Rabu, 24 Juni 2009

PEMIKIRAN TRILOGI METAFISIKA IBNU THUFAIL

BAB I
PENDAHULUAN

Ranah filsafat Islam, khususnya di bagian Barat dunia Islam banyak diwarnai oleh karya-karya beberapa filosof yang mempunyai pandangan yang cemerlang. kalangan muslim spanyol telah menorehkan catatan paling mengagumkan dalam sejarah intelektual pada abad pertengahan (mediavelis) di Eropa. Antara pertengahan abad ke-8 dan ke-13. Orang-orang yang berbicara dengan bahasa Arab adalah para pembawa obor kebudayaan dan peradaban penting yang menyeruak menembus seluruh pelosok dunia. Selain itu mereka juga merupakan perantara yang menghubungkan ilmu dan filsafat Yunani klasik sehingga khazanah kuno itu di temukan kembali. Tak hanya menjadi mediator mereka juga memberikan beberapa penambahan dan proses transmisi sedemikian rupa sehingga memungkinkan lahirnya pencerahan di Eropa Barat. Dalam semua proses tersebut bangsa Arab-Spanyol mempunyai andil yang sangat besar.
Di antara pencapaian yang telah mereka peroleh adalah dalam ranah pemikiran filsafat dan tasawuf yang merupakan rantai yang paling kuat dalam mata rantai yang menghubungkan antara filsafat Yunani, Timur dan Latin Barat, pencapaian mereka semakin kokoh dan diakui terutama dalam kontribusi mereka yang telah berhasil melakukan upaya mengompromikan antara wahyu, akal dan intuisi serta agama dan ilmu pengetahuan. Untuk menunjukkan sisi dari kontribusi muslim Spanyol abad pertengahan dalam ranah fisafat akan penulis ketengahkan nama Ibnu Thufail yang merupakan tokoh filosuf muslim neo-platonis Spanyol yang telah mencapai orisinalitas karya yang sedemikian rupa yang hidup pada masa pemerintahan Dinasti Muwahhidun. Ia terkenal dengan pemikirannya yang salah satunya tertuang dalam roman filsafatnya yang terkenal Hayy ibn Yaqzhân. Dalam karyanya ini, Ibnu Thufail seperti merasa jengah dengan pertikaian dua proyektor besar dalam proses pencarian kebenaran, filsafat dan wahyu. Pertikaian yang diledakkan oleh al-Ghazali dengan Tahafut al-Falâsifah-nya, menentang Ibnu Sina dan al-Farabi dengan ajaran Aristotelian mereka. Pertikaian yang pada dasarnya ada pada ketidaksetujuan al-Ghazali yang fokus pada tiga ajaran para filososf, terutama Ibnu Sina dan al-Farabi, tentang keabadian alam, penolakan bangkitnya jasmani setelah mati, dan pengetahuan Tuhan yang universal. Ketiga hal yang benar-benar dianggap oleh al-Ghazali sebagai penyalahgunaan rasio untuk menyelewengkan agama.
Pertikaian ini coba didamaikan Ibn Thufail dengan mengatakan bahwa antara keduanya tidaklah jauh berbeda dalam memandang kebenaran yang sama, eksternal dan internal. Pemahaman agama melalui wahyu dan pemahaman agama melalui penalaran, melihat kebenaran dari sisi yang berbeda dengan hakikat yang sama.
Membahas pemikiran seorang tokoh seperti Ibnu Thufail akan menjadi menarik dan terus menarik sepanjang perkembangan khazanah intelektual muslim. Bukan saja karena corak pemikiran kefilsafatannya, namun juga karena Ibnu Thufail gemar menuangkan idenya melalui kisah-kisah ajaib yang penuh kebenaran sehingga semakin megukirkan nama besarnya.
Makalah ini merupakan hasil pengumpulan penulis dari beberapa literatur tentang Ibnu Thufail. Dalam makalah ini kami membahas pemikiran Ibnu Tufail atas trilogi metafisika serta relevansi pemikiran beliau di zaman sekarang. Sedangkan mengenai Ibnu Thufail penulis berupaya menganalisis hasil karya yang berjudul Hayy ibn Yaqzhân yang penuh lambang diantaranya pengetahuan tentang Tuhan serta kewajiban berbuat baik dan buruk.














BAB II
PEMBAHASAN

A.Biografi Ibnu Thufail
Namanya adalah Abû Bakar Muhammad ibn Abd al-Malik ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Thufail al-Qaisyi, dalam bahasa Latin ia populer dengan sebutan Abu Bacer, dilahirkan pada tahun 1110 M di Guadix atau di Wadi Asy, juga disebut Cadiz, sebuah distrik yang terletak cukup jauh di Timur Laut Granada. Masa kecil Ibnu Thufail di Andalusia adalah masa-masa di mana terjadi pergolakan politik yang luar biasa. Sebelas tahun setelah kelahirannya, Dinasti Murabithun yang didirikan oleh Yûsuf ibn Tasyfin yang sebelumnya menggulingkan Muluk ath-Thawâ’if pengambil alih kekuasaan Daulah Umayyah, ditundukkan oleh Ibnu Tûmart pada tahun 1121 yang kemudian mendirikan Dinasti Muwahhidûn. Setelah Dinasti Muwahhidûn berdiri, gejolak politik itu berangsur-angsur mereda. Kondisi kembali seperti masa-masa Dinasti Umayyah sebelumnya. Sevilla, Cordova, atau Andalusia secara umum kemudian kembali menjadi pusat peradaban Islam, yang menjadi salah satu paru yang berperan memajukan pendidikan Islam. Ilmu-ilmu warisan orang-orang seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, bahkan al-Razi juga al-Ghazali, kembali mengalir deras di wilayah-wilayah ini. Ibnu Thufail muda dalam situasi pendidikan yang dinamis seperti itu dididik dan diajarkan berbagai ilmu oleh orang tuanya, belajar filsafat, ilmu kedokteran, dan beragam ilmu yang lainnya, kemudian dia dikenal sebagai seorang dokter yang disegani di Andalusia.
Peran pentingnya dalam tubuh pemerintahan Dinasti Muwahhidûn pada masa itu dimulai ketika ia diangkat menjadi Sekretaris Gubernur Granada, diteruskan menjadi Sekretaris Gubernur Ceuta dan Tangier. Mengabdi pada putra Muhammad ibn Tûmart (1080-1130 M), Abd al-Mu’min ibn ‘Alî (w.1163 M). Setelah al-Mu’min wafat, Ibnu Thufail menjadi dokter istana dan wazir Abû Ya’qûb Yûsuf (memerintah 1163-1183 M). Sebagai ahli filsafat, Ibnu Thufail adalah guru dari Ibnu Rusyd (Averroes), ia mengusai ilmu lainnya seperti ilmu hukum, pendidikan, dan kedokteran, sehingga Thufail pernah menjadi sebagai dokter pribadi. Ia menjadi salah seorang terpenting di negerinya berada, serta memiliki pengaruh penting terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di Andalusia, karena melalui dialah Abû Ya’qûb Yûsuf yang cinta ilmu pengetahuan itu memberikan wewenang untuk mengundang orang berilmu dan terpelajar ke istana, salah satunya Ibnu Rusyd yang terkenal membela mati-matian filsafat dalam Islam. Ibnu Thufail seperti yang dikatakan oleh Leen E. Goodman menjadi menteri kebudayaan Abû Ya’qûb Yûsuf, selain juga sebagai dokter pribadinya. Satu jabatan yang lebih tepat disebut sebagai wazir jika melihat kedekatan antara Abû Ya’qûb dan Ibn Thufail seperti yang dikatakan Goodman.
Kehidupan Ibnu Thufail dapat dilihat sebagai sebuah kesuksesan yang dapat dijadikan aspirasi. Kehidupan seorang intelektual yang malang-melintang di sebuah istana, yang memberikan segala tentang dunia. Akhirnya setelah melampui masa-masa indah sebagai manusia, menjalani tawa dan canda bersama orang-orang istana, ia wafat di usianya yang telah senja pada tahun 1185 M, di Maroko, ibu kota kerajaan Dinasti Muwahhidûn.
B. Karya-karyanya
Hanya sedikit karya tulis yang dapat dikenal sebagai buah pikir Ibnu Thufail, di antaranya Rasâ’il fî an-Nafs, Fî Biqâ’ al-Maskûnah wa al-Ghair al-Maskûnah (karya Ibnu Rusyd yang dipersembahkan untuknya) menurut Ibn Khatîb buku ini dapat dikatakan sebagai karya Ibnu Thufail, dan Hayy ibn Yaqzhân, yang judul aslinya Risâlat Hayy ibn Yaqzhân fî Asrâr al-Hikmat al-Masyriqiyyat. Namun dari sekian karyanya itu, hanya Hayy ibn Yaqzhân yang lengkap sampai pada kita. Karya Ibnu Thufail ini merupakan suatu kreasi yang unik dari pemikiran filsafatnya. Sebelumnya, judul ini telah diberikan oleh Ibnu Sina pada salah satu karya esoteriknya. Demikian juga, nama tokoh Absâl dan Salman telah ada dalam buku Ibnu Sina, Salman wa Absâl. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Giovanni vico dolla Mirandolla (abad ke-15 M) sebagai karya besar ilmiah (magnum opus) yang menjadi referensi utama pada masa itu. Hayy ibn Yaqzhân juga diterjemahkan oleh Edward Pockoke juga dalam bahasa Latin. Edward Pockoke memberikan catatan khusus pada terjemahannya tersebut dengan philosophus autodidaktus (sang filosof autodidak), satu bentuk apresiasi yang diberikan pada Ibnu Thufail. Setelah adanya penterjemahan dalam bahasa latin ini, Hayy ibn Yaqzhân kemudian juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Simon Ockley, dengan judul The Improvement of Human Reason, pada tahun 1708 M. Kemudian disusul oleh edisi barunya dengan judul The History of Hayy ibn Yaqzhan pada tahun 1926 M. Terjemahan bahasa Perancis muncul setelah Leon Gauthier mengalihbahasakan Hayy ibn Yaqzhân dalam bahasa tersebut, karya dalam edisi bahasa Perancis ini bahkan di sertai dengan teks arabnya Hayy Ben Yaqdhan Roman Philosophique d’ibn Thofail. Hayy ibn Yaqzhân juga diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol, Jerman, Rusia, Belanda dan Indonesia.

C. Doktrin-doktrinnya
Untuk memaparkan pandangan-pandangan filsafatnya, Ibnu Thufail memilih metode khusus dalam bentuk kisah filsafat, dalam bukunya yang terkenal Hayy ibn Yaqzhân. Kisah ini ditulisnya sebagai jawaban atas permintaan seorang sahabatnya yang ingin mengetahui hikmah ketimuran (al-hikmat al-masyriqiyyat). Selain itu berat dugaan tulisan ini erat kaitannya dengan serangan al-Ghazali terhadap dunia filsafat. Buku Ibnu Thufail ini ingin mengembalikan filsafat ke tempat semula, yakni filsafat bukanlah barang haram. Pada sisi lain, agar filsafat dapat dimengerti oleh orang-orang awam, filsafat dikomunikasikan lewat kisah yang amat menarik. Biasanya komunikasi melalui cerita, diminati, dan cepat dicerna. Dengan demikian, tujuan yang hendak dicapai Ibnu Thufail melebihi akibat serangan al-Ghazali, yakni ingin memasyarakatkan filsafat. Maksud lain dengan bukunya itu ialah, Ibnu Thufail ingin menjelaskan bahwa agama pada asasnya sesuai dengan alam pikiran (filsafat). Dengan akalnya, manusia akan dapat menyelami maksud agama. Hanya dalam beberapa hal, terutama soal-soal peribadatan seperti salat, puasa dan haji, akal manusia masih terlalu lemah untuk menyelami hikmah yang sebenarnya.
Sebelum doktrin filsafat Ibnu Thufail dikemukakan lebih jauh, ada baiknya dipaparkan ringkasan kisah Hayy ibn Yaqzhân sebagai berikut:
Kisah ini dimulai dengan penuturan Ibn Thufail yang mengatakan bahwa ada dua versi tentang keberadaan Hayy ibn Yaqzhân. Pertama, Hayy ibn Yaqzhân dilahirkan oleh seorang puteri yang memiliki saudara seorang raja yang tiran. Sang raja yang mengutamakan kemegahan, melarang sang puteri menikah sebelum ada jodoh yang sederajat dengan mereka. Namun, secara diam-diam salah seorang kawan raja, bernama Yaqzhân, mengawini sang puteri. Sang puteripun akhirnya hamil, dan kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Karena takut ketahuan sang raja, maka sang puteri menghanyutkan anaknya ke laut dalam sebuah peti. Peti itupun sampai pada pulau Waqwaq, sebuah pulau tak berpenghuni manusia. . Pulau itu sepi dan terpencil, beriklim sedang, dan terletak di garis khatulistiwa yang oleh Harun Nasution dikatakan Kepulauan Indonesia. Peti yang berisi Hayy ibn Yaqzhân ini kemudian dihempaskan oleh air laut ke daerah dalam pulau, dan di situlah Hayy ditemukan oleh seekor rusa, yang kemudian mengasuhnya. Kedua, dikatakan bahwa Hayy ibn Yaqzhân lahir karena proses alam. Perpaduan antara unsur-unsur alam yang menyatu dalam tanah dengan tekstur dan kondisi dalam rahim, karena terolah dengan baik dalam waktu yang cukup lama oleh alam akirnya tanah tersebut melahirkan Hayy ibn Yaqzhân yang kemudian ditemukan dan dirawat sang rusa.
Selama tujuh tahun Hayy ibn Yaqzhân dirawat sang rusa, dan belajar bagaimana cara berkomunikasi, meminta tolong, dan berbagai isyarat komunikasi baik dengan hewan lain maupun rusa yang mengasuhnya. Dari sini ia mulai belajar dengan pengamatan inderanya, melihat binatang lain seusianya yang nampak memiliki kelebihan muncul pada tubuh mereka. Hewan-hewan yang ada di sekitarnya dengan sendirinya memiliki alat-alat pertahanan ada pada tubuh mereka, rusa jantan dengan tanduk mereka, banteng juga dengan tanduk mereka, macan dengan taring dan kukunya, elang dengan paruhnya, dan itu semua membuat Hayy ibn Yaqzhân kecil bertanya-tanya, kenapa dia tidak memiliki itu semua. Diapun belajar dengan melihat hal-hal itu, kemudian dia membuat baju untuk menutupi tubuhnya dari sengatan matahari yang awalnya berasal dari dedaunan, namun karena tidak dapat bertahan lama akhirnya dia dapatkan kulit hewan yang ternyata selain mampu melindunginya dari sengatan matahari juga mampu menahan dingin angin. Untuk pertahanan diri digunakannya tongkat untuk menghalau binatang buas yang hendak mengganggunya.
Pengetahuan Hayy bertambah lagi setelah secara tidak sengaja di dalam sebuah perjalanannya mengelilingi pulau ia menemukan api. Dari api itu ia dapat menghangatkan diri dan memperoleh penerangan ketika gelap melanda. Selain itu ia juga tahu bahwa api mampu menjadikan daging dan ikan menjadi lebih lezat setelah dibakar, mulailah ia selalu menggunakannya untuk memasak makanannya.
Ketika mengamati bahwa silih berganti apa yang ada di dalam ini kemudian musnah dengan sendirinya, disusul kematian rusa yang merawatnya, Hayy ibn Yaqzhân mulai menyadari bahwa alam ini tidak abadi, satu persatu semua akan berakhir pada ketiadaan. Ia menyaksikan bahwa segala eksistensi di alam ini bagaimanapun berbedanya ternyata mempunyai titik-titik kesamaan baik dari segi asal maupun pembentukan, maka ini mengarahkannya pada pemikiran bahwa segala yang ada ini bersumber dari subyek yang satu, dan kini dalam pikirannya telah tertanam satu zat tunggal yang diimani sebagai sang Pencipta segalanya. Hayy menemukan Tuhan melalui jejak-jejak suci yang ditinggalkan-Nya.
Pengamatannya berlanjut pada benda-benda langit, bahwa matahari terbit dan tenggelam, demikian juga dengan bulan dan bintang, yang kemudian memunculkan satu tesis bahwa alam ini begitu teratur. Hal ini menyiratkan ada Dzat Maha Sempurna yang mengaturnya yang tentunya Maha Kekal dan tidak sama dengan alam semesta ini yang tiada abadi, hilang dan silih berganti mengisi waktu.
Kematangan mulai nampak pada diri Hayy ibn Yaqzhân saat ia berusia 35 tahun, ia mulai mencari kebenaran melalui penelusuran ulang tentang cipta rasanya yang sudah-sudah. Ia mulai meraba-raba episteme mana yang membawanya pada kebenaran. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa, ia dapat mengetahui melalui tiga hal, akal dengan bantuan pencerapan indra, ruh, dan jiwa. Menuntunnya pada tingkatan-tingkatan yang pernah dilalui sampai yang kini dijalani, maqam keindahan spiritual melalui pancaran cahaya Ilahi.
Kisah inipun semakin menarik setelah kedatangan Absâl dari pulau seberang ke pulau Waqwaq. Ia juga seorang salik layaknya Hayy ibn Yaqzhân yang tengah sibuk dengan meditasi dan menikmati ekstasi spiritualitas yang dijalaninya, mencari ketenangan dan memilih jalan hidup kesendirian. Absâl ini berasal dari sebuah pulau yang dipimpin oleh Salman, sahabat Absâl yang memilih hidup zuhud di tengah masyarakat dengan melakukan ritual keagamaan secara biasa, karena hal inilah Absâl dan Salman kemudian berpisah. Di pulau yang dikira Absâl tidak berpenghuni ini, Hayy ibn Yaqzhân dan Absâl bertemu pandang. Karena tidak mau terganggu Absâl pun berlari dan bersembunyi. Hayy yang baru sekali seumur hidup melihat manusia lain dengan pakaian aneh yang dipakainya, mengejar dan mencari Absâl yang bersembunyi. Absâl akhirnya tertangkap, melihat ada orang aneh dengan kekuatan yang luar biasa ia nampak ketakutan. Namun, Absâl tetap mencoba berkomunikasi dengan Hayy yang dikiranya ingin berbuat jahat padanya. Dengan segala bahasa yang dimilikinya ia berkata pada Hayy ibn Yaqdzan, namun Hayy tidak memahami apa yang dikatakannya. Setelah tahu bahwa Hayy ibn Yaqdzan tidak bermaksud jahat dan tahu bahwa orang yang ada dihadapnnya tidak dapat berbahasa manusia, Absâl sedikit demi sedikit memberi petunjuk menandai sesuatu dengan bahasa. Dari sinilah Hayy mulai belajar berkomunikasi, dan kemudian mereka saling bertukar pikiran tentang pengalaman mereka. Absâl memberitahu Hayy tentang konsep-konsep qur'ani, yang berkenaan dengan Allah, malaikat-malikat, nabi-nabi, hari akhirat dan lain- lain.
Melalui informasi yang diperoleh dari Absâl, Hayy menyadari bahwa metode falsafi yang ia miliki telah membawa dirinya ke tingkat pengetahuan dan makrifat yang sejalan dengan ajaran agama yang diceritakan Absâl. Ia pun tahu bahwa orang yang membawa keterangan dengan ucapan-ucapan yang benar itu adalah rasul dan dia percaya kepadanya dan mengakui kerasulannya. Sebaliknya Hayy, juga menjelaskan pengalamannya dengan Allah kepada Absâl. Keterangan Hayy ini memperkuat keyakinan Absâl tentang ajaran agama yang diterimanya dan bertemulah akal dan wahyu ( al-Manqûl wa al-Ma'qûl ).
Merasa satu jalan dengan Hayy ibn Yaqzhân, Absâl yang merasa bahwa apa yang dijalani oleh masyarakat di tempatnya haruslah diubah, yaitu dengan jalan yang telah ditemukan Hayy ibn Yaqzhân. Ia ingin agar penduduk di kotanya memperoleh pencerahan seperti halnya Hayy ibn Yaqzhân memperoleh hal itu. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk berangkat ke kampung halaman Absâl. Kota itu diperintah oleh seorang raja yang bernama Salman, sahabat Absâl. Salman menerima ajaran agama seperti yang disampaikan nabi dengan kata lain, Salman lebih menyukai makna lahir (eksoteris) ia menyukai hidup di tengah masyarakat dan melarang orang untuk hidup menyepi. Hayy dan Absâl menyebarkan ajaran agama yang ditemukan Hayy ibn Yaqzhân, ajaran agama melalui penalaran dan penyelaman jiwa pada cinta Ilahi. Sesampainya di tempat Absâl, mereka berdua mulai berdakwah menyebarkan ajaran yang mereka bawa. Namun segala upaya yang mereka tempuh tidak menghasilkan apa-apa, dan penolakan terhadap ajaran yang mereka berikan yang kemudian muncul. Akhirnya Hayy ibn Yaqzhân dan Absâl memilih kembali ke pulau Waqwaq, dan tetap meyakini bahwa ajaran yang mereka bawa memiliki nilai lebih dibandingkan sekedar ajaran agama wahyu yang ada di tempat Absâl berasal. Mereka kembali menjalani hidup suci di padang pengasingan kehidupan.
Berikut adalah doktrin-doktrin filsafat Ibnu Thufail mengenai trilogi metafisika yang disarikan dari roman Hayy ibn Yaqzhân.
1. Ketuhanan
Dari hasil pengamatan dan pemikiran tentang alam semesta serta pengalaman hidupnya, Hayy sampai pada satu kepastian bahwa alam ini diciptakan oleh Allah. Dengan akalnya, ia telah mengetahuai adanya Allah. Dalam membuktikan adanya Allah, Ibnu Thufail mengemukakan tiga argumen sebagai berikut.
a. Argumen gerak ( al-harakat )
Gerak alam ini menjadi bukti tentang adanya Allah, baik bagi orang yang menyakini alam baharu maupun bagi orang yang meyakini alam kadim. Bagi orang yang meyakini alam baharu, berarti alam ini sebelumnya tidak ada, kemudian menjadi ada. Untuk menjadi ada mustahil dirinya sendiri mengadakan. Oleh karena itu, mesti ada penciptanya. Pencipta inilah yang menggerakkan alam dari tidak ada menjadi ada, yang disebutnya dengan Allah. Sementara itu, bagi orang yang meyakini alam kadim, gerak alam ini kadim, tidak berawal dan tidak berakhir. Karena zaman tidak mendahuluinya, arti kata gerak ini tidak didahului oleh diam. Adanya gerak ini menunjukan secara pasti adanya penggerak (Allah).
b Argumen materi ( al-Mâdat ) dan bentuk ( al- shûrat )
Argumen ini menurut Ibnu Thufail, dapat membuktikan adanya Allah baik bagi orang yang meyakini alam kadim maupun hadisnya. Berbeda dari Aristoteles dan Ibnu Bajjah yang hanya menggunakan argumen ini untuk membuktikan adanya Allah bagi orang yang meyakini alam kadim. Argumen ini didasarkan pada ilmu Fisika dan masih ada korelasinya dengan dalil yang pertama. Hal ini dikemukakan oleh Ibnu Thufail dalam kumpulan pokok pikiran yang terkait antara satu dengan yang lainnya, yakni sebagai berikut.
1) Segala yang ada ini tersusun materi dan bentuk.
2) Setiap materi membutuuhkan bentuk.
3) Bentuk tidak mungkin bereksistensi penggerak.
4) Segala yang ada ( maujud ) untuk bereksistensi memebutuhkan Pencipta.
Dengan argumen diatas, dapat dibuktikan adanya Allah sebagai pencipta alam ini. Bagi orang yang orang menyakini alam kadim, pencipta ini berfungsi mengeksistensikan wujud dari satu bentuk pada bentuk yang lain. Sementara itu, bagi orang yang menyakini alam baharu, pencipta ini berfungsi menciptakan alam dari tidak ada menjadi ada. Pencipta merupakan sebab dan alam merupakan akibat.
c. Argumen al-Ghaiyyat dan al-Inâyat al-Ilâhiyat
Argumen ini berdasarkan pada kenyataan bahwa segala yang ada di alam ini mempunyai tujuan tertentu. Ini merupakan inâyah dari Allah. Argumen ini pernah dikemukakan al-Kindi dan Ibnu Sina sebelumnya. Ibnu Thufail (juga filosof muslim lain) yang berpegang dengan argumen ini, menolak bahwa alam diciptakan oleh Allah secara kebetulan.
Menurut Ibnu Thufail, alam ini tersusun sangat rapi dan sangat teratur, semua planet, matahari, bulan, bintang, dan lainnya beredar secara teratur. Begitu juga jenis hewan semuanya dilengkapi dengan anggota tubuh yang begitu rupa. Semua anggota tubuh tersebut mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang sangat efektif kemanfaatannya bagi hewan tersebut. Tampaknya, tidak satu pun ciptaan Allah ini dalam keadaan percuma.
Demikianlah tiga argumen yang dikemukakan oleh Ibnu Thufail dalam membuktikan adanya Allah.
2. Alam
Menurut Ibnu Thufail alam ini kadim dan juga baharu. Alam kadim karena Allah memciptakannya sejak azali, tanpa didahului oleh zaman. Dilihat dari esensinya alam adalah baharu karena terwujudnya alam bergantung pada zat Allah.
Pandangan Ibnu Thufail mengenai kadim dan baharunya alam, tampaknya merupakan kompromi antara pendapat Aristoteles yang menyatakan alam kadim dengan ajaran kaum ortodok Islam yang mengatakan alam itu baharu. Untuk lebih jelasnya Ibnu Thufail membertikan contoh sebagai berikut.
Sebagaimana ketika anda menggenggam suatu benda, kemudian anda gerakkan tangan anda, maka benda mesti bergerak mengikuti gerak tangan anda. Gerakan benda tersebut tidak terlambat di segi zaman dan hanya keterlambatan dari segi zat. Demikianlah alam ini seluruhnya merupakan akibat dan diciptakan oleh Allah tanpa zaman. Firman Allah : Sesungguhnya keadaan-Nya, apabila Ia menghendaki sesuatu hanyalah berfirman kepadanya, jadilah, maka terjadilah ia. (TQS: Yasin: 50).
3. Jiwa ( manusia )
Jiwa manusia, menurut Ibnu Thufail, adalah makhluk yang tertinggi martabatnya. Manusia terdiri dari dua unsur yakni jasad dan roh (jiwa). Jasad tersusun dari unsur-unsur, sedangkan jiwa tidak tersusun. Jiwa bukan jasad dan bukan pula suatu daya yang ada di dalam jasad. Setelah jasad hancur atau mengalami kematian, jiwa lepas dari jasad, dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah selama berada di jalam jasad akan hidup dan kekal. Mengenai keabadian jiwa manusia dan hubungannya dengan Allah Ibnu Thufail mengelompokan jiwa dalam tiga keadaan berilkut.
a. Jiwa yang sebelum mengalami kematian jasad telah mengenal Allah, mengagumi kebesaran dan keagungan-Nya dan selalu ingat kepada-Nya, dan taat kepada-Nya maka jiwa seperti ini akan kekal dalam kebahagiaan.
b. Jiwa yang telah mengenal Allah, tetapi melakukan maksiat dan melupakan Allah, jiwa seperti ini akan abadi dalam kesengsaraan,.
c. Jiwa yang tidak pernah mengenal Allah selama hidupnya, jiwa ini akan berakhir seperti hewan.





BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan tentang pemikiran Ibnu Thufail di atas kita dapat mengambil suatu simpulan bahwa dalam pemikirannya, beliau menjelaskan bahwa ma'rifat itu dimulai dari pancaindera. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan inderawi. Sedangkan hal-hal yang bersifat metafisika dapat diketahui melalui akal intuisi. Jadi, ma'rifat dapat dilakukan dengan dua cara: pemikiran atau renungan akal, seperti yang dilakukan para filosof, dan kasyf, seperti yang dilakukan kaum sufi.
Melaui roman filsafatnya juga, kita bisa menemukan spirit penggabungan antara filsafat dan agama, keduanya sama sekali tidak bertentangan . Dalam hal ini, beliau berusaha untuk memasyarakatkan filsafat dan membuktikan bahwa dengan filsafat kita juga bisa mengetahui Allah sebagaimana Hayy ibn Yaqzhân. Usaha beliau ini sangat relevan untuk kita gunakan sebagai dalil bagi orang yang selama ini mempertentangkan antaara filsafat dan agama. Argumen beliau tentang bukti adanya pencipta alam ini (baik yang meyakini bahwa alam ini diciptakan dari ada menjadi ada maupun yang meyakini bahwa alam ini diciptakan dari tidak ada menjadi ada)juga sangat relevan untuk kembali kita kemukakan dihadapan pemikir atheis yang tak mengakui adanya pencipta alam.
Berkaitan dengan hal tersebut, Ibnu Thufail mengajarkan pada kita bahwa, semangat keagamaan, baik yang penerimaannya melalui wahyu atau penalaran, tidaklah elok bila saling menjatuhkan. Keduanya melihat kebenaran dari sisi yang dilihat masing-masing. Keduanya melihat kebenaran yang tunggal, kebenaran yang tidak sepatutnya diklaim dan dijadikan justifikasi untuk menegasikan atau bahkan mengkafirkan yang lain. Kebenaran tetaplah tunggal, tetapi cara melihatnya yang beragam.

DAFTAR PUSTAKA


• Mustofa, A, Filsafat Islam,2004, (Bandung: Pustaka Setia), cet. II.
• Nasr ,Sayyed Hossein dan Oliver Leaman, editor,2003, Ensiklopedi tematis Filsafat Islam (buku pertama), penerjemah Tim Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan).
• Nasution, Harun, 1983, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia).
• Nasution, Hasyimsyah, 2005, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama).
• Syarif, M.M., editor, 1996, Para Filosof Muslim (buku ketiga), Penerjemah Tim Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan).
• Sudarsono, 1997, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta).
• Thufail,Ibn, 1997, Hayy ibn Yaqdzan(anak Alam Mencari Tuhan), penerjemah Ahmadie Thaha, (Jakarta: Pustaka Firdaus).
• Zar, Sirajuddin, 2007, Filsafat Islam, (Jakarta: Rajawali Pers).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar