Rabu, 24 Juni 2009

STATUS ONTOLOGIS PEREMPUAN

STATUS ONTOLOGIS PEREMPUAN (Gugatan Riffat Hasan atas
Konstruksi Teologis dari Konsep Gender)
Agus Himmawan Utomo
Abstract: The phenomena of gender inequalities such as
subordination, discrimination, and violence upon women made up
feminist to change the situation consciously. Riffat Hasan, a moslem
feminist, made the effort to reconstruct a minor theological
understanding of women in Moslem world’s which is supposed to be
the roots of gender inequalities. Women aren’t created only for
completing the life of men as shown in some verses and hadits.
Ontological-status of woman is not depend on what, when, and from
where they were created.
Kata kunci: Gender, Penciptaan, Adam, Hawa
Akhir abad kedua puluh muncul kesadaran yang tinggi bahwa selama ini
telah banyak terjadi dan berlangsung diskriminasi dan ketidakadilan gender
(gender inequalities) yang menimpa kaum perempuan. Fenomena ketidakadilan
gender itu paling tidak meliputi (1) marginalisasi perempuan baik di rumah
tangga, di tempat kerja, maupun di dalam bidang kehidupan bermasyarakat
lainnya. Proses marginalisasi ini berakibat pada pemiskinan ekonomi perempuan;
(2) subordinasi terhadap perempuan karena adanya anggapan bahwa perempuan
itu irrasional, emosional, maka ia tidak bisa memimpin dan oleh karena itu harus
ditempatkan pada posisi yang tidak penting; (3) stereotype yang merugikan kaum
perempuan, misalnya asumsi bahwa mereka suka dandan dan itu untuk menarik
perhatian lawan jenis sehingga menimbulkan kekerasan seksual; (4) berbagai
bentuk kekerasan menimpa perempuan baik fisik maupun psikologis karena
adanya anggapan bahwa perempuan itu lemah; (5) pembagian kerja secara
seksual yang merugikan kaum perempuan, misalnya perempuan hanya cocok
dengan pekerjaan domestik, oleh sebab itu tidak pantas melakukan pekerjaan
publik seperti laki-laki. Akibatnya perempuan terkurung dalam ruang dan
wawasan yang sempit (Fakih, 1996:11-20).
Melihat fenomena seperti di atas, maka muncullah para feminis yaitu
mereka yang sadar akan adanya ketidakadilan gender yang menimpa kaum
perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat dan melakukan tindakan
yang sadar untuk mengubahnya (Ilyas, 1997:42). Beberapa di antaranya melacak
munculnya ketidakadilan itu dari konstruksi teologis yang dibangun dan dibentuk
selama ini atas status ontologis dari perempuan. Salah satu feminis dari ranah
teologi Islam yang tidak bisa diabaikan begitu saja adalah Riffat Hasan dari
Pakistan.
Tulisan ini mencoba memaparkan gugatan Riffat Hasan atas konstruksi
teologis yang ada yang membelenggu perempuan. Riffat Hasan sendiri adalah
seorang feminis muslim kelahiran Lahore Pakistan yang mendapatkan gelar Ph.D
bidang filsafat Islam dari University of Durham Inggris. Sejak tahun 1976 tinggal
di Amerika Serikat, menjabat sebagai ketua program studi keagamaan di
university of Louisville Kentucky. Tahun 1986 hingga 1987 menjadi dosen tamu
di Divinity School Harvard University tempat ia menulis bukunya yang berjudul
“Equal Before Allah”. Sejak tahun 1974 ia mempelajari teks Al-Quran secara
seksama dan melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat Quran khususnya yang
berhubungan dengan persoalan perempuan. Ia memberikan sumbangan besar
terhadap gerakan perempuan di Pakistan terutama di saat-saat pemerintah gencar
melaksanakan islamisasi dengan penerapan undang-undang yang memenjara dan
mengurung kaum perempuan, yang menurut Riffat hanya suatu kompensasi dari
ketidakberhasilan menciptakan ekonomi Islam, politik Islam, dan lainnya.
LATAR BELAKANG KEHIDUPAN RIFFAT HASAN
Pengalaman dan pergulatan hidup yang selama ini dilalui Riffat Hasan
mendorongnya untuk menjadi seorang ideolog gerakan feminisme. Ia dilahirkan
di Lahore Pakistan dengan kenangan masa kecil yang tanpa keceriaan. Tujuh
belas tahun perjalanan hidupnya digambarkan sebagai penuh kegelapan dan tiada
keindahan. Ia sendiri mengungkapkan betapa inginnya ia memiliki masa kecil
yang berbeda. Masa kecilnya sendiri merupakan mimpi buruk yang tak pernah
berhenti membayang-bayanginya. Apa yang diingat dengan jelas dari kenangan
masa kecil adalah betapa sepi dirasakannya sebuah rumah yang dihuni banyak
orang dan betapa ketidakbahagiaan, ketakutan dan kebingungan selalu
melingkupinya hampir sepanjang waktu (Riffat Hasan, 1996).
Riffat Hasan bersama lima saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan
terlahir dari keluarga Sayyid (Keturunan Nabi Muhammad SAW) kelas atas.
Ayah dan ibu mereka tinggal di rumah yang luas dan mendapat pendidikan
Inggris yang baik. Lingkungan sekitar mereka sangat baik dan hormat. Namun itu
semua tidak menghapus bayang-bayang buruk yang memenuhi pikiran Riffat
Hasan karena konflik antara kedua orang tuanya.
Kedua orang tuanya tidak hanya bertentangan secara diametral dalam soal
pandangan terhadap hampir semua masalah, tetapi juga sangat tidak sejalan
dalam hal temperamen dan karakter. Ayahnya menganut pandangan dan cara
hidup yang sangat tradisional terutama keyakinannya mengenai peranan seks dan
bahwa yang terbaik bagi gadis-gadis adalah kawin pada usia enam belas tahun
dengan seseorang yang telah dipilih orang tua. Meskipun ayahnya benar-benar
seorang yang baik dan suka membantu menyelesaikan masalah orang lain.
Sementara ibunya bersikap tak mau kompromi dengan kebudayaan Islam
tradisional khususnya kultur yang meneguhkan inferioritas dan ketundukan
perempuan kepada laki-laki. Penolakan ibunya terhadap cita-cita dan praktik
budaya patriarkhi serta komitmennya untuk membebaskan anak perempuannya
dari chardewari (empat dinding) rumah tangga yang terpusat dan didominasi
laki-laki menempatkannya ke dalam kategori feminis radikal (Riffat Hasan, 1996:
5-6).
Kesan Riffat Hasan terhadap ibunya adalah sebagai figur penyelamat yang
selalu melindunginya. Sedangkan ayahnya yang dikagumi dan dicintai banyak
orang adalah figur yang menakutkan, mewakili moralitas adat dalam sebuah
masyarakat yang menuntut anak perempuan dibedakan sejak saat dilahirkan. Tiga
hal yang memungkinkan ia lepas dari kesulitan hidup adalah keyakinannya akan
Tuhan yang adil dan penyayang, seni menulis puisi, dan kecintaannya yang
dalam kepada buku. Ia lalui masa kecilnya dengan tiga hal tersebut, hingga
akhirnya ia bisa meraih prestasi-prestasi akademik yang membanggakan.
Di usia kesebelas kesadaran Riffat Hasan akan perjuangan sebagai seorang
feminis bermula, hal itu terutama karena peristiwa pernikahan kakak
perempuannya yang berusia enam belas tahun dengan lelaki kaya tapi
berpendidikan rendah. Kakaknya telah berusaha menolak namun tetap saja tak
kuasa menghadapi adat yang telah ada, di mana penolakan perempuan untuk
tunduk pada otoritas patriarkhi sama dengan bid’ah. Dari peristiwa inilah ia
menyadarkan dirinya untuk belajar berperang, mempertahankan hidup dari
tekanan dominasi laki-laki. Jiwa pemberontaknya mulai bergolak dan itu semua
berpuncak tatkala Riffat Hasan di usia ketujuh belas berkeinginan melanjutkan
kuliahnya di St. Mary’s College, Universitas Durham Inggris. Ia meraih gelar
doktor filsafatnya pada usia dua puluh empat tahun dengan spesialisasi Filsafat
Muhammad Iqbal. Setelah itu ia kembali ke tanah kelahirannya Pakistan hingga
ia kemudian menikah dengan lelaki bernama Dawar. Namun karena kelebihankelebihan
yang dimilikinya menjadikan ia tampak lebih menonjol dibanding
suaminya, dan hidup di masyarakat yang menilai laki-laki harus lebih dari
perempuan membuat pernikahannya tidak berusia lama. Setelah gagal untuk yang
pertama kali, Riffat Hasan pun menikah lagi dengan Mahmoud, seorang Muslim
Arab Mesir, yang berusia tiga puluh tahun di atasnya. Mahmoud terbiasa
memerintah untuk melakukan apa saja yang diinginkan atas nama Tuhan dan
Riffat dianggap tidak punya hak untuk menolak, karena dalam kultur Islam
menolak untuk melakukan apa yang menyenangkan hati suami sama dengan
menolak melakukan apa yang disenangi Tuhan. Perkawinan kedua ini
berlangsung singkat, tetapi melelahkan Riffat Hasan secara fisik dan mental
karena berada di tangan seorang laki-laki yang tidak saja unggul secara berlebihlebihan,
tapi juga seorang fanatik yang bisa meminta atas nama Tuhan untuk
melakukan tindakan-tindakan kejam dan sangat tidak berperasaan terhadap
manusia yang lain. Pengalaman hidup yang denikian itulah yang membuatnya
menjadi feminis dengan ketetapan hati untuk mengembangkan teologi dalam
kerangka tradisi Islam, sehingga mereka yang disebut laki-laki Tuhan tidak bisa
mengeksploitasi perempuan muslim atas nama Tuhan.
Sampai saat ini pada umumnya tradisi Islam secara kaku tetap bersifat
patriarkhal, meski nyata dalam kesejarahan Islam awal bahwa perempuanperempuan
seperti Khadijah, ‘Aisyah, dan Rabi’ah al-Basri adalah tokoh-tokoh
terkemuka. Namun agaknya tradisi patriarkhi banyak menghalangi tumbuhnya
pemuka-pemuka di kalangan perempuan terutama dalam pemikiran keagamaan,
sehingga sumber-sumber utama dasar Islam seperti Qur’an, Sunnah, dan Fiqh
hanya ditafsirkan oleh laki-laki muslim yang tidak bersedia melakukan tuga-tugas
mendefinisikan status ontologis, teologis, sosiologis, dan eskatologis perempuan
muslim. Laki-laki muslim dengan fasih dan terus menerus juga telah menegaskan
bahwa Islam telah memberikan kepada perempuan hak yang lebih banyak
daripada tradisi agama lain. Untuk tujuan itulah perlu dilakukan interpretasi kritis
terhadap sumber-sumber ajaran Islam terutama dengan mendekonstruksi
pemikiran teologis tentang perempuan dengan memperhatikan aspek historiskontekstual
dari ajaran Islam. Penelusuran terhadap awal munculnya pemikiran
teologis seputar perempuan juga mengikutsertakan penyelidikan yang sifatnya
sosiologis terutama pada sumber ajaran Islam kedua yaitu Sunnah.
KERANGKA TEORITIK PEMIKIRAN RIFFAT HASAN
Diskriminasi dan segala macam bentuk ketidakadilan gender yang
menimpa perempuan dalam lingkungan umat Islam menurut Riffat Hasan berakar
dari pemahaman yang keliru dan bias laki-laki terhadap sumber utama ajaran
Islam yaitu Qur’an, terutama mengenai konsep penciptaan Hawa sebagai
perempuan pertama. Menurutnya, jika laki-laki dan perempuan telah diciptakan
setara oleh Allah SWT maka di kemudian hari tidak bisa berubah menjadi tidak
setara. Begitu juga sebaliknya, jika laki-laki dan perempuan telah diciptakan
tidak setara oleh Allah, maka secara essensial di kemudian hari mereka tidak bisa
menjadi setara (Riffat Hasan, 1996: 47).
Meski secara statistik telah ada perbaikan-perbaikan seperti hak-hak
pendidikan, pekerjaan, dan hak-hak sosial serta politik, perempuan terus
menerima perlakuan kasar dan diskriminatif jika landasan teologis yang
melahirkan kecenderungan-kecenderungan yang bersifat misoginis dalam tradisi
Islam tersebut tidak dibongkar. Banyaknya jaminan hak-hak sosial-politik
perempuan tidak akan berarti apa-apa jika mereka dikondisikan untuk menerima
mitos-mitos yang digunakan oleh para teolog atau pemimpin keagamaan untuk
membelenggu tubuh, hati, pikiran, dan jiwa mereka. Mereka tidak akan pernah
berkembang sepenuhnya bebas dari ketakutan dan rasa bersalah, bisa berdiri
sejajar dalam pandangan Tuhan (Riffat Hasan, 1996: 42).
Sekarang perlu dikembangkan apa yang disebut oleh orang barat “teologi
feminis” yang dalam konteks Islam dengan tujuan untuk membebaskan bukan
hanya kaum perempuan Muslim tapi juga laki-laki muslim dari struktur-struktur
dan undang-undang yang tidak adil, yang memungkinkan terjadinya hubungan
yang hidup antara laki-laki dan perempuan. Dari sini tampak bahwa apa yang
coba digarap oleh Riffat Hasan adalah sebuah teologi perempuan, teologi dengan
menggunakan perspektif feminisme untuk meneguhkan status ontologis
perempuan di mana sebelumnya hanya bersifat normatif saja dan meninggalkan
sifat historis dari ajaran agama.
Konsepsi gender yang keliru juga berakibat pada ketidakadilan gender,
terutama karena gender dipahami sebagai alami dan kodrati. Padahal konsep
gender merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural sepanjang sejarah
kehidupan manusia, bukan kodrati. Perbedaan gender dibentuk oleh banyak hal
dan salah satu yang membentuk dan coba dikritisi Riffat Hasan adalah
interpretasi ajaran keagamaan. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut
akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan.

PENCIPTAAN PEREMPUAN
Hasil dari kajian Riffat Hasan terhadap tradisi Islam menemukan adanya
asumsi teologis yang perlu mendapat perhatian, yaitu mengenai konsep
penciptaan perempuan dari tulang rusuk Adam, yang karena itu bersifat derivatif
dan sekunder, di samping gagasan lainnya, yaitu bahwa perempuan bukan lakilaki
adalah penyebab utama dari apa yang biasanya dilukiskan sebagai
“kejatuhan” atau pengusiran manusia dari surga, dan bahwa perempuan
diciptakan tidak saja dari laki-laki, tapi juga untuk laki-laki, yang membuat
eksistensinya semata-mata bersifat instrumental dan tidak memiliki makna yang
mendasar.
Penolakan Riffat Hasan terhadap konsep penciptaan perempuan yang ada
sekarang menjadi sangat penting, karena menurutnya secara filosofis maupun
teologis konsep ketidakadilan atau ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan
berakar dari konsep penciptaan perempuan ini (Riffat Hasan, 1990; No. 4, Vol.1).
Tradisi Islam sendiri mengenalkan adanya empat macam cara penciptaan
manusia:
1. Manusia diciptakan dari tanah (untuk menjelaskan penciptaan Adam
sebagai manusia pertama) dengan merujuk pada Qur’an surat Fathir
ayat 11, Ash-Shaffat ayat 11, dan Al-Hijr ayat 26.
2. Manusia diciptakan dari (tulang rusuk) Adam (untuk menjelaskan
penciptaan Hawa) dengan merujuk pada Qur’an surat An-Nisa’ ayat 1,
Al-A’raf ayat 189, dan Az-Zumar ayat 6.
3. Manusia diciptakan melalui seorang Ibu dengan proses kehamilan tanpa
ayah (untuk menjelaskan penciptaan Isa a.s) dengan merujuk pada
Qur’an surat Maryam ayat 19-22.
4. Manusia diciptakan melalui kehamilan dengan adanya ayah secara
biologis dan hukum atau minimal secara biologis semata (untuk
menjelaskan penciptaan selain Adam, Hawa, dan Isa) dengan merujuk
Qur’an Surat Al-Mu’minun ayat 12-14.
Mekanisme penciptaan dalam ayat-ayat tentang penciptaan Hawa tidak
disebutkan secara jelas dan terinci, berbeda dengan tiga macam cara penciptaan
yang lain. Di sana hanya disebutkan bahwa dari Nafs Wahidah (Adam) Dia
ciptakan zaujaha (istrinya-Hawa). Redaksi seperti inilah yang potensial untuk
ditafsirkan secara berbeda. Untuk lebih mudah lihat redaksi ayat pertama surat
An-Nisa’ yang terjemahnya kurang lebih:
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan
istrinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,
dan (peliharalah) hubungan silaturrahim, sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu. (Departemen Agama, )
Ayat di atas tidak menyebutkan secara eksplisit nama Adam dan Hawa,
tapi diungkapkan dengan kata nafs wahidah dan zaujaha. Namun demikian
dengan bantuan ayat-ayat lain (misalnya Q.S 2:30-31, 3:59, dan 7:27) dan hadits
hadits nabi, umumnya para mufassir memahami dan meyakini bahwa yang
dimaksud dengan nafs wahidah dan zaujaha dalam ayat itu adalah Nabi Adam a.s
(laki-laki) dan Hawa (perempuan) yang dari keduanyalah terjadi
perkembangbiakan umat manusia. Kontroversi sebenarnya bukan pada siapa yang
pertama, tapi pada penciptaan Hawa yang dalam ayat disebutkan dengan lafal wa
khalaqa minha zaujaha. Masalahnya adalah apakah Hawa diciptakan dari tanah
sama seperti penciptaan Adam, atau diciptakan dari (bagian tubuh) Adam itu
sendiri. Kunci penafsiran yang berbeda itu terletak pada kata minha. Apakah kata
itu menunjukkan bahwa untuk Adam diciptakan istri dari jenis yang sama dengan
dirinya, atau diciptakan dari (diri) Adam itu sendiri.
Menurut Zamakhsyari (1977: 492) yang dimaksud dengan nafs wahidah
adalah Adam dan zaujaha adalah Hawa yang diciptakan oleh Allah dari salah
satu tulang rusuk Adam. Pendapat senada dikemukakan al-Alusi (t.t, Jilid II:
180-181) dengan keterangan bahwa tulang rusuk yang dimaksud adalah tulang
rusuk sebelah kiri Adam. Ia mengutip hadits riwayat Bukhari Muslim (lihat
Shahih Bukhari, Bab. Nikah, hadits no.4787).
Riffat Hasan tidak hanya menolak dengan keras pandangan para mufassir
bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, tapi juga mempertanyakan
kenapa dipastikan nafs wahidah itu Adam dan zaujaha itu Hawa, istrinya.
Padahal kata nafs dalam bahasa Arab tidak menunjuk kepada laki-laki atau
perempuan, tapi bersifat netral. Begitu juga kata zauj, tidak secara otomatis
diartikan istri karena istilah itu bersifat netral, artinya pasangan yang bisa lakilaki
dan bisa perempuan. Di samping zauj juga dikenal istilah zaujah,bentuk
feminim dari zauj. Riffat (1996: 51) dengan mengutip kamus Taj al-‘Arus
menyatakan bahwa hanya masyarakat Hijaz yang menggunakan istilah zauj untuk
menunjuk kepada perempuan, sementara di daerah lain digunakan zaujah untuk
menyatakan perempuan. Lalu kenapa Qur’an yang secara meyakinkan tidak
hanya diperuntukkan bagi masyarakat Hijaz menggunakan istilah zauj bukan
zaujah, seandainya yang dimaksud itu benar-benar perempuan.
Melalui penelitiannya terhadap teks-teks Injil dalam Genesis (1:26-27,
2:7, 2:18-24, 5:1-2), Riffat (1996: 48) menyimpulkan bahwa kata Adam adalah
istilah Ibrani yang secara literal berarti tanah, berasal dari kata adamah yang
sebagian besar berfungsi sebagai istilah generik untuk manusia. Al-Qur’an
menurut Riffat Hasan (1996:49-50) tidak menyatakan bahwa Adam manusia
pertama dan tidak pula menyatakan bahwa Adam laki-laki. Adam adalah kata
benda maskulin, hanya secara linguistik, bukan menyangkut jenis kelamin.
Seperti halnya nafs wahidah, ia pun tidak memastikan bahwa Adam itu
perempuan, tapi menolak dengan tegas kalau Adam harus laki-laki. Baginya
Istilah Adam sama dengan basyar, al-insan,dan an-nas yang menunjukkan
manusia bukan jenis kelamin.
Konsep penciptaan Hawa seperti yang dikemukakan para mufassir
menurut Riffat berasal dari Injil. Tradisi Injil ini masuk lewat kepustakaan hadits
yang menurutnya penuh kontroversial. Jadi menurutnya Adam dan Hawa
diciptakan secara serempak dan sama dalam substansinya, sama pula caranya.
Bukan Adam diciptakan dulu dari tanah, kemudian Hawa dari tulang rusuk Adam

seperti pemikiran para mufassir dan hampir keseluruhan umat Islam. Penolakan
penciptaan Adam dan Hawa secara terpisah berakibat penolakan tafsir lebih
lanjut tentang bagaimana Hawa diciptakan. Bagi Riffat (1996: 55) cerita tentang
penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam tidak lebih dari dongeng-dongeng
Genesis 2 yang pernah masuk ke dalam tradisi Islam melalui asimilasinya dalam
kepustakaan hadits yang dengan berbagai cara telah menjadi kacamata untuk
melihat dan menafsirkan Qur’an sejak abad-abad pertama Islam, bukan masuk
secara langsung karena sedikit sekali kaum muslimin yang membaca Injil. Ia juga
menolak otentisitas dan validitas hadits-hadits riwayat Bukhari-Muslim tentang
penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam, dan hadits-hadits lain yang misogini
(anti perempuan) (Bdk. Fatima Mernissi, 1994:62-104).
Sementara itu Amina Wadud Muhsin (1994: 30) berbeda pandangan
dengan Riffat, di mana ia tidak menolak penafsiran nafs wahidah adalah Adam
dan zaujaha adalah Hawa. Hal itu terlihat misalnya pada terjemahannya terhadap
surat An-Nisa’ ayat 1 sebagai berikut:
“ Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang
menciptakan kamu dari seorang diri (nafs=Adam), dan daripadanya
Allah menciptakan pasangannya (zauj=Hawa). Dan dari pasangan ini
Allah mengembangbiakkan (di bumi) laki-laki dan perempuan yang
banyak…..”
Tentang teknis penciptaan Hawa, Amina tidak mengemukakan pendapatnya
secara tegas, apakah Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam seperti pendapat
para mufassir, atau diciptakan sendiri secara terpisah dengan cara yang sama
dengan penciptaan Adam seperti pendapat Riffat. Dia hanya menjelaskan bahwa
kata min dalam bahsa Arab, pertama, dapat digunakan sebagai preposisi (kata
depan) “dari” untuk menunjukkan makna “menyarikan sesuatu dari sesuatu yang
lainnya”; kedua, dapat digunakan untuk menyatakan sama macam atau jenisnya
(Amina, 1994: 24). Bila min pada kalimat minha dalam Q.S 4:1 digunakan
fungsinya yang pertama (preposisi), maka maknanya Hawa diciptakan dari
Adam, dan itu berarti hanya bersifat derivatif dan sekunder seperti yang
dipaparkan Riffat, sebaliknya bila digunakan fungsi min yang kedua maka
maknanya Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam.
CATATAN ATAS PANDANGAN RIFFAT HASAN
Pada dasarnya Riffat Hasan telah berusaha mengkritisi terhadap
penafsiran yang disebutnya bias laki-laki lewat argumen kebahasaan dan juga
pengkajian pada hadits-hadits misogini baik sanad maupun matannya. Di
samping itu ajaran tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam yang
dianggapnya berasal dari Genesis 2 menurutnya harus ditolak.
Menurut penulis, secara kebahasaan penafsiran terhadap kalimat minha
(dari jenis yang sama/ bayan al-jins, bukan untuk menyatakan
sebagian/tab’idhiyah) dapat dibenarkan, namun dari segi makna akan
bertentangan dengan lafal nafs wahidah yaitu Adam. Sebab andaikata Hawa
diciptakan sama-sama dari tanah seperti Adam tentu kenyataan itu akan
membawa kepada pengertian bahwa asal-usul manusia bukan satu, tapi dua.


Adapun mengenai hadits yang berkenaan dengan tulang rusuk, secara normatif
tidak mengandung unsur anti perempuan. Sekalipun diciptakan secara berbeda,
esensi kemanusiaan masing-masing tetap sama. Hawa yang diciptakan dari tulang
rusuk, Isa yang dicipta hanya lewat seorang Ibu, dan manusia lain yang dicipta
dengan proses reproduksi semuanya berasal dari Adam, dan Adam berasal dari
tanah. Dengan demikian secara esensi semua manusia berasal dari sesuatu yang
sama. Penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam bukanlah suatu bentuk
inferioritas perempuan. Asal-usul penciptaan tidak menentukan nilai manusia
Realitas ketidaksetaraan dan ketidakadilan kaum perempuan dan kaum
laki-laki pakah memang disebabkan oleh asumsi-asumsi ontologis dan teologis
tertentu seperti tesisnya Riffat Hasan atau jangan-jangan karena faktor-faktor lain
di luar teologi seperti faktor pendidikan, sosiokultural, yang kemudian diangkat
ke wilayah keagamaan (teologis) supaya lebih kokoh dan tidak tergoyahkan.
Mengenai keberadaan ajaran yang diterima umat Islam yang sama dengan
Genesis 2 tidak secara otomatis harus ditolak. Yang ditolak kaum muslimin
tentulah yang bertentangan dengan Al-qur’an dan Sunnah. Dalam kasus di atas
mungkin diperlukan pemahaman dan penafsiran yang baru dengan pelibatan
semua aspek terutama lewat kajian kritis historis terhadap teks Genesis 2 sendiri,
maupun kondisi sosiokultural yang melingkupi turunnya ajaran tersebut.
CATATAN AKHIR
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa upaya Riffat Hasan menggugat
pemikiran teologis tentang perempuan harus diakui menggugah kesadaran dunia
Islam. Penafsiran dengan perspektif feminis-filosofis perlu dilihat sebagai salah
satu alternatif untuk melihat secara kritis tradisi yang berkembang di dunia Islam.
Akhirnya persoalan gender tidak bisa selesai melulu dengan pembahasan
teologis dan filosofis semata, karena pada dasarnya untuk langkah ke depan telah
menunggu agenda kerja yang banyak untuk diselesaikan selain isu kesetaraan
laki-laki dan perempuan. Agenda untuk memberdayakan perempuan itu antara
lain yaitu pendidikan terpadu, kesehatan anak, remaja putri, ibu, dan wanita usia
lanjut, penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan, penghormatan
martabat HAM kaum perempuan serta peningkatan lembaga pengelola kemajuan
perempuan. Dengan semakin banyaknya jumlah perempuan terdidik, diharapkan
problem utama gender yang berupa penyempitan hak, peran, dan kesempatan
publik kaum perempuan tidak dilupakan begitu saja dan senantiasa terus dikaji
baik dari sisi sosial, budaya, maupun agama serta lainnya.

Agus Himmawan Utomo adalah Dosen Filsafat Agama di Fakultas Filsafat UGM
Jurnal Filsafat, Desember 2003, Jilid 35, Nomor 3


Daftar Pustaka
Abu al-Fadhl Syihab ad-Din as-Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Baghdadi,
t.t., Ruh al-Ma’ani fi Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim wa as-Sab’I al-Matsani,
jilid II, Dar al-Fikr, Beirut.
Abu al-Qasim Jarullah Mahmud ibn Umar Az-Zamakhsyari al-Khawarizmi,
1977, al-Kasysyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-
Ta’wil, jilid I, Dar al-Fikr, Beirut.
Amina Wadud Muhsin, 1994, Wanita di dalam Al-Qur’an, terj. Yaziar Radianti,
cet.I., Pustaka, Bandung.
Agus Himmawan,Status Ontologis Perempuan
287
Fatima Mernissi, 1994, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Pustaka,
Bandung.
Mansour Fakih, 1996, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Riffat Hasan, 1996, Isu Kesetaraan Laki-laki Perempuan, dalam Fatima Mernissi
dan Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, LSPPA-Yayasan Perkasa,
Yogyakarta.
Riffat Hasan, 1991, Jihad Fi Sabil Allah: A Moslem Woman’s Faith Journey
from struggle to struggle, dalam Women’s and Men’s Liberation, Green
Wood Press, New York- Westport, Connecticut- London.
Riffat Hasan, 1990, Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam, Jurnal Ulumul
Qur’an No. 4, Vol. I., Jakarta.
Yunahar Ilyas, 1997, Feminisme; dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan
Kontemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar