Rabu, 24 Juni 2009

SEJARAH DAN TIPOLOGI SYARAH HADIS

Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis
Oleh A. Hasan Asy’ari Ulama’i*
Kata Kunci: syarh, tafshîli, wasîthi, wajîz, manhaj
Pendahuluan
Term syarah berasal dari bahasa Arab syaraha, yasyrahu, syarhan yang
berarti menjelaskan, menafsirkan, menerangkan, memperluas,
mengembangkan, membuka, menguraikan atau mengulas.1 Kata syarh
ini umumnya digunakan pada penjelasan terhadap sesuatu yang
diajadikan obyek studi di segala bidang ilmu pengetahuan khususnya
studi agama yang menggunakan bahasa Arab. Term ini sering pula disebut
sebagai keterangan tambahan (hasyiyah), atau Ta‘lîq (catatan tepi/ pinggir)
karena pada umumnya ulama terdahulu banyak menggunakan catatan
atau penjelasan singkatnya pada tepi (Jawa: pinggir) kitab. Sementara
itu, istilah serupa yang sangat terkenal di pendengaran kita adalah term
tafsir yang secara khusus digunakan sebagai keterangan tambahan pada
al-Qur’an.2
Berdasarkan keterangan di atas, maka antara syarh dan tafsîr
mempunyai satu pengertian dan fungsi yang sama, yaitu “memberikan
keterangan penjelas”. Kedua istilah ini dalam bahasa Inggris disebut
dengan Commentaries yang berarti pula uraian dan penjelasan,3
sebagaimana Yusuf Ali menyebut tafsir buah karyanya dengan nama The
Holy Qur’an, English Translation of the Meanings and Commentary4 serta
340 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
Abdul Hameed Siddiqui dalam menerjemahkan kata syarh pada judul
kitab Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhari dengan judul berbahasa Inggris
Fath al-Bari the commentary on Sahih Bukhari.5
Secara historis term atau istilah syarah hadis yang telah kita kenal
saat ini merupakan hasil dari sebuah proses tansformatif dari istilah
yang telah ada sebelumnya yaitu fiqh al-hadîts6 (karenanya pula, ulama
yang berijtihad dalam memahami hadis Nabi Saw. disebut pula sebagai
fuqahâ’ jamak dari fâqih). Proses transformatif ini digambarkan oleh Dr.
Muhammad Thahir al-Jawwabi dalam suatu ungkapan:
“Pada awalnya ilmu ini (fiqh al-hadîts) sangat terbatas, kemudian secara
berangsur meluas hingga terkenal sampai kepada kita dengan sebutan syarah
hadis. Para fâqih al-hadîts berpegang pada ilmu ini, dan mereka inilah yang
telah diberikan rizki oleh Allah berupa kemampuan daya kritis pada masanya
dan memiliki pemahaman dari hasil keseriusannya dalam bahasa maupun
pengetahuannya terhadap hukum syari`ah”.7
Disamping itu, syarah hadis yang kita kenal saat ini lebih bersifat
kongkrit operasional yaitu berwujud tulisan dalam beberapa kitab yang
berisi penjelasan ulama dari hasil pemahaman mereka terhadap suatu
hadis. Sementara fiqh al-hadîts lebih bersifat konseptual, kalaupun
dituangkan masih bersifat oral (penjelasan lisan).
Terjadinya transformasi dari fiqh al-hadîts menjadi syarah hadis serta
perkembangan lebih lanjut dari syarah hadis ini dapat dilihat dalam
perjalanan sejarahnya. Pada garis besarnya sejarah perjalanan syarah
hadis ini dibagi dalam dua bagian: Pertama, masa awal syarah hadis hingga
masa pembukuan hadis. Kedua, masa perkembangan syarah hadis (dari
masa pembukuan hadis hingga masa-masa selanjutnya).
Sejarah Awal Syarah Hadis
Mendiskusikan tentang perjalanan syarah hadis tidak dapat
dilepaskan dari perjalanan sejarah hadis itu sendiri.8 Di antara periodisasi
tersebut, disebutkan adanya ’asyrusy syarh atau masa pensyarahan.
Pensyarahan yang dimaksudkan di dalam periodisasi tersebut adalah
masa-masa penulisan kitab-kitab syarah hadis (uraian lebih lanjut akan
dikemukakan dalam sub bab “perkembangan syarah hadis”).
Seperti telah dipahami dalam pembahasan sebelumnya, bahwa syarah
hadis telah mengalami proses transformasi dari bentuk syarah hadis secara
lisan yang dikenal pula sebelumnya dengan fiqhul hadits kepada bentuk
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 341
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
syarah hadis secara tertulis (terbukukan). Oleh karena itu pembicaraan
tentang syarah hadis pada masa awal ini bukanlah -yang dimaksudkan
Hasbi Ash-Shiddiqui- pada periode ketujuh tersebut atau ’asyrusy syarh
(masa syarah hadis tertulis), melainkkan syarah hadis yang belum tertulis
(masih secara lisan).
Sebelum membahas lebih lanjut tentang syarah hadis pada masa awal
ini, perlu kiranya memahami posisi hadis itu sendiri. Kita telah pahami
bersama bahwa sumber hadis adalah Rasulullah Saw., baik ucapan,
perbuatan, sifat dan ketetapannya merupakan sunnah9 yang harus
diteladani oleh seluruh ummatnya. Itulah sebabnya para sahabat (ummat
terdekat dengan Rasulullah Saw.) sangat antusias sekali berdekatan
dengan Rasulullah Saw. dan senantiasa melaksanakan apa-apa yang
menjadi sunnahnya. Demikian seterusnya, dan bagi mereka yang tidak
bertemu langsung dengan Rasulullah Saw. (Tabi‘in hingga ummat
berikutnya) berusaha melaksanakan sunnahnya melalui rekaman sahabat-
sahabat yang mereka sebarluaskan baik melalui pengajaran lisan maupun
tindakan yang pada akhirnya dituliskan dan dihimpun dalam bentuk
kitab hadis oleh ulama pembuku hadis.
Pada periode Rasulullah Saw., apa yang disebut sebagai syarah hadis
tidak secara tegas berdiri sendiri diluar matan hadis Nabi Saw., mengingat
penjelasan Rasulullah Saw., terhadap sunnahnya-pun dituliskan dalam
satu rangkaian matan hadis itu sendiri atau dituliskan sebagai matan
hadis yang berdiri sendiri. Sebagaimana contoh berikut:
a. Hadis Nabi Saw. dalam bentuk ucapan yang diriwayatkan oleh
Malik bin al-Huwairits bahwa Nabi Saw. bersabda:
“...Salatlah, sebagaimana kalian melihat aku salat...”
Pada hadis tersebut di atas, Rasulullah Saw. memberikan penjelasan
atau syarah atas hadis ini yaitu dalam bentuk perbuatan dan pernyataan
pada kesempatan lain yang kemudian direkam dan diikuti sahabat,
namun pada akhirnya apa yang mereka rekam itu-pun diakui sebagai
hadis Nabi Saw. pula, sehingga antara syarah dan yang disyarahi, kedua-
duanya adalah hadis Nabi Saw. Seperti cara Rasulullah mengangkat
… 10  أ 
رأ
ا آ  …
342 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
tangan saat takbir, cara ruku’, sujud dan lainnya ada dalam hadis
tersendiri.
b. Hadis Nabi Saw. dalam bentuk pernyataan yang diriwayatkan dari
Anas bin Malik bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
11
“...Tolonglah saudaramu yang berbuat aniaya dan dianiaya...”
Menanggapi hadis Nabi Saw. ini, sahabat bertanya-tanya: kami
biasa memberikan pertolongan pada orang yang teraniaya, bagaimana
cara kami menolong orang yang berbuat aniaya? Rasulullah Saw.
memberikan penjelasan bahwa pencegahanmu terhadap orang yang
hendak berbuat aniaya itulah pertolonganmu terhadapnya. Penjelasan
ini menyatu dengan matan di atas, sehingga syarah dan ucapan Nabi
Saw menjadi satu kesatuan matan.
c. Dan banyak lagi contoh hadis lainnya.
Dari beberapa contoh hadis Nabi Saw. tersebut di atas, dapatlah
disimpulkan bahwa syarah hadis pada masa Rasulullah Saw. adalah satu
kesatuan rangkaian hadis itu sendiri atau merupakan hadis lain yang
berdiri sendiri, maka pada masa Rasulullah Saw. ini pula syarah hadis
yang berdiri sendiri hampir dinyatakan tidak ada, mengingat seluruh
rekaman sahabat dari ucapan, perbuatan, sifat dan ketetapan Rasulullah
Saw. merupakan hadis dan tidak disebut sebagai syarah hadis sebagaimana
term yang kita kenal saat ini.
Pada masa selanjutnya, yaitu masa Khulafa’ur Rasyidin, hadis Nabi
Saw. tetap dipelihara melalui hafalan dan ada beberapa ulama yang
menuliskannya,12 bahkan dalam diri sahabat terdapat suatu komitmen
untuk senantiasa mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal
ini pula yang menjadikan apa yang datang dari sahabat yang notabene
bersumber dari Rasulullah Saw. turut menjadi pegangan bagi generasi
berikutnya yang disebut dengan atsar13
Pada masa ini, syarah hadis belum mempunyai bentuk sendiri, artinya
apa yang menjadi penjelasan sahabat terhadap hadis Nabi Saw. belum
dinamai syarah melainkan atsar, karena apa yang menjadi dasar syarah

 أو

 ك
 أ  … ا
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 343
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
(penjelasan) para sahabat dan tabi’in adalah apa yang disandarkan pada
Rasulullah Saw. pula (hadis), hanya saja umumnya ulama menyebut hadis
yang bersandar kepada sahabat ini dengan sebutan hadis mauquf atau
banyak yang menyebut dengan atsar sebagaimana telah dikemukakan di
atas.
Berikut ini contoh hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari ’Amr
bin Yahya al-Muzanni dari ayahnya, bahwa ia (ayah ’Amr) berkata kepada
’Abdullah bin Zaid bin ’Ashim (kakek ’Amr yang sekaligus salah
seorang sahabat Rasulullah Saw.), ayah ’Amr berkata:
14
“Dapatkah kamu memperlihatkan padaku cara wudlu Rasulullah?...”
‘Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim-pun berkata: ya aku bisa, kemudian ia
memanggil ayah ‘Amr dan mengajarkan cara wudlu tersebut.”
Hadis tersebut tampak bahwa penjelasan sahabat terhadap suatu
perbuatan Rasulullah Saw. belum banyak melibatkan interpretasi ataupun
penafsiran yang mandiri dari kalangan mereka, sekalipun cara yang
dilakukan kakek ‘Amr tersebut merupakan hasil pengamatan yang
dilakukannya sesuai kekuatan daya tangkap yang dimilikinya. Namun
demikian pada era ini bukannya tidak ada syarah yang berdiri sendiri,
sebab sudah ada matan hadis yang mendapatkan catatan para sahabat
dan dibukukan ulama modern sebagai keterangan tambahan mereka
terhadap teks aslinya, namun ada pula yang telah bercampur baur sehingga
muncul dalam ilmu hadis ada istilah hadis mudraj (hadis yang terdapat
sisipan didalamnya baik pada matan maupun sanadnya).
Pada masa khalifah ini pula (setelah wafatnya Rasulullah Saw.,
khususnya pada akhir kekuasaan ‘Utsman bin ‘Affan, kekuatan politik
mulai memasuki lapangan sunnah yang ditandai dengan munculnya hadis-
hadis palsu yang beredar di masyarakat. Hal inilah yang menjadikan
pemicu bagi ulama hadis -yang kommit untuk melakukan pemeliharaan
sunnah Nabi Saw. melalui hadis-hadis Nabi Saw. tersebut-
mulai mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadis Nabi Saw dan
menyebarluaskannya melalui sebuah periwayatan serta berusaha keras
menentang orang-orang yang mengembangkan hadis-hadis palsu. Usaha
ulama ini mulai menunjukkan existensinya dengan mengembangkan
ْ ؟ … ..

 ل ا  ن ر
 آ "# آ $% & ان '#(
)& * ه
344 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
hadis ke berbagai kota Islam yang telah dikuasainya yaitu dengan
mendirikan lembaga-lembaga hadis di sana (madarisul hadits).15
Selanjutnya pada masa pembukuan, atas desakan Khalifah ‘Umar
bin ‘Abdil ‘Aziz para ulama berlomba-lomba mencari, mengumpulkan
dan menuliskan hadis dalam sebuah kitab, hal ini bukan berarti penulisan
hadis pada masa-masa sebelumnya belum pernah ada sama sekali,16akan
tetapi masa ini umumnya disepakati ulama hadis sebagai masa resmi
perintah penulisan hadis dalam sebuah kitab sebagai sebuah tuntutan
perkembangan Islam yang semakin luas, sementara ulama penghafal
hadis semakin berkurang dari sisi kuantitas akibat gugur dalam
peperangan maupun penurunan kualitas daya hafalan. Hal inilah yang
memunculkan hasrat khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz untuk menjaga hadis
dari kepunahan dengan cara membukukannya. 17
Kitab hadis yang masyhur pada saat ini dan dianggap kitab pertama
hadis adalah kitab hadis susunan az-Zuhri dan diikuti oleh ulama-ulama
sesudahnya seperti Malik, asy-Syafi’i dan lainnya, namun yang sampai
kepada kita sedikit sekali seperti al-Muwaththa’ karya Malik dan al-Musnad
karya asy-Syafi’i dan al-Atsar karya asy-Syaibani. Dari ketiga kitab ini
yang paling masyhur adalah al-Muwaththa’.18
Seiring dengan pembukuan kitab hadis ini pula, syarah hadis -yang
berkembang sebelumnya merupakan tradisi lisan yang disampaikan oleh
guru-guru hadis kepada muridnya,- mulai mengambil bentuk sebagai
syarah hadis secara tertulis, yaitu men-syarah-i hadis-hadis dalam suatu
kitab himpunan hadis yang telah ada pada masa ini. Sekalipun gerakan
penulisan syarah hadis ini belum banyak dikenal pada masa ini, namun
terdapat sebuah data yang mengemukakan adanya syarah terhadap kitab
al-Muwaththa’ karya Imam Malik19 (yang dianggap sebagai kitab hadis
pertama yang masih ada hingga saat ini), salah satu kitab syarah hadis
tersebut adalah buah karya ‘Abdullah bin Nafi’ yang dikenal dengan
al-Shaig yang berjulukan Abu Muhammad (w. 186 H.) dengan karyanya
Tafsîr ila Muwaththa’20
Namun demikian, masa ini belum disebut sebagai ‘asyrusy syarh,
karena kegiatan syarah hadis pada saat itu masih sedikit dan sulit dilacak
naskah aslinya (baru makhthûthât) dan tidak sampai kepada kita.
Disamping itu kegiatan sebagian besar ulama hadis masa ini adalah
mengumpulkan dan menuliskannya dalam kitab (membukukannya).
Akan tetapi dapatlah kiranya dinyatakan bahwa sejak adanya penulisan
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 345
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
resmi dan dibukukannya hadis ini, embrio pensyarahan dalam bentuk
tertulis dan dibukukan mulai ada.
Secara umum pada pembahasan sejarah awal syarah hadis ini ditandai
dengan adanya embrio penulisan kitab syarah hadis, adapun metode
pensyarahan masih lebih banyak menggunakan pola lama yaitu secara
lisan, sebagaimana dilakukan oleh guru-guru hadis kepada murid-
muridnya. Untuk mengetahui bagaimana metode mereka dalam
menjelaskan (memberikan syarah) terhadap hadis Nabi Saw., DR. ’Utsman
al-Khasyit mengemukakan empat model (style) metode pengajaran guru
hadis terhadap murid-muridnya berikut penjelasannya, antara lain:21
1. Asy-Syarh at-tafshîli (penjelasan terperinci) yang mana seorang
guru membacakan hadis Nabi Saw., kemudian berhenti sejenak untuk
mengemukakan isnad dan nama rijâlnya sesuai dengan kaedah al-jarhu
wa at- ta’dîl, kemudian membicarakan tentang persambungan sanad
atau keterputusannya dan menentukan keshahihan atau keda’ifannya
dengan menyebutkan letak kecacatannya bila ditemukan di dalamnya
kecacatan yang dimaksud, baru kemudian menjelaskan matan hadis
mulai dari penjelasan kalimat per-kalimat yang sulit (musykil) serta
menerangkan fungsi dan penggunaan lafaz tersebut dalam konteks nash,
memberikan pemahaman terhadap susunan-susunan kalimat yang
menyulitkan disertai pernyataan-pernyataan yang menguatkan
(argumen) seperti syair Arab sebagai syahid, kemudian membandingkan
matan hadis tersebut dengan matan hadis serupa dalam satu tema yang
sama dan langkah selanjutnya melakukan istinbâth hukum serta
menyebutkan hal-hal yang terkait langsung maupun tidak langsung baik
pada sanad maupun matan hadis.
2. Asy-syarh al-wasîth (penjelasan sederhana) yang mana seorang
guru membacakan hadis Nabi Saw., kemudian diikuti beberapa penjelasan
secukupnya tentang lafaz-lafaz yang asing (garib) dan susunan kalimat
yang terkait, selanjutnya memberikan wacana pemikiran secara ringkas
tentang diterima atau ditolaknya (maqbûl mardûd-nya) rijâl dari isnad
yang ada, baru kemudian ia menjelaskan secara global beberapa faedah
atau manfaat hadis tersebut baik sanadnya maupun matannya apabila
hal itu dikehendaki untuk sekedar membantu bilamana murid masih
menghadapi hal-hal yang musykil atau kesulitan-kesulitan yang tampak
pada nash dengan menggunakan penjelasan-penjelasan yang telah ada
sebelumnya dan telah dipegangi (dijadikan hujjah) oleh ulama umumnya.
346 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
3. Asy-syarh al-wajîz (Penjelasan ringkas) yang mana seorang guru
dalam menyampakan hadis cukup dengan menjelaskan hal-hal yang
sulit dan tempat-tempat yang musykil dengan menyebutkan
beberapa pokok permasalahan yang ada di dalamnya dengan sangat
ringkas sekali.
4. Al-qira’ah at-tatbî’iyyah (membaca ditirukan), yang mana
seorang guru dalam mengajarkan hadis Nabi Saw., cukup dengan
membacakan kitab hadis dalam tema pelajaran tetentu, kemudian apa
yang dibaca guru tersebut diikuti atau ditirukan oleh murid-muridnya
dengan tanpa menjelaskan apa yang ada di dalamnya, baik segi
kebahasaan, istinbâth hukum ataupun kritik sanad. Murid cukup
mendengarkan sanad dan matan serta tempat-tempat rujukan (marâji’)
yang jelas.
Demikianlah sekilas lahirnya syarah hadis sejak era Nabi hingga era
pembukuan hadis, umumnya masih disominasi pola safahi (secara lisan)
dengan metode yang telah beragam dari yang sekedar menyampaikan
hadisnya dan penjelasan sanad dan marâji’-nya hingga penyampaian hadis
berikut penjelasan yang sangat rinci (tafshîli).
Perkembangan Syarah Hadis
Sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan sejarah awal
syarah hadis, tampak bahwa syarah hadis dalam era awal ini belum memiliki
spesifikasi khusus, mengingat syarah (penjelasan) Nabi Saw.- pun belum
berdiri sendiri melainkan menjadi satu kesatuan teks (matn) hadis Nabi
Saw. tersebut, sebagaimana hadis-hadis yang kita saksikan dalam kitab-
kitab hadis Nabi Saw. Namun demikian, dapatlah dinyatakan bahwa
embrio syarah hadis telah muncul pada era ini, walaupun belum memiliki
format yang terbakukan (menjadi sebuah ilmu yang dapat dipelajari
kaedah-kaedahnya).
Seiring dengan masa pembukuan hadis (abad ke-2 H.) yang masih
bersifat akomodatif ini ulama pada umumnya hanya sekedar
mengumpulkan, kemudian menuliskannya dalam sebuah kitab, tanpa
adanya kritik atau penelitian secara detail. Disamping itu, hadis Nabi
Saw. masih bercampur pula dengan perkataan sahabat dan fatwa-fatwa
tabi’in.22
Pada masa berikutnya (abad ke-3H), para ulama berupaya menyusun
kembali kitab hadis dengan spesifikasi yang lebih sistematis dan lebih kritis
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 347
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
dari upaya penghimpunan hadis pada kitab-kitab sebelumnya. Upaya
sistematisasi dan kritisisasi hadis tersebut antara lain :
1. Upaya mengumpulkan hadis Nabi Saw. secara khusus yang
dijadikan ajang pertentangan ahl al-kalâm dan ahl al-hadîts seperti yang
dilakukan Ibn Qutaibah dalam kitabnya Ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts fi
ar-Raddi ‘ala ‘Adâil al-Hadîts.
2. Upaya mengumpulkan hadis Nabi Saw. yang berada di bawah
nama seseorang sahabat, baik yang shahih ataupun yang tidak shahih
susunan ini disebut dengan musnad, di antara karya masa ini dengan tipe
musnad adalah Musnad karya ‘Ubaidullah ibn Musa (w. 213 H.), Musnad
al-Humaidi (w. 219 H.) dan lainnya.
3. Upaya mengumpulkan hadis Nabi Saw. dalam susunan bab-bab
fikih, muncullah kitab-kitab yang terkenal masa ini antara lain karya
Isma’il al-Bukhari (w. 256 H.) yang dikumpulkan dalam bagian kitab
Shahîh-nya, demikian pula karya Muslim bin al-Hajjaj dalam bagian
kitab Shahîh-nya serta kitab-kitab sunan yang disusun oleh Abu Dawud,
at-Turmudzi dan an-Nasa’i dan lainnya.23
Sejak masa pembukuan hadis Nabi Saw. hingga masa berikutnya ini
(abad ke-3 H., perkembangan syarah hadis Nabi Saw. bukan berarti
kosong sama sekali, terbukti disela-sela para ulama sibuk dalam aktifitas
pemilahan dan penyusunan kitab hadis Nabi Saw. yang sistematis, juga
ditemukan kitab syarah hadis Nabi Saw. sebagai buah karya ulama masa
ini, yaitu pada abad ke-2 dan ke-3 H atau antara 101-399 H. Di
antaranya: ‘Alam as-Sunan syarah terhadap al-Jâmi’ as-Shahîh karya Abu
Sulaiman Ahmad bin Ibrahim bin al-Khaththabi al-Busti (w. 388 H.)
yang juga menulis syarah yang lain yaitu Ma’âlim as-Sunan syarah Sunan
Abi Dawud.24
Kitab-kitab syarah hadis Nabi Saw. tersebut membuktikan tetap
adanya aktifitas penulisan kitab syarah hadis Nabi Saw. pada masa itu,
namun era tersebut belum dikenal ataupun dijuluki sebagai “masa
pensyarahan” (‘asyr as-syarh) sebab sebagian besar konsentrasi ulama
masih dalam rangka pemilahan dan penyusunan hadis-hadis Nabi Saw.
secara sistematis dalam sebuah kitab.
Demikian pula dengan masa berikutnya (yaitu masa penelitian,
penertiban dan pengumpulan hadis-hadis yang memiliki karakteristik
dan kualitas khusus, yaitu antara 400-656 H. Di dalam era ini jenis kitab
hadis Nabi Saw. mencakup sebagian besar kitab-kitab hadis yang sifatnya
348 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
mengumpulkan kitab-kitab hadis yang telah di himpun dalam kitab-kitab
hadis Nabi Saw. sebelumnya. Seperti kitab hadis Nabi Saw. yang
mengumpulkan dua kitab shahîh, (Shahîhain: karya al-Bukhari dan
Muslim) karya Ibn al-Furat (w. 414 H.), kitab hadis Nabi Saw. yang
menghimpun dua kitab shahîh (Shahîhain: karya al-Bukhari dan Muslim)
karya Muhammad bin Nashr al-Hamidi al-Andalusi (w. 488 H.) serta
lainnya. Kemudian ada pula kitab hadis yang mengumpulkan hadis-
hadis Nabi Saw yang telah tertuang dalam gabungan beberapa kitab hadis
seperti kutub as-sittah (Shahîh al-Bukhâri, Shahîh Muslim, Sunan at-Turmudzi,
Sunan Abi Dawud, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah) di antaranya
karya Ahmad bin Razin bin Mu’awiyyah al-Abdari al-Sarqisthi (w. 535
H.) dan beberapa kitab lainnya.25
Pada era ini-pun penulisaan syarah hadis juga telah muncul, seperti
al-Muqtabis karya al-Bathalyusi (444-521 H.), dan beberapa kitab syarah
hadis lainnya.26 Namun demikian penulisan kitab syarah hadis masih
belum begitu marak atau belum menjadi konsentrasi umumnya ulama
hadis. Lain halnya dengan era berikutnya yaitu era pensyarahan
hadis yang dimulai sejak tahun 656 H. sampai era-era berikutnya.27
Dalam era pensyarahan inilah benar-benar penulisan kitab syarah
hadis Nabi Saw. begitu banyak dan tak terbilang jumlahnya, apalagi obyek
kitab hadis Nabi Saw. yang disyarahi juga banyak jumlahnya. Ulama
pada umumnya tidak lagi disibukkan oleh aktifitas sistematisasi kitab
himpunan hadis, penelitian dan penambahan-penambahan hadis dalam
suatu kitab, melainkan pada masa ini mereka berupaya menjelaskan
hadis Nabi Saw. -yang telah dihimpun dalam kitab-kitab hadis Nabi
saw. Tersebut- dengan penjelasan-penjelasan yang dibutuhkan agar hadis
Nabi Saw. tersebut dapat dipahami dan diamalkan.
Di antara kitab syarah hadis pada abad ke-7 hingga masa berikutnya
ini antara lain: Kasf al-Githâ’ fi Syarh Mukhatashar al-Muwaththa’ karya
Abu Muhammad bin Abil Qasim al-Farhuni al-Ya’muri at-Tunisi (w. 763
H.), Syarhul Muwaththa’ karya Abul Majdi ‘Uqaili bin ‘Athiyyah al-Qudla’i
(w. 608 H.), Al-Muhalla bi Asrâr al Muwaththa’ karya Salamullah al-Hanafi
(w. 1229 H.).28 Kemudian kitab-kitab syarah terhadap kutub at-tis’ah yang
akan diuraikan tersendiri dalam tulisan berikutnya.
Kitab-kitab syarah lainnya yang tumbuh pada era ini hingga sekarang
antara lain Fathul ‘Allâm bi Syarh al ‘I’lm bi Ahadîts al-Ahkâm karya Abu
Yahya Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i, al-Khazraji (825-925 H.), Ibânah
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 349
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
al-Ahkâm bi Syarh Bulûgh al-Marâm karya ’Alwi ‘Abbas al-Maliki wa Hasan
Sulaiman anl-Nawawi, Nail al Authâr min Ahâdîts Sayyid al-Akhyâr Syarh
Muntaq al-Akhbâr karya Muhammad bin ‘Ali ibn Muhammad asy-Syaukani
(1172-1255 H.), Subul as-Salâm Syarh Bulûgh al Marâm karya al-Amir
ash-Shan’ani (1099-1182 H.) dan masih banyak lagi kitab-kitab syarah
hadis lainnya.
Metode Syarah Hadis yang Berkembang
Dari beberapa kitab syarah hadis yang ada hingga saat ini begitu
banyak dan ragam metode pensyarahannya. Ulama hadis belum banyak
yang konsern terhadap kajian metodologi pensyarahan hadis Nabi Saw.,
tidak halnya dengan ulama tafsir yang telah mengklasifikasikan metode
tafsir ke dalam 4 metode antara lain: metode tahlili, Ijmali, muqaran dan
maudlu’i.29 Begitu pula dengan pendekatan tafsir pada 2 macam antara
lain bi ar-ra’yi dan bi ar-riwâyah,30 serta berbagai corak tafsir seperti corak
Teologi, kebahasaan, hukum, tasawwuf, dan sebagainya.31.
Tentang metode syarah hadis Nabi Saw., ada beberapa sumber yang
telah menyebutkan baik secara langsung maupun tidak langsung
keberadaan metode syarah hadis Nabi Saw. ini, walaupun wacana yang
telah digulirkan ulama-ulama tersebut belum memiliki suatu bentuk
metode syarah hadis Nabi Saw. yang baku. Wacana tersebut antara lain
dikemukakan beberapa ulama berikut ini :
1. DR. ‘Utsman al-Khasyit dalam bukunya Mafâtih ‘ulûm al-Hadîts
wa Thuruqu Takhrîjih telah mengemukakan metode pengajaran hadis Nabi
Saw. oleh seorang guru terhadap muridnya, berikut penjelasan-
penjelasan terhadap kandungan hadis Nabi Saw. yang ada di dalamnya
(syarah) dengan menggunakan metode pengajaran dan pensyarahan
sebagai berikut: al-Qirâ’ah at-tatbî’iyyah, asy-syarh al-wajîz, asy-syarh
al-wasîth, dan asy-syarh at-tafshîli (penjelasan selengkapnya masing-
masing metode telah dijelaskan sebelumnya).
2. Al-Mubarakfuri dalam mukaddimah kitab syarahnya yaitu Tuhfah
al-Ahwadzi, ia mengelompokkan kitab syarah hadis Nabi Saw. kepada
tiga kelompok metode syarah hadis Nabi Saw., antara lain:32
a. Asy-syarh bi qâla aqûlu, yaitu kitab syarah hadis Nabi Saw. yang
menempatkan matan hadis Nabi Saw. pada awal susunan kitabnya, baru
kemudian syarih (orang yang menyarahi) memberikan keterangan atas
350 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
matan hadis tersebut secara langsung. Seperti kitab syar al-Maqâshid
dan ath-Thawali (keduanya karya al-Ashfahani
b. Asy-syarh biqaulihi, yaitu kitab syarah hadis Nabi Saw. yang
menempatkan matan hadis Nabi Saw. secara sempurna terlebih dahulu,
baru kemudian syârih memberikan penjelasan maksud kalimat tertentu
dari matan hadis tersebut, umunya catatan atau keterangan ini mereka
tempatkan sendiri pada tepi garis atau di bawah garis. Seperti kitab syarh
al-Bukhâri karya Ibn Hajar al-‘Asqalani dan al-Kirmani serta kitab-kitab
syarah hadis Nabi Saw. yang sejenis dengannya.
d. Asy-syarh mazjân au mamzûj, yaitu kitab syarah hadis Nabi Saw.
yang menempatkan matan hadis Nabi Saw. dengan penjelasan (syarah)nya
secara satu kesatuan (bercampur), hanya saja keduanya dibedakan
satu dengan lainnya melalui istilah-istilah seperti mim (ã) untuk matannya
dan syin (Ô) untuk syarahnya atau dengan cara lain yaitu disusun seperti
buku biasa hanya diberikan semisal catatan kaki. Seperti kebanyakan
cara-cara kelompok syarah mutaakhkhir.
3. Sebagian besar ulama hadis secara personal telah menyebutkan
beberapa langkah pensyarahannya dalam kitab-kitab syarah hadis mereka,
seperti muallif-muallif sekaligus syarih berikut ini:
a.Khaliil Muhammad as-Sahar Nufuri dalam muqaddimah kitab
syarahnya (Badzl al-Majhûd) mengemukakan langkah-langkah
pensyarahannya pada hadis-hadis yang terhimpun dalam Sunan Abi
Dawud, di antara manhajnya adalah: Mengemukakan pendapat ulama
terdahulu dalam menjelaskan suatu matan hadis, ia juga menguraikan
biogarfi rawi dalam sanad hadis tersebut khususnya rawi-rawi yang disebut
pada awal-awal hadis, sementara biografi rawi yang sama pada hadis
berikutnya tidak disebut lagi, ia juga menyebutkan pendapat madzhab
Hanafi dalam banyak hal yang terkait dengan masalah fikih terutama
jika hadis tersebut sesuai dengan pendapat mereka, bila tidak sesuai,
mereka akan berusaha menjelaskan alasannya. Demikian di antara
manhaj an-nufuri dalam muqaddimah syarahnya.33
b.Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi dalam muqaddimah syarahnya
(Aujaz al- Masâlik ila Muwaththa’ Malik) juga mengemukakan beberapa
manhaj syarah-nya seperti menerangkan matan dan lafadz sanad hadis
yang disyarahi melalui penjelasan huruf perhuruf, menyampaikan lafadz
periwayatan (redaksi matan) yang seirama dari kutub al-sittah, kemudian
menjelaskan nama rijal secara singkat berikut penilaian kritikus (ahl anTeologia,
Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 351
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
nuqqâd) terhadap rijâl tersebut, di samping itu menjelaskan pula pendapat
mazhab empat dan mazhab lainnya dalam masalah khilâfiyyah terutama
mazhab Maliki (madzhab syârih), dan beberapa manhaj lainnya.34
c.Dan beberapa manhaj syârih dalam beberapa kitab syarah-nya
masing-masing.
4. M.M. Abu Syuhbah dalam kitabnya Fi Rihâb Kutub as-Shihhah
as-Sittah yang mengemukakan beberapa kitab syarah hadisnya berikut
metode syarah yang digunakan masing-masing ulama terhadap kitab-
kitab hadis Nabi Saw. yang tergabung dalam kutub as-sittah ini (ada
yang rinci, ada pula yang sederhana).
Dari keempat wacana syarah hadis Nabi Saw. yang telah digulirkan
tersebut diatas, wacana yang pertama menurut hemat penulis lebih
menonjolkan pembagian metode syarah hadis pada wilayah materi yang
disyarahi. Pada wacana kedua lebih menonjolkan pada pembagian kitab
syarah hadis pada bentuk penulisannya dalam sebuah kitab. Sementara
wacana ketiga dan keempat lebih ditonjolkan pada langkah-langkah
individu syârih dalam memberikan ulasan dan penjelasan baik dari
susunan redaksi (penulisannya dalam sebuah kitab) juga pada areal materi
yang disyarahi berikut komponen-komponen yang melengkapi
penjelasannya.
Berpijak dari sumber yang telah menyebutkan baik secara langsung
maupun tidak langsung adanya metode syarah hadis Nabi Saw. tersebut,
penulis mencoba mengklasifikasikan metode syarah hadis Nabi Saw. yang
berkembang dengan melihat beberapa kitab syarah hadis Nabi Saw.
sebagai sample (mulai dari muqaddimahnya hingga susunan pensyarahan
dan beberapa pendekatan yang menonojol pada masing-masing kitab syarah
hadis Nabi Saw. tersebut. Adapun sample kitab-kitab syarah hadis Nabi
Saw. yang digunakan untuk merumuskan metode syarah hadis secara
umum tersebut antara lain:
1. Aujaz al-Masâlik ila Muwaththa’ Malik karya Muhammad Zakariyya
al-Kandahlawi (1315-1392).35
2. Irsyâd as-Sâri ila Syarh as-Shahîh al-Bukhâri karya Syihabuddin
Ahmad ibn Muhammad al-Khathib al-Qasthalani (851-923)36
3. Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Jâmi at-Turmudzi karya Abul ‘Ali
Muhammad ‘Abdirrahman bin ‘Abdirrahim al-Mubarakfuri (1283-1353)37
352 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
4. Fath al-’Allâm bi Syarh al’I’lâm bi Ahâdits al-Ahkâm karya Abu Yahya
Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’I al-Khazraji (825-925)38
5. Ibânah al-Ahkâm bi Syarh Bulûgh al-Marâm karya ‘Alwi ‘Abbas al-
Maliki dan Hasan Sulaiman an-Nawawi39
6. Umdah al-Qâri syarh as- Shahîh al-Bukhâri karya al-Badru al-‘Aini
(725-855)40
7. Al-Bukhâri bi Syarh al-Kirmani karya al-Kirmani41
8. ‘Aun al-Ma’bûd syarh as-Sunan Abi Dawud karya Abuth Thayyib
Muhammad Syamsul Haqqil ’Azhim Abadi42
9. Nail al-Authâr min Ahâdits Sayyid al-Akhyâr syarh Muntaq al-Akhbâr
karya Muhammad bin ’Ali ibn Muhammad asy-Syaukani (1172-1255)43
10. Badzl al-Majhûd fi Halli Abi Dawud karya Khalil Ahmad as-Sahar
Nufuri (1269-1346)44
11. Sunan an-Nasa’i bi syarh Jalâluddin as-Suyuthi karya Jalaluddin
as-Suyuthi 45
12. Al-Musawwa syarh al-Muwaththa’ karya Waliyyullah ad Dahlawi
(1114-1176)46
13. Syarh az-Zarqani ‘ala Muwaththa’ al-Imam Malik karya Muhammad
bin ’Abdil Baqi bin Yusuf az-Zarqani al-Mishri al-Azhari al-Maliki (w.
1122)47
14. Shahîh Muslim bi syarh an-Nawawi karya An-Nawawi48
15. Tanwîr al-Hawâlik karya Jalaluddin as-Suyuthi49
Dari beberapa sample kitab syarah hadis Nabi Saw. tersebut, penulis
mencoba membuat klasifikasi pensyarahan untuk mempermudah konklusi
sementara metode syarah hadis Nabi Saw. yang ada, yaitu membagi
pensyarahan pada empat klasifikasi antara lain:
a). Umum (judul kitab atau bab),
b). sanad,
c). matan, dan
d). pemahaman isi.
Masing-masing klasifikasi tersebut memiliki unsur-unsur berikut:
a). Pada klasifikasi umum (penjelasan nama kitab atau bab/ tema)
meliputi :
1. Penjelasan bunyi lafad (harf wa syakl)
2. Penjelasan kaedah bahasa (nahw wa sharf)
3. Penjelasan arti kamus (ma’na lugawi)
4. Penjelasan arti istilah atau maksud (ma’na ishthilâhi)
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 353
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
b). Pada klasifikasi Sanad meliputi :
5. Penjelasan nama seluruh rijâl
6. Penjelasan nama sebagian rijâl
7. Penjelasan nilai rijâl
8. penjelasan alasan (sabab al-jarh wa at- ta’dîl) penilaian terhadap
rijâl
9. Penjelasan nilai status hadis
10. Penjelasan argumentasi nilai status hadis
c). Pada klasifikasi matan meliputi :
11. Penjelasan kata perkata
12. Penjelasan per-kalimat
13. Penjelasan setelah keseluruhan matan dikemukakan
14. Penjelasan kata-kata sulit saja (gharîb)
15. Penjelasan lafal/ redaksi (matn) lain sebagai syahid
d). pada klasifikasi pemahaman isi meliputi :
16. Penjelasan hukum yang ada di dalamnya
17. Penjelasan pendapat multi mazhab
18. Penjelasan pendapat mazhab aliran tertentu
19. Penjelasan pendapat satu mazhab saja
20. Penjelasan pendapat sendiri
21. Penjelasan dalil yang digunakan oleh mazhab
22. Penjelasan hal-yang terkait seperti faedah,hikmah
23. Penjelasan pendapat syarih terdahulu
Dari klasifikasi tersebut, penulis menympulkan sementara (masih
menuntut penelitian lebih lanjut yang lebih mendalam dan
spesifik) bahwa pada dasarnya metode syarah yang ada terbagi dalam
dua kategori besar :
Pertama, ditinjau dari susunan syarah, terbagi dalam tiga kelompok
syarah:
1. Syarah tafshîli atau syarah rinci, yaitu syarah hadis Nabi Saw. yang
di dalam susunan kitab syarah hadis model ini sekurang-kurangnya
memiliki lebih dari 13 unsur dari 23 unsur yang ada. Seperti syarah Aujazul
Masalik ila Muwaththa’ karya Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi
(1315-1392), Irsyâd as-Sâri ila syarh Shahîh al-Bukhâri karya Syihabudin
Ahmad ibn Muhammad al-Khathib al-Qasthalani (851-923) dan lainnya.
2. Syarah wasîth atau syarah menengah, yaitu syarah hadis Nabi Saw.
yang di dalam susunan kitab syarah hadis model ini sekurang-kurangnya
354 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
memiliki lebih dari 7 unsur dari 23 unsur yang ada. Seperti syarah Tuhfah
al-Ahwadzi syarh Jâmi’ at-Turmudzi karya Abul ‘Ali Muhammad
‘Abdirrahman bin ‘Abdirrahim al-Mubarakfuri (1283-1353), Ibânah al-
Ahkâm bi syarh Bulûgh al-Marâm karya ’Alwi ’Abbas al-Maliki dan Hasan
Sulaiman an-Nawawi dan lainnya.
3. Syarah wajîz atau syarah terbatas, yaitu syarah hadis Nabi Saw.
yang di dalam susunan kitab syarah hadis model ini kurang dari 7
unsur dari 23 unsur yang ada. Seperti syarah Sunan an-Nasa’i bi syarh
Jalaluddin as-Suyuthi karya Jalaluddin as-Suyuthi, Shahîh Muslim bi syarh
an-Nawawi karya An-Nawawi, dan lainnya.
Kedua, ditinjau dari pendekatan syarah yang digunakan, terbagi
dalam tiga kelompok syarah:
1. Syarah hukum, yaitu kitab syarah yang menggunakan pendekatan
hukum (fiqh) lebih menonjol dalam menjelaskan nash, khususnya unsur
no 16, 17, 18, 19, 21. Seperti syarah Aujaz al-Masâlik ila Muwaththa’
karya Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi (1315-1392), Fath al-’Allâm
bi Ahâdits al-Ahkâm karya Abu Yahya Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i
al-Khazraji (825-25) dan lainnya.
2. Syarah kebahasaan, yaitu kitab syarah yang menggunakan
pendekatan bahasa lebih menonjol dalam menjelaskan nash, khususnya
unsur no 1, 2, 3, 4. Seperti syarah ’Umdah al-Qâri Syarh Shahîh al-Bukhâri
karya al-Badr al-’Aini (725-855), al-Bukhâri bi syarh al-Kirmani karya al-
Kirmani, dan lainnya.
3. Syarah komprehensip, yaitu kitab syarah yang menggunakan multi
pendekatan dalam menjelaskan nash, hingga mencapai hampir
keseluruhan unsur yang ada terdapat didalamnya. Seperti syarah Irsyâd
as-Sâri ila Syarh Shahîh al-Bukhâri karya Syihabuddin Ahmad ibn
Muhammad al-Qasthalani (851-923).
Penutup
Demikian gambaran ringkas sejarah dan tipologi syarah hadis, untuk
memahami lebih lanjut dapat dilakukan riset terhadap masing-masing
kitab hadis guna penyempurnaan tawaran penulis di atas. Penulis yakin
masih banyak yang perlu dikritisi dan dikonstruk lebih baik lagi.[]
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 355
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
Catatan Akhir:
Penulis adalah doktor Hadis Ilmu Hadis pada Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Saat ini menjabat sebagai
Ketua Jurusan Tafsir Hadis. Alamat Jl. Silandak Selatan III No. 12 Rt. 01
Rw. 13, Purwoyoso, Ngaliyan, Semarang. Hp. 08122851186.
1Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: Unit
Pengembangan buku-buku ilmiah keagamaan PP. al-Munawwir, Krapyak,
1984), h. 756-757; lihat pula E.J. Brill, First Encyclopaedia of Islam 1913
1936, Volume. VII (Leiden: E.J. Brill’s, 1987), h. 320
2E.J. Brill, ibid..
3John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Ingrris Indonesia (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 1990), Cet. XVIII, h. 129
4Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an, English translation of the
meanings and commentary (Madinah: King Fahd Holy Qur’an Printing
complex, 1410 H.) h. (cover)
5Waliyyuddin Muhammad bin ‘Abdillah al-Khathib al-’Umari at-
Tabrizi, Misykatul Mashâbih, translated and anotated by Abdul Hameed
Siddiequi (New Delhi 110002: Kitab Bhavan, tt.), h. xvii
6Muhammad Thahir al-Jawwabi, Juhûdul Muhadditsîn fi Naqdi Matnil
Hadîtsin Nabawi asy-syarîf (Nasyr wa tauzi’ Muassasatul Karim bin ‘Abdillah,
t.th.), h. 128; Lebih lanjut al-Hakim juga mengatakan bahwa
mengetahui fiqhul hadits merupakan buah dari ilmu hadis ini, melalui
fiqhul hadits ini pula ditegakkannya syari’ah. al-Hakim Abu ‘Abdillah
an-Naisaburi, Ma’rifatu ‘Ulûmil Hadîts (Kairo: Maktabah al-Mutanabbi,
tt.), h. 63
7Muhammad Thahir al-Jawwabi. op.cit., h. 129
8Sejarah hadis ialah periode-periode (babak-babak) yang telah dilalui
oleh hadis Nabi Saw. dari masa ke masa, semenjak dari masa
pertumbuhannya sampai kepada zaman kita sekarang ini. Tentang
periodisasi ini banyak terjadi beda pendapat di kalangan penulis sejarah
hadis, ada yang membagi tiga periode, ada yang lima periode dan ada
pula yang tujuh periode. Berikut ini periodisasi yang dilakukan Hasbi
ashShiddiqi dalam tujuh periode, dengan alasan pembagian yang tiga
ataupun lima periode telah tercakup di dalamnya dan alasan lainnya
adalah periodisasi yang tujuh ini dianggap lebih rinci dibandingkan dua
periodisasi tersebut. Periode-periode tersebut adalah:
356 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
Periode I : ‘Asyrul wahyi wat Takwîn (Hadis pada masa Rasulullah
Saw.)
Periode II : ‘Asyrut Tasabbuti wal iqlâli minar riwâyati (Hadis pada
masa khulafa ar-Rasyidin)
Periode III : ‘Asyrul intisyrâr riwâyati (Hadis pada masa pasca
Khulafa ar-Rasyidin hingga akhir abad pertama)
Periode IV : ‘Asyrul Kitâbi wat Tadwîni (Hadis pada abad kedua
Hijrah)
Periode V : ‘Asyrut Tajrîdi wat Tashîhi wat Tanqîhi (Hadis pada abad
ketiga Hijrah)
Periode VI : ‘Asyrut Tahzîbi wat Tartîbi wal Istidrâki wal jam‘il
khâsh (Masa penelitian, penertiban dan pengumpulan hadis-hadis
khusus)
Periode VII: ‘Asyrusy Syarhi wal Jam‘i am wat Takhrîji wal bahsi ‘aniz -
Zawâid (Masa pensyarahan, pengumpulan hadis umum, pentakhrijan
dan pembahasan hadis tambahan. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah
Perkembangan Hadits (jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. xiii-xiv.
9Sunnah secara literal merupakan adat atau kebiasaan atau cara
berbuat atau gaya hidup. Sementara hadis merupakan perkataan yang
disampaikan pada orang lain yang mendengar secara langsung atau
menerima ilham secara lansung, demikian itu maksud asalnya. Oleh
karena itu sunnah mengindikasikan bentuk laku, sementara hadis
merupakan ucapan Rasulullah Saw., akan tetapi dalam realitanya kedua
istilah ini digunakan pada obyek yang sama yaitu untuk perbuatan, sifat
dan pernyataan Rasulullah Saw., dan hadis secara khusus merupakan
bentuk narasi dan rekaman terhadap sunnah baik secara isi, tambahan
dari sejumlah misi kenabian dan unsur sejarah. Maulana Muhammad
‘Ali, MA, The Religion of Islam A Comprehensive Discussion of the Sourches,
Principles, and Practices of Islam (Ttp.: U.A.R. By National Publication
& Printing House, tt.), h. 58
10Ad-Darimi, Sunan ad-Darimi (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.),
Jilid. I, h. 286
11Al-Bukhari, Shahîhul Bukhari (Bandung: Maktabah Dahlan, tt.),
Jilid II, h. 930
12Dalam hal penulisan hadis terdapat kontrofersi, di satu pihak Rasul
Saw. melarang menuliskan hadis, namun di lain pihak mengizinkannya.
Dan untuk menghilangkan pertentangan ini ulama mengkompromikan
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 357
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
dengan beberapa pernyataan diantaranya: bahwa pelarangan penulisan
hadis pada saat turunnya al-Qur’an sebagai bentuk kekhawatiran
akan tercampurnya wahyu al-Qur’an dengan hadis Nabi Saw. Sementara
kebolehen menuliskan hadis Nabi Saw. karena dilakukan pada
kesempatan lain atau dilakukan secara pribadi. M.M. Abu Zahwu, al-
Hadîts wal Muhadditsûn, au ‘inâyatul Ummatil Islâmiyyah bis Sunnatin
Nabawiyyah (Beirut: Dar al-Fikri al-‘Arabi, tt.), h. 122-124.
13Atsar adalah sesuatu (berita, khabar) yang disandarkan kepada
sahabat atau tabi’in yang memiliki keterkaitan atau dimaksudkan pula
sebagai sesuatu yang disandarkan pada Rasulullah Saw. secara tidak
langsung (ada keterikatan dengan maksud Rasulullah Saw.). Oleh karena
itu sering kita jumpai dalam suatu ungkapan (kaitannya dengan atsar
ini) statemen yang berbunyi: “Dalam atsar yang bersumber dari Rasulullah
Saw. :.....”. Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin, Mushthalahatul Hadîts
(Riyad: Dar al-A’lami al-Kutub,1988), h. 7.
14Malik, al-Muwaththa’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 7.
15MM. Abu Zahwu, op.cit., h. 98-101
16Sebagai bukti akan adanya tulisan hadis sebelum masa ‘Umar bin
‘Abdil ‘Aziz ini, bahkan jauh pada masa sahabat telah ada beberapa
naskah(berupa shahifah dipaparkan dalam sebuah hasil penelitian seorang
pakar di bidang hadis ilmu hadis yaitu Prof. DR. MM. Azami, ia
mengemukakan beberapa tulisan para sahabat, para tabi’in abad pertama
hingga sejumlah tabi’in muda dan pengikutnya. MM. Azami, Hadis Nabawi
dan Sejarah Kodifikasinya, terj. H. Ali Mustafa Ya’qub, MA. (Jakarta:
PT. Pustaka Firdaus, 1994), h. 132-440
17MM. Abu Zahwu, op.cit., h. 243-244
18Ibid. h. 245
19Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi, Aujazul Masâlik ila Muwaththa’
Mâlik, Darul Fikr, Beirut, tth., Jilid I, h. 45-55; lihat pula data beberapa
kitab syarah terhadapnya.
20Ibid., h. 49
21Muhammad ‘Utsman al-Khasyit, Mafâtihu ‘ulûmil Hadîts wa Thuruqu
Takhrîjihi (Kairo: al-Maktabah al-Qur’an, tt.), h. 19-20
22M.M. Abu Zahwu, op.cit., h. 363.
23Ibid., h. 364-367
24Ash-Shan’ani, Taudlîhul Afkâr lima’âni Tanqîhil Inzhâr, (Beirut: Dar
al Fikr, tt.), h. 52, 61
358 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
25M.M. Abu Zahwu, op.cit., h. 430.
26Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi, op.cit., h. 45-55.
27M. Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., h. 123; lihat juga keterangan pada
M.M. Abu Zahwu, op.cit., h. 437-438.
28Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi, loc.cit
29‘Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudlu’i, Terj. Suryan A.
Jamrah (Jakarta: Rajawali Press, 1994), h.11.
30M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan peran Wahyu
dalam kehidupan Masyarakat, Cet. V. (Bandung: Mizan, 1993), h. 83-87.
31Mushthafa al-Shawi al-Juwaini al-Ma’arif, Manâhij fit Tafsîr
(Iskandariyah, tt.)., h. 1224-193
32Abul ‘Ali Muhammad ‘Abdirrahman bin ‘Abdirrahim al-Mubarakfuri
(1283-1353), Tuhfatul Ahwadzi syarh Jami’ at Turmudzi (Madinah:
Muhammad ‘Abd al-Muhsin al-Kitabi, tt.), h. 195.
33Khalil Ahmad as-Sahar an-Nufuri, Badzlul Majhûd fi Hallai Abi
Dawud (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), jilid I, h. 44
34Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi, op.cit., jilid I, h. 9
35Lihat Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi, op.cit., h. 9-10.
36Lihat Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Khathib al-
Qasthalani, Irsyâdus Sâri ila Syarhil Bukhâri (Mesir: al-Mathba’ah al-Kubra
al-‘Amiriyyah bi Bulaq, 1323 H.)
37Lihat Al-Mubarakfuri, loc.cit.
38Lihat Abu Yahya Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’I al-Khazraji, Fathul
‘Allâm bi Syarhil ‘I’lâm bi Ahâdîtsil Ahkâm (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, tt.), h. 23.
39Lihat ‘Alwi ‘Abbas al-Maliki dan Hasan Sulaiman an-Nawawi,
Ibânatul Ahkâm bi Syarhi Bulûgil Marâm (Beirut: Dar al-Tsaqafah al-
Islamiyyah, t.th.)
40Lihat Al-Badr al-‘Aini, ‘Umdatul Qâri Syarhu Shahîhil Bukhâri (Beirut:
Muhammad Amin Damji, tt.)
41Lihat Al-Kirmani, Al-Bukhâri bi syarhil Kirmani (Beirut: Dar al-
Fikr, 1991.)
42Lihat Abuth Thayyib Muhammad Syamsul Haqqil ‘Azhim Abadi,
‘Aunul Ma’bûd syarhu Sunan Abi Dawud (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), h.11
43Lihat Muhammad bin ‘Ali ibn Muhammad asy-Syaukani, Nailul
Authâr min Ahâdîts Sayyidil Akhyâr syarhu Muntaqal Akhbâr (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), h. z.
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 359
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
44Lihat Khalil Ahmad as-Sahar an-Nufuri, op.cit., h. 44.
45Lihat Jalaluddin as-Suyuthi, Sunan an-Nasa’i bi syarhi Jalaluddin as-
Suyuthi (Beirut: Dar al-Qalam, tt.)
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Abuth Thayyib Muhammad Syamsul Haqqil ‘Azhim, ‘Aunul Ma’bûd
syarhu Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Abu Zahwu, M.M., al-Hadîts wal Muhadditsûn, au ‘inâyatul Ummatil
Islamiyyah bis Sunnatin Nabawiyyah, Beirut: Dar al-Fikr al-
Arabi, t.th
Al-’Aini, al-Badr, ‘Umdatul Qâri Syarhu Shahîhil Bukhâri, Beirut:
Muhammad Amin Damji, tt.
Ali, Abdullah Yusuf , The Holy Qur’an, English translation of the meanings
and commentary, Madinah: King Fahd Holy Qur’an Printing
complex, 1410 H.
Ali, Maulana Muhammad, MA, The Religion of Islam A Comprehensive
Discussion of the Sourches, Principles, and Practices of Islam, Ttp.:
U.A.R. By National Publication & Printing House, tt.
Azami, MM., Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. H. Ali Mustafa
Ya’qub, MA., Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994
Brill, E.J., First Encyclopaedia of Islam 1913 1936, Volume. VII,
Leiden: E.J. Brill’s, 1987
Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, Bandung: Maktabah Dahlan, tt.
Ad-Dahlawi Waliyyullah, Al-Musawwa syarhul Muwaththa’, Beirut: Dar
al-Kitabil ‘Ilmiyyah, 1983
Ad-Darimi, Sunan ad-Darimi, Bandung: Maktabah Dahlan, tt.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet.
XVIII, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1990.
360 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
Al-Farmawi, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudlu’i, Terj. Suryan A. Jamrah,
Jakarta: Rajawali Press, 1994
Al-Hakim, Abu ‘Abdillah an-Naisaburi, Ma’rifatu ‘Ulûmil Hadîts, Kairo:
Maktabah al-Mutanabbi, tt.
Al-Jawwabi, Muhammad Thahir, Juhudul Muhadditsîn fi Naqdi Matnil
Hadîtsin Nabawi asy-syarîf, Nasyr wa Tauzi’ Muassasatul Karim bin
‘Abdillah, tt.
Al-Juwaini, Mushthafa al-Shawi, Iskandariyah: Manahij fit Tafsir, t.th
Al-Kandahlawi, Muhammad Zakariyya, Aujazul Masâlik ila Muwaththa’
Malik, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
.Al-Khasyit, Muhammad ‘Utsman, Mafâtihu ‘ulûmil Hadîts wa Thuruqu
Takhrîjihi, Kairo: al-Maktabah al-Qur’an, tt.
Al-Khazraji, Abu Yahya Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’I, Fathul ‘Allâm bi
Syarhil ‘I’lâm bi Ahâdîtsil Ahkâm, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.th
Al-Kirmani, Al-Bukhâri bi syarhil Kirmani, Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
Al-Maliki, ‘Alwi ‘Abbas dan Hasan Sulaiman an-Nawawi, Ibânatul Ahkâm
bi Syarhi Bulûghil Marâm, Dar al-Tsaqafatil Islamiyyah, Beirut, tt.
Malik, al-Muwaththa’, Beirut: Dar al Fikr, 1989
Munawwir, Warson, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Unit Pengembangan
buku-buku ilmiah keagamaan PP. al-Munawwir, Krapyak, 1984
Al-Mubarakfuri Abul ‘Ali Muhammad ‘Abdirrahman bin ‘Abdirrahim
(1283-1353), Tuhfatul Ahwadzi syarh Jâmi’ at Turmudzi, Madinah:
Muhammad ‘Abd al-Muhsin al-Kitabi, tt.
An-Nawawi, Shahih Muslim bi syarhin Nawawi, Mesir: al-Mathba’ah al-
Mishriyyah wa Maktabatuha, tt.
Al-Qasthalani, Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Khathib, Irsyâdus
Sâri ila Syarhil Bukhâri, Mesir: al-Mathba’ah al-Kubra al-‘Amiriyyah
bi Bulaq, 1323
As-Sahar an-Nufuri, Khalil Ahmad, Badzlul Majhûd fi Hallai Abi Dawud,
Beirut: Dar al-Kutubil ‘Ilmiyyah, tt.
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 361
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan
Ash-Shan’ani, Taudlîhul Afkâr lima’âni Tanqîhil Inzhâr, Beirut, Libanon:
Darul Fikr, tt
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah Perkembangan Hadits, Jakarta: Bulan
Bintang, 1973
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan peran Wahyu dalam
kehidupan Masyarakat, Cet. V, Bandung: Mizan, 1993,
As-Suyuthi Jalaluddin, Tanwîrul Hawâlik, Beirut: Darul Fikr, Beirut, tt.
———, Sunan an-Nasa’i bi syarhi Jalaluddin as-Suyuthi, Beirut: Darul Qalam,
tt.
Asy-Syaukani Muhammad bin ‘Ali ibn Muhammad, Nailul Authâr min
Ahâdîts Sayyidil Akhyâr syarhu Muntaqal Akhbâr, Beirut: Darul Kutub
al-‘Ilmiyyah, tt.
At-Tabrizi, Waliyyuddin Muhammad bin ‘Abdillah al-Khathib al-’Umari,
Misykatul Mashâbih, translated and anotated by Abdul Hameed
Siddiequi, New Delhi 110002: Kitab Bhavan, tt.
‘Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Mushthalahatul Hadîts, Riyad: Darul
A’lamil Kutub, 1988
Az-Zarqani, Muhammad bin ‘Abdil Baqi bin Yusuf al-Mishri al-Azhari al-
Maliki, Syarhuz Zarqani ‘ala Muwaththa’ al-Imam Malik, Beirut:
Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990.
362 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Sejarah dan Tipologi Syarah Hadis Oleh A. Hasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar