Rabu, 24 Juni 2009

METODE TAFSIR MU'TAZILAH

BAB I
PENDAHULUAN

Sejak zaman Rasulullah saw sampai zaman kita sekarang ini, kaum Muslimin telah menekuni, mengkaji dan merenungkan makna-makna yang terkandung dalam al-Qur'an dan memelihara serta menghapal lafaz-lafaznya. Ini adalah hal yang wajar, karena al-Qur'an adalah undang-undang dasar mereka yang pertama. Hanya saja pengkajian dan perenungan mereka itu berbagai macam corak dari masa ke masa. Hingga sampai masa tabi'ut-tabi'in, pemikiran akal masih tunduk kepada naqal, dan tidak tunduk kepada kehendak hawa nafsu atau kehendak untuk mengada-ada, kecuali beberapa ucapan-ucapan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, yang keluar dari mulut beberapa individu. Sebagian dari pandangan-pandangan yang menyimpang tersebut merupakan bibit dari madzhab-madzhab Islam yang muncul nantinya. Pemikiran-pemikiran rasional pada masa awal itu pun belum ke luar dari metode penafsiran yang lurus dalam menafsirkan al-Qur’an. Penggunaan akal secara terpuji masih belum menyeberang ke dalam daerah ra'yu yang tercela.
Demikianlah keadaannya sampai tiba saatnya ketika timbul perpecahan di kalangan ummat Islam dan muncul madzhab-madzhab keagamaan yang beraneka ragam, dan tiap-tiap pendukung madzhab pikirannya yang terbesar hanyalah bagaimana membela madzhabnya sendiri, dengan jalan menundukkan ayat-ayat al-Qur'an kepada pendapat madzhabnya. Untuk itu mereka menyelewengkan sebagian ayat-ayat al-Qur'an dari makna-maknanya yang dikehendaki (oleh Allah), dan dari kaidah-kaidah Bahasa Arab dan prinsip-prinsip syariatnya sehingga di tangan mereka al-Qur'an menjadi tunduk kepada pandangan madzhab, bukannya sebaliknya.
Penting untuk dikemukakan bahwa kegiatan menafsirkan al-Qur'an pada hakikatnya adalah upaya untuk menyingkap dan menelanjangi al-Qur'an itu sendiri sehingga ia benar-benar bugil dihadapan pembacanya. Dengan kata lain, kegiatan menafsirkan al-Qur'an adalah sebentuk kegiatan untuk melihat dan menguji validitas sebuah nash bagi kehidupan manusia, khususnya umat Islam. Kita sadar bahwa pemahaman nash tidak selalu relevan dengan suatu zaman. Nash itu harus selalu digumulkan dengan realitas bahkan dengan kepentingan, apapun bentuknya. Di sinilah nash menjadi hidup, ia bukan sesuatu yang siap saji untuk memecahkan persoalan kemanusiaan, apapun bentuk dan manivestasinya. Karena itulah, ia harus diberi suara dan warna dengan cara menafsirkannya.
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, ada salah satu madzhab yang mempunyai andil yang sangat besar untuk kemajuan peradaban Islam, mereka menorehkan tinta emas untuk kemajuan peradaban Islam yang efeknya sampai sekarang masih terasa di belahan dunia bagian Barat (Eropa dan Amerika), madzhab ini bernama Mu'tazilah. Madzhab ini pernah menjadi madzhab resmi khilafah Abbasiyah, menguasai pemerintahan umat Islam pada waktu kejayaannya. Meskipun ia juga menorehkan tinta darah dalam lembaran kertas peradaban Islam. Terlepas dari hitam putih perjalanan madzhab ini yang akhirnya tenggelam dibawah hegemoni kekuasaan Ahlus Sunnah, dan penyelewengan-penyelewengan yang mereka lakukan terhadap al-Qur'an. Menarik untuk dikemukakan metode mereka dalam menafsirkan al-Qur'an.
Beranjak dari hal tersebut, penulis mengetengahkan sebuah makalah ringkas yang akan membahas tentang metode penafsiran Mu’tazilah yang dimulai dari selayang pandang tentang Mu’tazilah, prinsip-prinsip dan pendirian Mu’tazilah dalam menafsirkan al-Qur’an, klaim mereka atas kebenaran, prinsip-prinsip kebahasaan, sikap mereka terhadap qira’at yang mutawatir. Serta penulis kemukakan pula beberapa contoh penafsiran Mu’tazilah yang diambil dari dua kitab tafsir karya agung dari Qadhi Abdul Jabbar (Tanzin al- Qur’an ‘an al-Matha’in) dan Imam az-Zamakhsyari (al-Kasysyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at- Ta’wil).


















BAB II
METODE TAFSIR MU'TAZILAH
A. SEKILAS TENTANG MU’TAZILAH
Kaum Mu'tazilah adalah pengikut-pengikut Washil bin Atha, yang lahir pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 132 H dalam masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik. Beliau adalah salah seorang murid Imam Hasan al-Bashri rahimahullah dan termasuk pengikutnya yang terdekat. Akan tetapi beliau berselisih pendapat dengan gurunya itu dalam memberikan penilaian terhadap dosa besar, ketika Washil berdiri meninggalkan majlis gurunya setelah mengatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak tergolong orang yang beriman, juga tidak kafir. Kemudian ia duduk di suatu tempat dalam masjid yang sama, dan mulai mengemukakan pendapatnya kepada orang-orang yang berkumpul kepadanya. Kata beliau: "Orang yang melakukan dosa besar tidak tergolong orang yang beriman, juga tidak kafir. Tapi berada di antara dua posisi tersebut, sebab sebutan Mu'min adalah nama pujian, sedangkan orang fasiq tidak berhak mendapatkan pujian. Karena itu ia tidak bisa disebut mu'min, tapi tidak dapat pula disebut kafir karena telah mengucapkan kalimat syahadat, dan juga karena amal-amal baiknya yang lain. Maka jika ia mati tanpa bertaubat, maka ia akan disiksa di neraka selama-lamanya, karena di akhirat hanya ada dua kelompok saja: kelompok yang di surga dan kelompok yang di neraka. Namun ia mendapatkan keringanan, dan tempatnya masih di atas lapisan neraka untuk orang kafir”. Karena pendiriannya itu Imam Hasan Bashri berkata: "Washil bin 'Atha' telah memisahkan diri dari kita".
Kaum Mu'tazilah juga dijuluki kaum Qadariyah, karena mereka menyandarkan semua perbuatan manusia kepada kemampuannya sendiri dan mengingkari peranan qadar di dalamnya. Juga mereka dijuluki sebagai kaum Mu'aththilah, penganut paham yang mengingkari adanya sifat-sifat Allah, karena mereka berkata: "Kami menghendaki sifat-sifat ma'any". Mereka mengatakan bahwa Allah mengetahui dengan dzat-Nya sendiri (yakni tanpa perantaraan sifat-sifat-Nya). Benih pertama kaum Mu'tazilah tumbuh di Bashrah, di masa pemerintahan Dinasti Umayyah, dan menyebar dengan cepat di Irak, dan mencapai puncak kejayaannya di masa kekhalifahan Abbasiyah. Mereka memiliki dua sekolah, satu di Bashrah, yang dipimpin sendiri oleh Washil bin Atha, yang lain di Baghdad dipimpin oleh Imam Bisyir bin Mu'tamir.
Aliran Mu'tazilah mempunyai lima prinsip yaitu:
1. Tauhid. Kata tauhid (التوحيد) berarti mengesakan, maksudnya disini adalah mengesakan Allah. Pada intinya, tauhid yang diketengahkan oleh Mu’tazilah membicarakan tentang kemaha esaan Allah, yakni bahwa Allah adalah Esa dan Tunggal, tidak ada Tuhan selain Dia, dan tidak ada sekutu bagiNya. Akan tetapi, disamping itu mereka tambahkan dengan mengemukakan penolakan hal-hal yang dapat membawa kepada paham adanya sesuatu selain Allah yang serupa denganNya. Bagi mereka, satu-satunya yang qadim adalah Tuhan, maka mereka menafikan adanya sifat bagi Tuhan, karena pengakuan terhadap adanya zat bagi Tuhan menyebabkan berbilangnya yang qadim (تعدد القدماء). Ini adalah inti akidah madzhab mereka, yang berdasarkan inti ini mereka membangun keyakinan tentang mustahilnya melihat Allah di akhirat nanti, dan bahwa al-Qur'an adalah makhluk (diciptakan oleh-Nya).
2. Keadilan العدل)). Maksudnya disini ialah keadilan Tuhan. Menurut kaum Mu’tazilah yang dimaksud Tuhan itu adil adalah bahwa perbuatan Tuhan semuanya baik dan Tuhan tidak melakukan yang jelek, serta tidak melupakan apa yang menjadi kewajibanNya. Berdasarkan prinsip ini mereka membina keyakinan bahwa Allah bukanlah yang menciptakan semua makhluk yang ada di alam ini. Dia juga tidak berkuasa atas seluruh makhluk itu. Bahkan menurut pendapat mereka, semua perbuatan manusia tidaklah diciptakan oleh Allah SWT, dan bahwa Allah SWT itu tidak menghendaki apa pun juga kecuali apa yang telah diperintahkanNya secara syari'at
3. Al-wa'd wal-wa'id (الوعد و الوعيد). Berarti janji dan ancaman. Artinya, menurut keyakinan mereka, Allah SWT akan memberikan balasan kepada orang yang melakukan kebaikan dan hukuman bagi orang yang melakukan perbuatan yang buruk, bahwa Allah SWT berkewajiban memberi pahala kepada orang yang taat dan menyiksa orang yang melakukan dosa besar. Dia tidak boleh mengampuni pelaku dosa-dosa besar, jika dia mati sebelum bertaubat. Pemberian balasan pahala dan siksa bersifat wajib bagi Allah SWT.
4. Posisi di antara dua posisi (المنزلة بين المنزلتين). Arti ungkapan ini telah kami terangkan ketika membicarakan perbedaan antara Washil bin Atha dengan Imam Hasan al-Bashri.
5. Amar ma'ruf nahyi munkar(الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر). Dalam memastikan terlaksananya prinsip ini, mereka bertindak berlebih-lebihan dan berselisih pandangan dengan mayoritas (jumhur) umat. Mereka mengatakan bahwa amar ma'ruf dan nahyi munkar itu dilakukan dengan hati saja bila itu cukup; jika tidak cukup, maka dengan lisan; dan jika dengan lisan saja juga tidak cukup (yakni, tidak memberikan hasil) maka dengan tangan. Dan jika dengan tangan juga tidak cukup, maka prinsip tersebut haruslah dilaksanakan dengan senjata. Dan dalam hal ini mereka tidak pandang bulu antara penguasa dengan rakyat biasa.
Inilah lima prinsip yang telah disepakati oleh para ulama Mu'ta¬zilah dan para pendukung madzhabnya. Maka barangsiapa yang tidak berpegang pada lima prinsip tersebut, dia bukanlah seorang Mu'tazilah.
Selanjutnya, akan dijelaskan pendirian mereka dalam penafsiran atas al-Qur’an dan metode yang mereka tempuh serta kitab-kitab tafsir mereka yang terpenting.
Dalam membangun madzhabnya, kaum Mu'tazilah telah menegakkan prinsip mereka yang lima, yaitu: tauhid, keadilan Ilahi, al-wa'd wal-wa'id, al-manzilah baynal manzilatayn, dan amar ma'ruf nahyi munkar. Mereka meletakkan kaidah-kaidah tersebut terlebih dahulu, kemudian di atasnya mereka membangun madzhab i'tizal mereka itu, kemudian setelah itu mereka berusaha untuk menundukkan ayat-ayat al-Qur'an, dan merumuskan daripadanya dalil-dalil yang menguatkan kelima prinsip mereka itu. Metode yang mereka tempuh ini jelas bertentangan dengan metode madzhab Ahlus Sunnah wal-Jamaah. Mereka berusaha sekuat tenaga mendayagunakan akal pikiran mereka untuk menyelaraskan al-Qur'an dengan dasar-dasar pemikiran madzhab mereka. Sedangkan para ulama Ahlus Sunnah wal-Jamaah dalam penafsirannya hanya mencakupkan diri dengan kutipan-kutipan dan para sahabat dan tabi'in. Mereka hanya menggunakan ijtihad dalam perkara-perkara yang tidak ada nash mengenainya, tanpa mengikuti dorongan hawa nafsu ataupun peng-ada-adaan.
B. MU'TAZILAH DAN TAFSIR BIL-MA'TSUR
Pada Mu'tazilah, akal pikiran berkuasa atas ayat-ayat al-Qur'an dan menjadi yang acuan bagi mereka. Apabila mereka menjumpai hadis sahih dari Rasulullah SAW atau atsar dari sahabat atau tabi'in, yang bertentangan dengan pokok-pokok pikiran mereka, maka mereka tidak mengakui atsar-atsar tersebut. Karenanya mereka banyak mengingkari hadis-hadis sahih, yang bertolakbelakang de¬ngan pendirian mereka dan merintangi jalan mereka. Ini jelas terlihat dalam ucapan an-Nizham, salah seorang pemuka madrasah Mu'ta¬zilah, mengenai mufassir-mufassir yang berpegang teguh pada tafsir bil-ma'tsur, sebagaimana dikutip oleh al-Jahiz:
"Janganlah bergaul erat dengan banyak mufassir. Apabila mereka menghadapi masyarakat umum dan memberikan jawaban atas setiap pertanyaan, mereka tidak mengemukakan sesuatu riwayat pun sebagai dasar pemikiran mereka. Dan setiap kali ada mufassir yang aneh dalam pandangan mereka, justru mufassir itu lebih mereka sukai. Hendaklah ada bersamamu Ikrimah al-Kalby, as-Suddi, adh-Dhahhak, Muqatil bin Sulaiman dan Abu Bakar al-Ashamm pada satu jalan, dan sesuaikanlah pendapat kalian dengan tafsir mereka dan tetaplah dalam kebenaran mereka. Mereka itu telah mengatakan mengenai firman Allah و أن المساجد لله (dan bahwa masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah) (QS, al-Jin, 72:18), bahwa yang dimaksud oleh Allah di sini bukanlah masjid-masjid tempat kita melakukan shalat, tapi adalah kening manusia dan anggota-anggota badan manusia yang dipergunakan olehnya untuk bersujud, seperti tangan, kening dan hidung. Begitu pula mereka berkata mengenai firman Allah Ta'ala أفلا ينظرون إلي الإبل كيف خلقت ( Apakah mereka tidak memperhatikan, bagaimana unta diciptakan?) (QS, al-Ghasyiyah, 88:17), bahwa yang dimaksud dengan kata الإبل di sini bukanlah unta jantan atau betina, tetapi adalah awan. Demikian pula apabila mereka ditanya tentang firman Allah "و طلح منضود" (Dan pohon thalh dengan buah yang tersusun rapat), (QS, al-Waqi'ah, 56:29), mereka berkata: الطلح itu adalah "pohon pisang" (الموز).

Tetapi ini semua tidaklah berarti bahwa madzhab Mu'tazilah itu mengingkari setiap hadis sahih, mereka hanya mengingkari hadis-hadis yang bertentangan dengan prinsip-prinsip madzhab mereka saja, atau yang bertolak belakang dengan pandangan-pandang¬an mereka yang rasional itu. Di luar itu, dalam tafsirnya mereka juga menyandarkan pada tafsir bil-ma'tsur, selama tidak bertentangan dengan keyakinan mereka. Ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa Imam az-Zamakhsyari, seorang maha guru mufassir mereka yang terpenting yang kita ketahui, kitab tafsirnya banyak dipenuhi oleh hadis-hadis sahih, dan beliau juga mengutip dari para sahabat dan tabi'in, tetapi tentu saja yang tidak bertolak belakang dengan madzhabnya yang i'tizal itu. Kitab beliau ini adalah kitab tafsir besar yang sudah sering dicetak ulang dan banyak beredar di kalangan ahli ilmu.
C. KLAIM MU'TAZILAH ATAS KEBENARAN
Madzhab Mu'tazilah mengatakan bahwa ketentuan hukum itu adalah apa yang dikemukakan oleh setiap mujtahid. Berarti jika para mujtahid telah melakukan ijtihad mengenai sesuatu masalah yang baru, maka hukum yang dikehendaki oleh Allah SWT ada pada pemikiran setiap mujtahid. Berdasarkan hal ini, mereka pun menganggap bahwa sebuah ayat yang mengandung bermacam-macam kemungkinan penafsiran, maka hukum yang bisa ditarik dari ayat itu adalah menurut semua kemungkinan-kemungkinan tersebut, yang me¬reka nyatakan sebagai yang dikehendaki oleh Allah SWT. Tapi mereka memutuskan akan tidak adanya kemungkinan penafsir yang mereka nyatakan sebagai yang dikehendaki oleh Allah SWT. Tapi mereka memutuskan akan tidak adanya kemungkinan penafsiran yang menyalahi prinsip-prinsip dan pandangan-pandangan mereka; dengan kata lain, semua pendapat mereka itu adalah apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Paham ini jelas menyalahi madzhab Ahlus Sunnah yang bersikap rendah hati terhadap nash-nash Ilahi. Para pemikir Ahlus Sunnah menganggap bahwa setiap ayat al-Qur'an hanya mempunyai satu makna saja, yaitu makna yang dikehendaki oleh Allah SWT. Selain makna tersebut, semua kemungkinan makna yang lain hanyalah hasil upaya para mujtahid saja, yang kadang-kadang bisa benar dan kadang-kadang bisa salah. Baik salah atau pun benar, sang mujtahid akan mendapatkan pahala atas upaya ijtihadnya, dengan pahala yang berbeda.
D. MU'TAZILAH DAN PRINSIP-PRINSIP KEBAHASAAN
Apabila kita perhatikan dengan cermat tafsir-tafsir Mu'tazilah, niscaya akan kita jumpai perkara yang sangat mengherankan, yakni bahwa mereka senantiasa berdaya-upaya agar al-Qur'an itu tidak menghalangi tegaknya kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip pemikiran mereka. Bahkan sebaliknya mereka menyatakan bahwa al-Qur'an mengandung dalil-dalil yang pasti yang menguatkan keyakinan-keyakinan mereka. Untuk menjamin pernyataan tersebut, apabila mereka menjumpai lafaz-lafaz al-Qur'an yang kontradiktif dengan salah satu prinsip mereka, mereka berupaya untuk mencari arti lain dari lafaz tersebut, yang sesuai dengan akidah mereka, dengan cara mencari bukti kesaksian dari bahasa dan syair-syair Arab kuno. Misalnya dalam menafsirkan firman Allah SWT:
و كذلك جعلنا لكل نبي عدوا من المجرمين
(Dan demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi musuh dari kalangan orang-orang yang jahat), (QS, al-Furqan: 31).

Kandungan ayat ini tidak sesuai dengan kepercayaan mereka bahwa wajib bagi Allah SWT untuk hanya menciptakan kebaikan dan hal-hal yang baik saja (artinya, mereka tidak percaya bahwa Allah SWT menciptakan musuh bagi Nabi-nabi, yang merupakan hal yang tidak baik).
Karena itu, cendekiawan Mu'tazilah yang kenamaan, Abu 'Ali al-Jabany, lalu berusaha merubah arti ayat tersebut sehingga tidak kontradiktif dengan kepercayaan Mu'tazilah. la menafsirkan lafaz جعل dengan arti بين (menjelaskan), bukan dengan arti خلق (menciptakan). Beliau mengemukakan alasan dengan mengemukakan sebuah sya'ir Arab:
جعلنا لهم نهج الطريق فأصبحوا
علي شقب من أمرهم حين يمسوا
(Kami jelaskan kepada mereka jalan yang harus dilalui, maka sampailah mereka pada sebuah celah di antara batu karang pada sore hari).

Di sini arti ayat tersebut tadi menjadi bahwa Allah SWT menjelaskan kepada setiap Nabi siapa-siapa musuhnya, hingga ia bisa waspada terhadap mereka.
E. MU'TAZILAH DAN QIRA'AT-QIRA'AT YANG MUTAWATIR
Kadang-kadang orang-orang Mu'tazilah mengubah arti ayat- ayat Allah SWT, walaupun untuk itu mereka harus menentang qiraat-qiraat yang mutawatir, seperti yang mereka lakukan dalam menafsirkan firman Allah SWT:
و كلم الله موسي تكليما
"Dan Allah telah benar-benar berbicara pada Musa" (QS, an-Nisa: 164).

Mereka mendapati bahwa pandangan madzhab mereka tidak sejalan dengan lafaz al-Qur'an ini di mana isim mashdar تكليما menjadi keterangan penguat (mu'akkad) fi'il, yang meniadakan kemungkinan adanya arti kiasan (majaz) dalam lafaz ini. Karenanya, mereka lalu mengubah bacaan nash ini dengan menasabkan lafaz jalalah الله dan menjadikannya sebagai obyek (maf'ul) dan merafa'kan lafaz موسي dan menjadikannya sebagai subyek (fa'il).
Contoh lain yang menguatkan adanya pemerkosaan terhadap ayat-ayat al-Qur'an demi tujuan-tujuan kemadzhaban mereka adalah pendirian mereka dalam penafsiran firman Allah SWT:
و قالوا قلوبنا غلف بل لعنهم الله بكفرهم فقليلا ما يؤمنون
Dan mereka berkata: "Hati kami sudah tertutup", padahal sebenarnya Allah telah memberikan kutukan pada mereka, karena keingkaran mereka; maka hanya sedikit saja mereka itu yangberiman" (QS, al-Baqarah: 88).

Mereka menyatakan bahwa lafaz غلف dalam ayat ini adalah jamak dari kata غلاف yang berarti wadah. Jadi menurut mereka, ayat ini berarti "Hati kami adalah wadah yang mewadahi ilmu". Maksudnya, mereka tidak butuh kepada apa yang dibawa oleh Muhammad SAW kepada mereka. Mereka memakai cara begini karena ayat tersebut di atas menimbulkan kesan bahwa Allah telah menciptakan hati-hati mereka (orang kafir) dengan perangai dan keadaan yang tidak mau menerima Islam, dan makna yang begini jelas tidak sejalan dengan pokok-pokok pemikiran ajaran Mu'tazilah.
Demikianlah, kita dapati ulama-ulama Mu'tazilah selalu berupaya mencari penyesuaian antara pandangan madzhab mereka dengan al-Qur'an, menurut kemampuan maksimal yang mereka miliki. Dengan menggunakan kemampuan berbahasa dan gramatika, mereka sering mengingkari kebenaran-kebenaran agama.
Dalam usaha membela madzhabnya dan mengalahkan lawan-lawannya, yaitu kaum Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan untuk menempatkan akal di atas segala-galanya dan kadang-kadang bahkan di atas kedudukan hadis yang sahih, kaum Mu'tazilah mengambil sikap menentang terhadap sebagian kebenaran-kebenaran agama yang telah dianggap eshtablish oleh mayoritas Ahlus Sunnah. Sebagai contoh, mereka mengingkari kebenaran hakekat sihir, bahkan sampai-sampai mereka mengingkari atau mena'wilkan apa yang telah ditetapkan dalam kitab-kitab hadis yang sahih bahwa Rasulullah SAW pernah disihir (ditenung). Mereka mena'wilkan makna surah al-Falaq, sebagaimana mereka juga mengingkari adanya jin, walaupun Imam az-Zamakhsyari sendiri mengakui keberadaannya. Akan tetapi beliau tidak mengatakan tentang mungkinnya jin mempengaruhi manusia.
Demikian juga madzhab Mu'tazilah mengingkari apa yang disebut karamah (kekeramatan) para wali. Mereka menyandarkan pendapat mereka ini kepada firman Allah SWT:
عالم الغيب فلا يظهر علي غيبه أحد إلا من ارتضي من رسول
"Allah, Yang Maha Mengetahui pada yang ghaib, maka tidak akan ada seorang pun yang bisa mengetahui keghaibannya, kecuali siapa yang mendapatkan perkenan-Nya dari para Rasul" (QS, al-Jin: 26-27).


F. KITAB-KITAB TAFSIR MU'TAZILAH
Banyak syaikh-syaikh Mu'tazilah yang telah mengarang tafsir al-Qur'anul Karim menurut metode mereka yang khas, yang tak terlepas dari prinsip-prinsip Mu'tazilah. Akan tetapi, sekalipun dengan keberanian mereka terhadap al-Qur'an dan hadis-hadis ma'tsur dari Rasulullah SAW, usaha-usaha mereka dalam penafsiran al-Qur'an patutlah dihargai. Kitab-kitab tafsir karangan mereka banyak yang sudah hilang ditelan masa. Namun yang tersisa di antaranya menempati kedudukan tersendiri di kalangan ulama. Hal ini tidak dapat dipungkiri, kecuali oleh pembantah-pembantah kebenaran yang berhati sombong.
Pengarang-pengarang kitab tafsir Mu'tazilah, yang termasyhur di antaranya adalah:
1. Imam Abu Bakr al-Ashamm, wafat tahun 240 H. Beliau telah menyusun sebuah kitab tafsir al-Qur'an. Tetapi sedikit pun tidak diketahui tentang kitab tersebut, karena telah lenyap ditelan zaman dan dimakan masa.
2. Imam Abu'Ali al-Jabany, wafat tahun 203 H. Beliau telah menyusun sebuah kitab tafsir al-Qur'an. Imam as-Sayuthy berkata bahwa beliau pernah melihat satu bagian dari kitab tafsir tersebut. Tetapi kitab ini juga tidak diketahui rimbanya.
3. Abul Qasim al-Balkhy, wafat pada tahun 319 H. Beliau juga telah menyusun sebuah kitab tafsir al-Qur'an, yang juga tidak diketahui tentangnya.
4. Imam Abu Muslim bin Bahr al-Ashfahany, wafat tahun 322 H. Beliau telah menyusun sebuah kitab tafsir yang berjudul Jami'ut Ta'wil li Muhkamit Tanzil. Dalam Fihrasat-nya Imam Ibnu Nadim mengisyaratkan pada kitab tersebut.
5. Imam al-Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad al-Hamzany, wafat pada tahun 415 H. Beliau telah menyusun kitab tafsirnya yang berjudul Tanzihul Qur'an' 'anil Matha'in. Kitab ini beredar di kalangan ulama, tetapi kandungannya tidak meliputi keseluruhan isi al-Qur'an.
6. Imam asy-Syarif al-Murtadha al-'Alim asy-Syi'iy al-'Alawy, wafat tahun 436H. Beliau menulis beberapa bahasan ayat-ayat al-Qur'an untuk membantah lawan-lawan Mu'tazilah dan menyesuaikan pemyataan-pernyataan lahiriah al-Qur'an dengan akidah Mu'ta¬zilah.
7. Imam Abul Qasim Muhammad bin Umar az-Zamakhsyari wafat tahun 538 H. Beliau telah menafsirkan kitab al-Qur'an keseluruhannya. Kitab beliau ini merupakan satu-satunya kitab tafsil Mu'tazilah yang sampai kepada kita, yang meliputi keseluruhan al-Qur'an.
Itulah kitab-kitab tafsir terpenting dari kaum Mu'tazilah, diantaranya ada yang sudah lenyap ditelan masa..
G. CONTOH-CONTOH LAIN PENAFSIRAN MU’TAZILAH
Berikut ini akan kami sajikan beberapa contoh yang menjelaskan cara dan metode yang ditempuh oleh Qadhi Abdul Jabbar dalam kitab tafsir beliau. Misalnya adalah cara penafsiran yang beliau tempuh mengenai kemusykilan susunan bahasa Arab dalam ayat الحمد (dalam surah al-Fatihah). Beliau menafsirkan demikian:
Pertanyaan: Mereka berkata bahwa lafaz الحمد لله itu khabar. Maka jika dalam hal ini Allah memuji diri-Nya sendiri, maka lafaz tersebut tidak ada artinya bagi kita. Tapi jika Allah memerintahkan kita untuk memuji-Nya, maka mestinya Dia mengatakan "Katakanlah: Segalapuji bagi Allah".
Jawaban kami atas pertanyaan ini adalah: Sesungguhnya yang dimaksud dalam lafaz tersebut adalah perintah untuk bersyukur dan ajaran agar kita bersyukur kepada-Nya. Sekalipun kalimat perintah ('amr) dalam lafaz ini telah dibuang (yakni, tidak dinyatakan secara eksplisit) namun adanya perintah itu di-tunjukkan oleh firman-Nya "Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan". Karena kalimat ini tidaklah sesuai untuk Allah SWT tapi sesuai untuk hamba-Nya. Maka jika makna lafaz إياك نعبد itu adalah قولوا إياك نعبد (Katakanlah: Hanya kepada-Mu kami menyembah), maka demikian pulalah makna lafaz الحمد لله (yakni, juga mengandung perkataan “katakanlah”).

Dalam kitab tafsirnya Abdul Jabbar mengggunakan metode tanya jawab, berupa pertanyaan dan langsung beliau beri jawaban. Contoh lain mengenai ru’yatullah yang diingkari oleh Mu’tazilah, mereka mengatakan itu mustahil. Kita dapati Qadhi Abdul Jabbar dengan segala daya upayanya telah mampu untuk menetralisir semua ayat yang dijadikan pendukung bagi pendapat akan bisanya melihat Allah itu, misalnya beliau berkata:
Pertanyaan mengenai firman Allah:
للذين احسنوا الحسني و زيادة
Bagi orang yang melakukan kebaikan, akan mendapatkan pahala yang baik pula sesuai dengan amal perbuatannya, bahkan ada pula tambahannya. (QS Yunus: 26), mungkin dikatakan: “Bukankah yang dimaksud disini adalah ru’yah (melihat Allah) sebagaimana hadis yang telah diriwayatkan?”.
Jawaban kami: yang dimaksud dengan “tambahan” dalam ayat ini adalah anugerah dalam pahala dan berupa tambahan dari jenis yang sama dengan yang ditambahi. Inilah maksud yang sebenarnya dari hadis tersebut. Dan ini adalah kenyataan yang eksplisit. Mengaitkan “tambahan” tersebut dengan melihat Allah SWT adalah suatu hal yang tidak dapat diterima akal. Bagaimana hal itu bisa dianggap sahih sedangkan menurut mereka sendiri ru’yah itu lebih besar dari semua pahala. Bagaimana mungkin sesuatu yang paling besar hanya menjadi sekedar “tambahan” bagi kebaikan (husna)?.
Karena itu selanjutnya beliau menyebutkan kelanjutan ayat tersebut diatas: “Muka mereka tidak akan ditutupi oleh debu hitam, tidak pula oleh kehinaan”(QS. Yunus: 26). Dan menerangkan bahwa tambahan itu adalah karunia Allah dari jenis yang seperti ini di surga.

Contoh selanjutnya dari penafsiran Imam az-Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf. Sebagai tokoh Mu’tazilah yang benar-benar menguasai Bahasa Arab dan balaghah, beliau sering mengggunakan keahliannya itu untuk membela alirannya. Jika menemukan dalam al-Qur’an suatu lafaz yang lahirnya tidak sesuai dengan pendapat Mu’tazilah, ia berusaha dengan segenap kemampuannya untuk membatalkan makna lahir dan menetapkan makna lainnya yang terdapat dalam bahasa. Misalnya ketika ia menafsirkan QS al-Qiyamah: 22-23 sebagai berikut:
وجوه يومئذ ناضرة إلي ربها ناظرة
Wajah-wajah orang mu’min pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya lah mereka melihat.

Az-Zamakhsyari mengesampingkan makna lahir kata ناظرة (melihat), sebab menurut Mu’tazilah Allah SWT tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, kata ناظرة diartikan dengan الرجاء (menunggu, mengharapkan).
Az-Zamakhsyari juga memperlihatkan keberpihakannya pada Mu’tazilah dan membelanya secara gigih, dengan menarik ayat mutasyabihat pada muhkamat. Oleh karena itu, ketika ia menemukan suatu ayat yang pada lahirnya bertentangan dengan prinsip Mu’tazilah, ia akan mencari jalan keluar dengan cara mengumpulkan beberapa ayat, kemudian mengklasifikasikannya pada ayat muhkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat yang sesuai dengan paham Mu’tazilah dikelompokkan ke dalam ayat muhkamat, sedangkan ayat-ayat yang tidak sesuai dengan paham Mu’tazilah, dikelompokkan ke dalam ayat mutasyabihat, kemudian ditakwilkan agar sesuai dengan prinsip-prinsip Mu’tazilah. Misalnya ketika menafsirkan surah al-An’am: 103
لا تدركه الأبصار و هو يدرك الأبصار
Dia tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan.

Demikian pula surah al-Qiyamah: 22-23
وجوه يومئذ ناضرة إلي ربها ناظرة
Wajah-wajah orang mu’min pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya lah mereka melihat.

Ayat 103 surah al-An’am dikelompokkan dalam ayat muhkamat, karena maknanya sesuai dengan paham Mu’tazilah, sedangkan surah al-Qiyamah: 22-23 dikelompokkan ke dalam ayat mutasyabihat, karena makna ayat tersebut tidak sesuai dengan paham Mu’tazilah.












BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Inilah pendirian Mu'tazilah dalam menafsirkan al-Qur’an. Mereka berusaha mengambil dari al-Qur'an apa-apa yang sejalan dengan akidah mereka dan apabila mereka menjumpai kontradiksi antara nash al-Qur'an dengan pokok-pokok pikiran madzhabnya, mereka berpaling kepada penyelewengan, dan pena'wilan nash-nash al-Qur'an.
Terhadap tafsir-tafsir Mu'tazilah, ulama-ulama Ahlus Sunnah mengambil sikap menentang dan menolak, khususnya dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah-masalah akidah. Para ulama Ahlus Sunnah bangkit menentang mereka dan melontarkan berbagai komentar yang menyerang mereka.
Namun terlepas dari masalah-masalah akidah, tafsir Mu’tazilah mempunyai andil yang sangat besar dalam pengembangan tafsir al-Qur’an dalam ranah keilmuwan Islam, khususnya di bidang Bahasa Arab dan balagah, sebut saja tafsir al-Kasysyaf, masterpiece sang maestro tafsir Mu’tazilah, az-Zamakhsyari. Kaum Mu’tazilah juga memakai hadis-hadis nabawi dalm kitab tafsir mereka dengan catatan tidak bertentangan dengan prinsip ajaran mmereka.
Para ulama ahlus sunnah tidak bisa memungkiri sumbangan besar kitab tafsir ini dalam dua bidang tersebut, dan bahkan sampai sekarang tafsir ini masih menjadi rujukan mufassir di bidang balaghah dan Bahasa Arab al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzahabi , Dr. Muhammad Husein, at-Tafsir wal Mufassirun, Beirut: Darul Fikri, 1976.
Al-Razi, Muhammad ibn Umar ibn al-Husain al-Fakhru, Mafatihul Ghaib Minal Qur'anil Karim, Beirut: Daru Ihya at-Turats al-Islami, Juz 6, tt.
Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf 'an Haqaiq at-Tanzil wa 'Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta'wil, tkt, Intisyarat Aftab, tth
Faudah, Dr. Mahmud Basuni, Tafsir-Tafsir al-Qur'an, Perkenalan Dengan Metodologi Tafsir, terj. Mochtar Zoerni dan Abdul Qadir Hamid, Bandung: Pustaka, 1987
Hadariansyah, Dr. Pemikiran-Pemikiran Teologi Dalam Sejarah Pemikiran Islam, Banjarmasin: Antasari Press, 2008.
.
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar