Rabu, 24 Juni 2009

ORIENTALIS DAN KAJIAN ISLAM

PENDAHULUAN

Islam yang muncul pada 14 abad lalu, adalah agama samawi terkhir setelah Yahudi dan Nashrani. Kedatangan Islam dengan mengusungkan nilai-nilai ketauhidan dan kemanusiaan di jazirah arab jahiliyah telah membuatnya menjadi bahan pembicaraan dari awal kemunculannya sampai sekarang. Hal yang menjadikan Islam selalu hangat untuk didiskusikan, karena Islam memiliki sebuah kitab yang tak lapuk dimakan zaman, yakni al-Qur`an dan hadis sebagai rujukan kedua dalam pengambilan hukum setelah al-Qur`an.
Keinginan untuk mengatahui Islam lebih jauh tidak hanya diminati dari kalangan kaum Muslimin saja, akan tetapi juga diminati oleh kaum orientalis. Terlepas dari tujaun mereka dalam mengkaji Islam, yang jelas Islam sebagai agama samawi "termuda" masih tetap hangat untuk dibicarakan selama al-Qur`an dan hadis masih berada di hati kaum muslimin.
Dalam kitab asalib al-ghazw al-fikri terdapat beberapa sub tema yang dimasukkan sebagai pokok pembahasan dalam kitab tersebut. Diantaranya adalah perang salib, orientalis dan misionaris. Dan pada makalah ini akan dibahas tentang orientalis dan kajian Islam.












PEMBAHASAN
Sekilas Mengenai Orientalis
Orientalisme adalah sebuah istilah yang berasal dari kata orient yang secara harfiah berarti timur. Kata ini secara geografis berarti dunia belahan timur, dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa di timur. Sedangkan oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti hal-hal yang bersifat timur yang cakupannya amat luas. Sementara orientalis adalah ilmuwan Barat yang mendalami masalah-masalah ketimuran, yang di dalamnya tentang bahasa-bahasa, kesusastraan, peradaban dan agama-agama timur.
Sejauh ini, belum ada keterangan yang pasti mengenai kapan dan siapa tokoh barat yang pertama kali mengkaji dan mendalami Islam. Menurut Prof Ali Mustafa Yaqub bahwa masih ada perbedaan pandangan di kalangan para pakar mengenai hal itu ada yang mengatakan pada waktu perang Mut`ah (8 H) kemudian perang tabuk (9 H) dimana terjadi kontak pertama kali antara oran-orang romawi dengan orang-orang Muslim. Sementara para pakar yang lain berpendapat bahwa hal itu terjadi ketika pecah perang antara kaum muslimin dan Nashrani di Andalus (Spanyol), terutama setelah Raja Alphonse VI menguasai Toledo pada Tahun 488 H/ 1085 M
Hasan hanafi pernah mengatakan "Orientalisme lama muncul di tengah ekspansi imperealis Eropa. Bangsa eropa pada saat itu sedang mengalami masa kemenangannya setelah berhasil menaklukkan Grenada dan penemuan geografis….orientalisme klasik muncul dengan membawa revolusi pradigma riset ilmiah atau aliran politik yang menjadi kecendrungan utama di abad ke-19 terutama positivesme, historisisme, santisme, rasialisme dan nasionalisme….orientalisme sekarang telah berubah bentuknya dan dilanjutkan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan terutama antropologi peradaban dan sosiologi kebudayaan…orientalisme klasik tidak mengambil posisi netral, tetapi banyak didominasi paradigma yang merefleksikan struktur kesadaran Eropa yang terbentuk oleh peradaban moderennya….orientalisme adalah kajian tentang peradaban Islam oleh peneliti dari peredaban lain yang memiliki struktur emosi yang berbada dengan struktur peredaban yang dikajinya.. orientalisme secara sengaja mengambil posisi keberpihakkan sampai pada tingkat buruk yang terpendam"
Pendekatan Orientalis dalam mengkaji Islam
1. Pendekatan Antropologis. Pendekatan Antropologi merupakan upaya untuk memahami sampai sejauhmana Faktor-faktor kemasyarakatan berpengaruh terhadap agama. David N. Gellner pernah menjelaskan bahwa salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah holisme, yakni pandangan bahwa praktik-praktik social harus diteliti dalam konteks dan cara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti.
Dalam mendekati dan memahami agama melalui pendekatan antropologis, tampak bahwa masyarakat sebagai sentral kajian para peneliti. Bagi antropolog, perilaku social masyarakat beserta segenap fenomenanya, merupakan factor yang turut mempengaruhi agama. Sebagaiman sistem sosial lainnya, agama merupakan bagian dari sistem sosial.

2. Pendekatan Fenomenologis. Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani: phainestai, artinya: "menunjukankan" dan "menampakkan dirinya sendiri".sebelum Edmund Husserl (1859-1038) istilah tersebut telah digunakan oleh beberapa filosof, Immanuel Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan nomina adalah realitas (das sein) yang berada diluar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan nomina yaitu diluar (berupa benda-benda atau hal yang menjadi obyek kesadaran kita).
Adapun kerangka kerja pendekatan fenonemologis menurut Noeng Muhajir antara lain; pertama, pengamatan obyek yang ditelaah secara holik, secara keseluruhan sebagaimana adannya, kedua, berangat dari empiri lapangan; teori dikontruksikan di lapangan dan bukan berdasar konseptualisasi kita peneliti, melainkan berdasarkan konseptualisasi masyarakat yang diteliti itu sendiri, ketiga, mengambil sample yang diduga memiliki ekstrimitas tertentu agar hal yang substansial bias muncul, keempat, luwes terhadap rencana sendiri yang secara terus-menerus menyesuaikan pada empiric di lapangan kerena obyek yang diteliti mungkin saja bergeser atau berubah. Selain kedua pendekatan di atas masih adalagi beberapa pedekatan lain seperti; pendekatan filosofis, Sosiologis, Teologis dan lain-lain.
Nabi Muhammad di Mata Orientalis
Islam yang telah tersebar di berbagai penjuru dunia ini, dibawa oleh seorang al-ummy yang lebih dikenal dengan sebutan al-amin adalah sosok yang diidolakan, yang dipuja-puji oleh seluruh kaum muslimin, tidak ada dari kaum muslimin membicarakan Nabi kecuali yang diangkat adalah kebaikan, kebajikan dan ketauladannan beliau.
Berbeda dengan persepsi mayoritas kaum muslimin, kaum orientalis mereka berbeda pandangan menganai pribadi tergantung dari sudut mana mereka memandang beliau, berikut ini berbagai pandangan orientalis menganai pribadi Nabi:
Dante menempatkan Muhammad, dengan tubuhnya terbelah dari kepala sampai ke pinggang, pada tingkatan ke-28 dari inferno (neraka), dan melukiskannya mengoyak-ngoyak dadanya dengan tangannya sendiri, sebab dia itu adalah pemuka dari jiwa-jiwa terkutuk yang membangkitkan perpecahan dalam agama. Kejahatan Muhammad adalah mengembangkan agama palsu.
Melihat pandangan Dante Aligheri di atas, dapat kita katakan bahwa pandangan itu adalah pandangan yang sangat tidak objektif, jauh dari sikap ilmiah dan pandangan yang berasaskan prasangka akibat masih berbekasnya permusuhan dan kebencian yang diwariskan perang salib
Berbeda dengan Dante, Jean Francois Volteire (1694-1778) seorang pujangga dan ahli pikir berkebangsaan prancis. Dia adalah orang akan menghargai dan menghormati Nabi apabila Nabi bukanlah seorang yang bukan berasal dari kalangan para pedagang. Dibeberapa tempat dari karya dia memang sangat menghargai Nabi akan tetapi dia tetap tidak mau menghargai Nabi sebagai seorang Nabi yang mengaku menerima wahyu dari Tuhan yang dibawa langsung oleh al-Amin malaikat jibril. Sebagaimana sikap Volteire hal yang sama juga diterapkan oleh Savary (7152) seorang orientalis berkebangsaan prancis penganut free-thingking.
Jika kita melihat pandangan tokoh-tokoh orientalis pada masa klasik, maka kita tidak akan banyak menemukan dari tokoh-tokoh itu menilai nabi secara utuh dan bersifat positif kecuali apa yang pernah dikatakan oleh Thomas Carlyle (1795-1881) dia mengatakan “seratus dalapan puluh juta umat manusia mengakui Islam itu sebagai agama yang benar. Dan bagi sedemian besar jumlah manusia, ucapan-ucapan Muhammad dipandang bintang terang yang membimbing kehidupan. Dapatkah dikatakan mungkin sekian banyak makhluk yang diciptakan Tuhan sengaja hidup dan mati untuk itu sebagai penipuan yang tragis……..kita pun dapat menyebutkan dia sebagai seorang penyair atau pun seorang Nabi, karena kita merasakan bahwa kalimat-kalimat yang diucapkannya bukan kalimat-kalimat biasa. Semuanya itu mempunyai sumber langsung dari realitas terdalam dari segalanya, karena ia hidup akrab sekali dengan relitas tersebut. Muhammad menampak sorotan hokum-ilahi atas eksistensi, kemegahan hidup dan langit yang menyilaukan dan membingungkan, di dalam kegelapan yang terbesar yang mengancam maut ia menyebutnta wahyu dan malaikat jibril, dan siapakah diantara kita bias menyebutkan apakah itu?”
Adalah sebuah kenyataan jika pada masa klasik para orientalis kebanyakan dari mereka tidak objektif dalam memandang pribadi Muhammad, karena memang bekas-bekas permusuhan dan kebencian terhadap Islam semenjak perang salib masih tetap tertanam di dada mereka. Terkecuali dalam hal ini adalah Thomas Carlyle, seorang yang sudah tidak percaya lagi akan kebenaran ajaran agama yang ia anut atau dalam tradisi kita ia dapat dikatakan sebagai seorang yang telah murtad.
Berbeda dengan masa klasik, pada abad modern, para tokoh lebih banyak mulai bersikap objektif dan positif, memandang Nabi sebagai seorang yang diturunkan wahyu dan bertatap muka langsung dengan malaikat jibril, sikap semacam ini akan kita dapati dari apa yang telah diungkapkan oleh Hamilton A.R. Gibb, akan tetapi kita tidak bisa memungkiri akan masih adanya tokoh-tokoh orientalis yang pandangan mereka sama seperti tokoh-tokoh pendahulu mereka. Berikut ini pernyataan dari Gibb:
“Bila seseorang memalingkan perhatian dari kegiatan umum dalam kehidupan Muhammad itu kepada kepribadinya dan pengaruh pada bidang moral dan social. Tidaklah selamanya mudah memperoleh titik temu antara kebencian teologis dari penulis-penulis barat pada masa lampau dengan apologi yang tidak meyakinkan dari penulis-penulis muslim zaman baru. Penelitian sumber-sumber belum cukup jauh untuk membuat kita mampu membedakan dengan penuh keyakinan antara tradisi (hadits) yang murni pada masa-masa permulaan dengan ciptaan-ciptaan belakangan. Mestilah diakui bahwa tokoh Muhammad itu amat menderita sekali oleh omong-kosong tentang tetak-bengek yang dikaitkan terhadap Muhammad oleh para pengikutnya pada generasi-generasi belakangan”
Apa yang diktakan oleh Gibb adalah merupakan sebuah kritikan terhadap para orientalis yang tidak mau melihat seorang Nabi Muhammad secara objektif, sekaligus sebuah kritikan terhadap pada pengikut Nabi yang telah memandang beliau secara berlebihan akibatnya melahirkan pengkultusan atas pribadi Nabi. Dan dari celah inilah para orientalis melancarkan serangan mereka untuk menghancurkan Islam
Al-Qur`an di Mata Orientalis
Dr. Syamsuddin Arif di awal tulisannya mengatakan "Al-Qur'an merupakan satu-satunya yang dengan tegas menyatakan dirinya bersih dari keraguan (lâ raiba fîhi) dijamin keseluruhannya (wa innâ lahû la-hâfizûn) dan tiada tandingannya" atas dasar inikah sehingga orientalis rela menghabiskan "energi" ratusan tahun kalau mautidak dikatan puluhan tahun untuk mengkaji al-Qur'an? Sehingga muncul pertanyaan dibenak mereka yang mengharuskan mereka untuk menjawab tantangan itu, seperti benarkah al-Qur'an di dalamnya tidak ada keraguan? Benarkah keontentikannya selalu terjaga? Dan sederet pertanyaan lain yang melingkupi al-Qur'an. Sebagaimana Prof Azami yang merasa "ditantang" oleh statement Toby Lester. ataukah ada motif lain yang menyebabkan mereka harus mengkaji dengan tidak melepaskan kritikan mereka terhadap al-Qur'an?
Untuk mengetahui motif yang melatar belakangi para oreintalis dalam mengkaji al-Qur'an berdasarkan beberapa pertanyaan di atas, jawab kami walaupun masih dapat dipertanyakan lagi adalah lihat saja hasil dari karya para orientalis apakah bertentangan dengan keumuman pandangan kaum Muslimin atau sebaliknya.
Satu hal yang sangat mendasar bagi orang yang ingin menguasai bahasa orang lain adalah dia harus menerjemahkan kata-kata dari bahasa yang ia pelajari kedalam bahasa asal yang ia pergunakan. Hal yang sama pula dilakukan oleh para orientalis ketika mereka akan mempelajari dunia Islam dan para pemeluknya, maka yang harus mereka lakukan adalah menerjemahkan al-Qur'an, tentunya susuai dengan bahasa mereka. Selain al-Qur'anm, mereka juga menerjemahkan kitab-kitab hasil karya para ulama terdahulu.
Dalam sebuah makalah Hamid Fahmi Zarkasy mengatakan bahwa penerjemahan Al-Qur`an ke dalam bahasa Latin dimulai pada tahun 1143 M oleh Robertus Retasensis atas arahan Peter the Venerable, Kepala Gereja Clugny. Mungkin yang dimaksud oleh Hamid Fahmy adalah Petrus Venerabilis/Pierrele Venerable. Berbeda dengan informasi yang diberikan oleh Hamid Fahmi informasi yang kami dapat adalah bahwa proyek penerjemahan ini dilakukan oleh empat orang, yaitu Pedro de Toledo, Hermann de Dalmatie, Pendeta Inggris Robert Kennet, dan dibantu oleh orang Islam yang bernama Muhammad. Dalam proyek penerjemahan tersebut mereka dibantu oleh seorang sekretaris khusus, Pierre de Poitier, yang bertugas meneliti hasil latin dari aspek bahasa. Proyek penerjemahan ini selesai pada tahun 1143. penerjemahan al-Quran kedalam bahasa baik Spanyol, Jerman dan lain sebagainya merupakan cikal-bakal dari kajian mereka dalam mengkritisi al-Qur'an.
Setelah pekerjaan menerjemahkan al-Quran selesai pada abad-abad selanjutnya yaitu yang dimulai sejak abad keduabelas, para sarjana barat mulai meningkatkan penelitiannya terhadap al-Qur'an. Dan hal pokok yang menjadi perhatian para oreintalis adalah studi naskah. Inilah yang pernah digembor-gemborkan oleh Alphonse Mingana pada tahun 1927 di Universitas Birmingham. Alphonse mengatakan walaupun dia hanya mengikuti jejak para pendahulunya. "sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur'an sebagaimana yang telah kita lakukan tewrhadap kita suci Yahudi yang berbahasa Ibran-Aremi dan kitab Kristen yang berbahasa Yunani".
Dari studi naskah ini dapat klasifikasi kedalam tiga kategori seperti yang dikatakan oleh Rahman "Literature barat pada zaman modern ini mengenai al-Qur'an, secara garis besar dapat di bagi kedalam tiga buah kategori; (1) karya-karya yang berusaha mencari pengaruh Yahudi-Kristen di dalam al-Qur'an (2) karya-karya yang mencoba untuk membuat rankaian kronologis dari Ayat-Ayat al-Qur'an; dan (3) karya-karya yang bertujuan untuk menjelaskan keseluruhan atau aspek-aspek tertentu saja di dalam ajaran al-Qur'an. Walaupun seharusnya karya-karya yang termasuk kedalam kategori ketiga inilah yang patut memperoleh perhatian yang paling luas, namun kenyataannya adalah sebaliknya".
"Ketiga kategori al-Qur'an di atas hanyalah secara ilmiah.walaupun hanya kategori ketiga saja yang paling dapat menerangkan al-Qur'an namun kategori pertama dan kedua sangat berguna untuk kesempurnaan ketegori ketiga ini. Pengetahuan mengenai latar belakang ayat-ayat al-Qur'an dan rangkaian kronologis (sejauh yang mungkin) ayat-ayat tersebut sangat penting untuk dapat benar-benar memahami maksud-maksud yang terkandung di dalam al-Qur'an".
Sahiron Syamsuddin dalam tulisannya dengan judul Memahami dan menyikapi Metode Orientalis dalam kajian alQur'an membarikan contoh karya-karya orientalis yang sesuai dengan tiga kategori di atas. Ia mengatakan Bell dalam bukunya, The Origins of Islam and its Christian Environment, jelas sekali mengemukakan bahwa Islam tidak lain hanyalah kepanjangan dari agama Kristen, dan al-Qur'an hanyalah produk Muhammad yang disusun berdasarkan tradisi Bibel yang sudah berkembang di kota Makkah. Berkaitan dengan pandangannya itu, Bell dengan mengelaborasi argument-argumen histories bahwa Muhammad, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah mengadopsi ajaran-ajaran Kristen ketika berhubungan dengan orang-orang kristiani.
Hal yang sama pula diucapkan oleh Dr. Phillip K. Hitti dalam bukunya Islam and The West yang dikutip oleh Maryam Jamilah adalah bahwa Sumber-sunber al-Qur'an itu jelas—orang-orang kafir Kristen, yahudi dan Arab. Hijaz sendiri terdiri dari beberapa wilayah yahudi walaupun tidak ada satu pun wilayah Kristen, tetapi disitu terdapat sejumlah budak dan pedagang Kristen. Wilayah itu dikelilingi oleh beberapa pusat peribadatan dimana gagasan Kristen bisa terserap di dalamnya. Nabi Muhammad memiliki dua orang budak dari Habsyi yaitu muazzin beliau, Bilal, dan anak angkat beliau di belakang hari, Zaid. Beliau juga mempunyai seorang isteri beragama Kristen, Mariyah al-Qibtiyyah, dan seorang isteri beragama Yahudi di Medinah yang beliau taklukkan. …karena bersumber tidak langsung dari cerita orang, maka bahan yang termaktup dalam al-Qur'an tidak membedakan yang asli sebagai wahyu dan yang bukan.
Yang kedua Sahiron memberikan contoh yang termasuk kedalam kategori ini ialah Geschischate des Qorans (karya Noldeke), Introdduktion to the Qur'an (karya Richad Bell) dan Materials for History of the Teks of the Qur'an, selanjutnya untuk kategori yang ketiga Sahiron memberikan contoh yaitu The Maind of the Qur'an karyanya Kennet Cragg.
Dengan menggunakan beberapa metodologi seperti yang akan dijelaskan nanti, dengan hasil akhirnya ingin mengatakan bahwa al-Qur'an yang dibaca oleh umat Islam adalah bukan wahyu dari Allah. Sebagaimana yang ditulis oleh George Sale pada muqaadimah terjemahan al-Qur'an kedalam bahasa Inggris yang terbit di London pada tahun 1736 M, "Adapun tentang Muhammad, ia adalah penulis Al-Qur'an dan pencetus utamanya; hal ini tidak perlu diperdebatkan lagi. Meskipun kerjasama Muhammad dengan orang lain untuk menulis al-Qur'an itu dicapai, tetapi perlu diyakini bahwa kerjasama seperti itu bukanlah suatu hal yang mudah; hal ini jelas karena pengikutnya tidak pernah memantah terhadapnya". Dan juga dengan maksud yang sama, John Pitt, seorang orientalis kelahiran Exeter pada tahun 1678 M. Pernah mengatakan bahwa al-Qur'an betul-betul bukan wahyu Allah, al-Qur'an adalah suatu kitab yang tidak diperlukan karena al-Qur'an hanyalah kumpulan dongen dan legenda kepalsuan yang dengan pertentangan dan kebingunan antara yang satu dengan yang lain.
M.M A`azami mengatakan bahwa Tampaknya terdapat beberapa pintu gerbang yang digunakan sebagai alat pernyarang terhadap teks al-Qur'an, yang pertama adalah menghujat tentang penulisan serta kompilasinya. Dengan semangat ini pihak orientalis mempertanyakan mengapa, jika al-Qur'an sudah ditulis sejak zaman Nabi Muhammad saw Umar merasa khawaitr dengan kematian para huffaz pada peperangan Yamamah, memeberi tahu Abu Bakar akan kemungkinan lenyapnya kitab suci ini lantaran kematian mereka. Lebih jauh lagi, mengapa bahan-bahan yang telah ditulis tidak disimpan di bawah pemeliharaan Nabi Muhammad saw sendiri? Jika demikian halnya, mengapa pula Zaid bin Thabit tidak dapat memanfaatkan dalam penyaiapan suhuf itu? Meskipun berita diriwayatkan oleh Bukhari dan dianggap sah oleh semua kaum muslimin, penjelasan itu tetap dianggap oreintalis bahwa apa yang didiktekan sejak awal dan penulisannya dianggap palsu.
Pintu gerbang kedua masuknya serangan terhadap al-Qur'an adalah melalui perubahan besar-besaran studi keislaman menggunakan peristilahan-peristilahan barat dalam karyanya Introduktion to Islamic law, Schacht, membagi fikih Islam kepada judul-judul berikut: orang (person), harta (Property) kewajiban umum (abligation in general), kewajiban dan kontrak khsusus (obligation and contracts in partikular) dan lain-lain…..Wansbrough melakukan hal yang sama terhadap al-Qur'an dengan membagi Quranic Studis menurut ketentuan berikut: prinsip-prinsip penafsiran (principles of exigesis), tafsiran masoreti (masoretic exegesis), penafsiran hagadi (hagaddik exegesis), deutangsbedurftigkeit, penafsiran halaki (halaki exegesis) dan retorika dan symbol perumpamaan.
Hal ini memasuki pintu gerbang ketiga dalam menyerang terhadap al-Qur'an: perulangan tuduhan yang ditujukan kepada Islam hanya merupakan pemalsuan terhadap agama Yahudi dan Kristen, atau bagian dari sikap curang dalam memanfaatkan literature kitab suci untuk kepentingan sendiri. Wansbrough, sebagai seorang penggagas tak tergoyahkan dalam pemikiran ini tetap ngotot, misalnya, ia mengatakan, "doktrin ajaran Islam secara umum, bahkan ketokohan Muhammad, di bangun di atas prototype kependetaan agama Yahudi" Pintu gerbang masuk ke empat adalah hendak memalsukkan kitab Suci al-Qur'an itu sendiri.


















DAFTAR PUSTAKA
Al-A`zami, M.M. Prof. Dr., Qur'anic Teks From Revelation to Kompilation Sejarah Teks Al-Qur'an dari Wahyu Sampai Kompilasi, Penerjemah: Sohirin Solihin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2005),
Arif, Syamsuddin, Dr., Al-Insan Jurnal Kajian Islam, vol 1, no. 1 januari 2006
Azami, M.M, Prof. Dr Hadis Nabawi dan sejarah kodifikasinya, Penerjemah: Prof. H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. (Jakarta: Pustaka FIrdaus, 2006)
Badawi, Abdurrahman, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: LKiS, 2003)
Jamilah, Maryam, Islam dan Orientalisme sebuah kejian analitik, (PT Raja Grafinco Persada, 1994)
Muhmud,,Moh Natsir DR, MA. Orientalis al-Qur`an di Mata Barat, (Semarang: Dina Utama Semarang, tth)
Rahman, Fazlur, Tema-Tema Pokok al-Quran, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996)
Sou’yb, Joesoef , H.M Orientalisme dan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995)
Syamsi, Badarus, MA, Post-Orientalisme Membongkar Citra Palsu Islam, (Jakarta: Sentra Media, 2006)
Ya’kub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004).
Zuhdi, Achmad, DRS. H. DH, M.FIL.I, Pandangan Orientalis Barat Tentang Islam Antara Yang Menghujat Dan Yang Memuji, (Surabaya: PT. Karya Pembina Awajaya, 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar