
Dalam soal qadha dan qadar kaum muslimin terpecah menjadi dua golongan besar yaitu aliran Jabbariyah murni (determinist) dan lawannya yaitu aliran Mu'tazilah (penganut aliran indeterminisme). Datanglah aliran Asy'ariah hendak mempertemukan pendapat kedua aliran tersebut, tetapi usahanya tidak berhasil karena aliran tersebut akhirnya tergolong menjadi aliran Jabbariyah. Kemudian datang Maturidiyah, yang meskipun menentang aliran Mu'tazilah, namun akhirnya terseret kepada lawannya. Kemudian datang lagi aliran Salafiyah yang ikut membicarakan permasalahan ini. Bagaimanakah pendapat mereka mengenai permasalah takdir?.
Dalam makalah ini penulis akan mengemukakan pendapat aliran Salafiyah (melalui tokohnya, Ibnu Taimiyah) mengenai takdir (qadha dan qadar). Sebelum penulis mengemukakan pendapat Salafiyah, penulis terlebih dahulu akan mengemukakan pengertian qadha dan qadar itu sendiri dan selanjutnya pendapat berbagai aliran dalam ilmu kalam tentang qadha dan qadar sebagai perbandingan.










BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Takdir (Qadha dan Qadar)
Qadar secara lughah artinya takdir (ketentuan). Sedangkan qadha secara lughah artinya hukum (keputusan). Qadha dan qadar adalah dua istilah. Jika keduanya berpisah maka maknanya sama dan jika berkumpul maknanya berbeda. Jika disebut qadar Allah, maka semakna dengan qadha Allah dan begitu pula sebaliknya. Jika disebut bersama-sama, maka masing-masing memiliki makna yang berbeda, yaitu : qadar adalah apa saja yang ditentukan Allah semenjak dahulu, akan terjadi pada makhluk-Nya. Qadha adalah apa saja yang Allah putuskan pada makhluk-Nya berupa mewujudkan, meniadakan atau merubah. Sehingga qadar mendahului qadha. Allah berfirman
           
“Allah pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya, Jadilah, maka jadilah ia” (al-Baqarah : 117(
B. Pendapat Mutakallimin tentang Takdir
1. Jabbariyah
Tokoh aliran Jabbariyah adalah Jahm bin Safwan. Ia mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia bukan dia yang mengadakan tetapi Allah sendiri, baik berupa gerakan refleks atau gerak lain yang semacam atau perbuatan-perbuatan yang kelihatannya dikehendaki atau disengaja, seperti berbicara, berjalan, dan lain sebagainya, karena manusia sebenarnya tidak mempunyai kekuasaan dan pilihan sama sekali. Manusia tidak lain bagaikan bulu yang ditiup angin, tidak mempunyai gerak sendiri. Kalau dikatakan manusia dapat berbuat, maka hanya dalam lahirnya saja. Sebagaimana kalau dikatakan batu jatuh, motor berjalan dan sebagainya.
Alasan-alasan aliran ini adalah:
a). Kalau manusia dapat berbuat, berarti ia menjadi sekutu Allah, atau sekurang-kurangnya bisa megadakan perbuatan yang mungkin tidak tunduk kepada kehendak Allah.
b). Ayat-ayat yang menurut lahirnya menyatakan bahwa Allahlah yang menciptakan segala sesuatu seperti: Allah yang menjadikan segala sesuatu (az-Zumar:62), Allah mengecap hati dan telinga mereka (orang-orang kafir) (al-Baqarah: 7), Allah yang menjadikan kamu sekalian dan apa-apa yang kamu perbuat (ash-Shaffat: 96).
2. Mu'tazilah
Aliran Mu'tazilah membagi perbuatan menjadi dua;
a). Perbuatan yang timbul dengan sendirinya, seperti gerakan refleks dan lain-lain. Perbuatan ini jelas bukan diadakan manusia atau terjadi karena kehendaknya.
b). Perbuatan-perbuatan bebas, dimana manusia bisa melakukan pilihan antara mengerjakan dan tidak mengerjakan. Perbuatan semacam ini lebih pantas dikatakan diciptakan (khalq) manusia daripada dikatakan diciptakan Allah.
Alasan-alasan aliran ini adalah:
a). Kalau perbuatan diciptakan Allah seluruhnya, sebagaimana yang dikatakan aliran Jabbariyah, maka apa perlunya ada taklif pada manusia ?.
b). Pahala dan siksa akan ada artinya, karena manusia tidak dapat mengerjakan baik atau buruk yang timbul dari kehendaknya sendiri.
c). Ayat-ayat al-Qur'an bahwa manusia dapat berbuat baik atau buruk seperti, sesungguhnya Allah tidak akan merubah apa yang ada pada suatu bangsa, sehingga mereka itu sendiri yang merubah apa yang ada pada dirinya (ar-Ra'du: 11). Siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah maka pasti ia akan melihatnya, dan siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah maka pasti ia akan melihatnya (az-Zalzalah: 8). Siapa yang mengerjakan keburukan, akan dibalas dengan keburukan (an-Nisa: 123).
Selain itu, ada ayat-ayat lain yang menegur orang-orang kafir karena mereka tidak mau beriman, sedangkan mereka bisa beriman kalau mau, seperti, mengapakah mereka berpaling (lari) dari peringatan ? (al-Muddatsir: 49). Tetapi orang yang berbuat aniaya itu mengikuti hawa nafusnya tanpa pengetahuan (ar-Rum: 29). Lebih jelas lagi ayat-ayat yang menghubungkan kemauan atau kehendak kepada manusia seperti, Barangsiapa yang mau maka dia beriman, barangsiapa yang mau maka dia menjadi kafir (al-Kahfi: 29).
3. Asy'ariyah
Al-Asy'ary seperti Mu'tazilah juga, membagi perbuatan manusia kepada dua bagian, yaitu perbuatan yang timbul dengan sendirinya dan perbuatan yang timbul karena kehendak. Dalam perbuatan jenis yang kedua, manusia merasa sanggup mengerjakannya, ini merupakan tanda bahwa ia mempunyai kekuasaan atau kemampuan yang dapat dipergunakannya. Kekuasaan ini didahului dengan kehendak (kemauan/iradah). Dan dengan kesanggupan inilah ia mendapatkan perbuatan. Mendapatkan pekerjaan inilah yang dinamakan kasb.
Bagaimana pengertian kasb yang sebenarnya?. Al-Asy'ary dan pengikut-pengikutnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kasb adalah berbarengnya kekuasaaan manusia dengan perbuatan Allah. Artinya apabila seseorang hendak mengadakan perbuatan, maka pada saat itu juga Allah mengadakan (menciptakan) kesangggupan manusia untuk mewujudkan perbuatan tersebut. Dengan perbuatan inilah ia mendapatkan perbuatannya, tetapi tidak menciptakannya. Berbeda dengan aliran Mu'tazilah, mereka mengatakan menciptakannya (khalq).
Jadi pada akhirnya, menurut mereka, kekuasaan manusia tidak lain hanyalah alat yang digunakan kekuasaan Allah untuk mewujudkan perbuatan yang dihendaki manusia. Dengan kata lain, kekuasaan manusia bisa berpengaruh atas terwujudnya perbuatan dengan syarat penggabungan kekuasaan Allah pada kekuasaannya sebagai penolong. Meskipun manusia bisa mengerjakan atau meninggalkan perbuatan suatu perbuatan, namun ketika terjadinya perbuatan, Allah lah yang menciptakan perbuatan tersebut. Pada akhirnya kekuasaan manusia tidak mempunyai pengaruh sama sekali.
Ringkasnya, al-Asy'ary mengatakan bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, bukan oleh manusia. Dengan demikian, jelaslah bahwa fikiran al-Asy'ary dalam persoalan qadha dan qadar termasuk aliran Jabbariyah (seperti yang dikatakan sementara ulama seperti Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah), bukan lagi sebagai penengah antara aliran Jabbariyah dan Mu'tazilah. Dalam memperkuat pendapatnya, al-Asy'ary tidak menggunakan ayat-ayat penguat adanya kasb yang diciptakannya itu, tetapi ayat-ayat yang dipakai aliran Jabbariyah sebelumnya, seperti, Adakah pencipta selain Allah ? (Fathir: 3), dll.
4. Maturidiah
Ia (al-Maturidy) sependapat dengan Imam Abu Hanifah untuk menentang aliran Mu'tazilah dan mengatakan bahwa kekuasaan manusia bisa digunakan untuk dua hal yang berlawanan, seperti ketaatan dan kemaksiatan. Dan manusia bebas menggunakan kekuasaannya tersebut. Letak perbedaan pendapat antara Maturidy dan Mu'tazilah ialah, Maturidy mengatakan bahwa manusia mengerjakan perbuatannya, sedangkan Mu'tazilah mengatakan bahwa manusia menciptakan perbuatannya. Perbedaan ini sebenarnya hanya dalam kata-kata saja, yaitu sekitar penggunaan kata menciptakan. Penciptaan itu ada dua macam, penciptaan dari tiada yang hanya dimiliki Allah dan penciptaan dari bahan yang telah ada dengan syarat tertentu, yaitu yang dimiliki manusia. Maturidy mengunakan kata pencipta hanya untuk pengertian yang pertama saja, sedangkan Mu'tazilah menggunakan kata tersebut untuk kedua pengertian. Akan tetapi, baik Maturidy maupun Mu'tazilah tidak mengatakan bahwa manusia dapat menciptakan sesuatu dari tiada. Jadi berbeda istilah namun pengertiannya sama.

C. Pendapat Aliran Salafiyah tentang Takdir
Dalam hal ini muncul masalah keterpaksaan dan ikhtiar sebagaimana uraian terdahulu yang berkenaan dengan pendapat Jabbariyah, Mu'tazilah, Asy'ariyah dan Maturidiyah, lantas bagaimana pendapat Salafiyah yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah dan diikuti oleh mereka yang mengaku sebagai Salafiyah ?.
Ibnu Taimiyah berbeda pendapat dengan Asy'ariyah. Ia menganggap mereka sebagai Jabbariyah. Ia mengeritik mereka tentang pembedaan antara perbuatan dan kasb. Mereka beranggapan bahwa perbuatan diciptakan oleh Allah dan kasb adalah milik hamba. Ia menegaskan, jika kasb hanya sekedar kebersamaan berbuat antara hamba dan Allah, maka ia tidak patut menjadi alasan bagi Allah untuk membebankan tanggung jawab, menimpakan siksa, dan memberikan pahala. Adapun jika kasb merupakan suatu perbuatan yang mempunyai pengaruh terhadap tindakan dan perbuatan, maka hal itu merupakan kemampuan hamba dan perbuatannya. Namun, jika kasb itu milik Allah, maka hal itu berarti Jabbariyah dan jika ia milik hamba, maka itu adalah paham Mu'tazillah.
Ibnu Taimiyah mengeritik Mu'tazillah sekalipun ia memandang madzhab mereka dalam hal ini lebih rasional daripada Asy'ariyah.
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa madzhab salaf ialah mengimani qadar yang baik maupun yang buruk, kekuasaan Allah dan kehendak-Nya yang bersifat mutlak. Allah menciptakan hamba dan segenap potensi yang dimilikinya, sedangkan hamba melakukan apa saja yang dikehendakinya dengan kekuasaan dan kehendak-Nya. Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah berkata, seyogyanya diketahui bahwa menurut madzhab salaf, Allahlah yang menciptakan segala sesuatu, Allah menciptakan hamba sebagai makhluk yang berkeluh kesah dan kikir. Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir. Hamba adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya, tetapi Allahlah yang mempunyai kehendak, kekuasaan dan kemauan. Allah berfirman
              
(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. (at-Takwir: 28-29).
Ibnu Taimiyah mengakui bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak dan hamba mempunyai daya serta dapat merasakan efek kekuasaan Allah itu. Dengan demikian Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal, yaitu:
Pertama, Allah adalah pencipta segala sesuatu. Tidak ada sesuatu pun di alam semesta ini melainkan karena adanya kehendak Allah, dan tidak seorangpun dapat menentang kehendak-Nya. Dalam hal ini ia sependapat dengan Jabbariyah.
Kedua, hamba adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya serta mempunyai kemauan dan kehendak yang sempurna yang membuatnya bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Sampai batas ini, ia sependapat dengan Mu'tazilah.
Ketiga, Allah memudahkan, meridhai dan menyukai perbuatan baik, serta mempersulit perbuatan buruk dan tidak menyukainya. Dalam hal ini ia berbeda dengan golongan Mu'tazilah.
Masalah yang muncul ialah bagaimana Ibnu Taimiyah mengompromikan antara beberapa kenyataan yang saling bertentangan itu?. Bagaimana ia mengompromikan antara keadilan Allah SWT dalam menyiksa orang yang berbuat jahat dan memberikan pahala kepada orang yang berbuat kebaikan, sedangkan perbuatan itu semuanya milik Allah?.
Jawabnya, Ibnu Taimiyah kelihatannya berpendapat bahwa perbuatan hamba dihubungkan kepada hamba itu sendiri karena ia memiliki potensi, dan dihubungkan kepada Allah dengan anggapan bahwa Allah menciptakan potensi itu. Jadi, Allah adalah causa prima. Berkenaan dengan hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan, sesungguhnya Allah adalah Pencipta segala sesuatu dengan berbagai sebab yang diciptakannya. Allah menciptakan hamba dan menciptakan pula potensi yang menjadi sebab perbuatannya. Hamba adalah pelaku perbuatannya sendiri yang sebenarnya.
Perbuatan hamba disandarkan kepada Allah dilihat dari segi Allah adalah pencipta sebab perbuatan itu, yaitu kemampuan hamba yang ada pada dirinya. Dengan pandapatnya ini Ibnu Taimiyah memiliki persamaan pandangan yang cukup besar dengan Mu'tazilah. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa Mu'tazilah lebih dekat kepada kebenaran daripada Asy'ariyah. Hanya saja, ia berbeda pendapat dengan Mu'tazillah dalam dua hal, yaitu:
Pertama, mengenai tidak adanya keterkaitan antara perintah dan kehendak. Mu'tazilah berpendapat tentang adanya keterkaitan antara perintah dan kehendak Allah. Menurut pendapat mereka, Dia tidak memerintahkan sesuatu kecuali apabila Dia menghendakinya, dan tidak melarang sesuatu kecuali apabila Dia menghendakinya. Menurut pendapat Ibnu Taimiyah, antara perintah dan kehendak Allah tidak ada keterkaitan. Allah menghendaki ketaatan dan memerintahkannya. Allah tidak menghendaki kemaksiatan yang dikerjakan oleh manusia dan melarangnya, kehendak Allah terhadap maksiat hanyalah dari segi kehendak terhadap sebab-sebab kemaksiatan itu.
Kedua, Ibnu Taimiyah membedakan antara ridha, suka, dan kehendak. Kehendak Allah kadang-kadang terjadi pada sesuatu yang bertentangan dengan perintah dan larangan-Nya. Akan tetapi, suka dan ridha-Nya merupakan hal yang sejalan dengan perintah dan larangan-Nya. Dia tidak menyukai maksiat dan tidak meridhainya, tetapi Dia menghendakinya ( dengan iradah-Nya). Dengan pandangannya ini, Ibnu Taimiyah sejalan dengan Asy'ariyah. Ia mengatakan, Jumhur Ahlu sunnah bersama kelompok lainya serta sejumlah ulama dari kalangan pendukung al-Asy'ari membedakan antara iradah, mahabbah dan ridha. Mereka mengatakan, bahwa sekalipun menghendaki kemaksiatan, Allah tidak menyukai dan tidak meridhainya, tetapi membencinya. Mereka membedakan antara kehendak Allah dan kesukaan-Nya. Inilah pendapat seluruh ulama salaf.




























BAB III
PENUTUP

Simpulan

Setelah beberapa uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa dalam permasalahan takdir ( qadha dan qadar) para mutakallimin berbeda pendapat, mereka terbagi menjadi dua aliran utama yaitu aliran determinisme yang menganggap bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Allah, manusia tidak bisa berbuat apa-apa (Jabbariyah dan Asy'ariyah) dan aliran indeterminisme (Mu'tazilah) yang mengatakan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan mereka sendiri, manusia bebas untuk berbuat mereka berpendapat bahwa manusia mampu melakukan usaha secara mandiri tanpa intervensi Tuhan. Harun Nasution dalam buku Teologi Islam menegaskan bahwa Mu’tazilah memandang daya atau usaha untuk berbuat adalah daya manusia itu sendiri dan bukan daya Tuhan.
Kami memandang madzhab Ibnu Taimiyah (salafiyah) dalam hal ini (sebagaimana pendapat Muhammad Abu Zahrah) merupakan merupakan jalan tengah antara dua aliran tersebut. Secara singkat, pendapat salafiyah dekat dengan madzhab maturidiyah. Ibnu taimiyah sependapat dengan maturidiyah mengenai Allah menciptakan potensi pada diri hamba, dan potensi itu berpengaruh terhadap segala sesuatu. Hanya saja, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa pengaruh potensi itu pada segala sesuatu adalah dengan perbuatan hamba itu sendiri, sedangkan Maturidiyah berpendapat bahwa pengaruh pada perbuatan yang terjadi dengan potensi yang diberikan Allah kepadanya tidak melampaui pengaruh kasb terhadap perbuatan.







DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad, 1996, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos).
Hanafi, Ahmad, 1996, Theology Islam, (Jakarta: Bulan Bintang).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar