Rabu, 24 Juni 2009

HADIS
(Diterjemahkan dari Shorter Encyclopedia of Islam, ed. H.A.R. Gibb & J.H. Kramers, dengan judul HADITH, Ithaca: Cornell University Press, 1953, h. 116-120)
Hadis; tradisi, kata hadis pada dasarnya berarti komunikasi atau cerita secara umum, baik yang berhubungan dengan agama maupun yang duniawi, kemudian artinya menjadi lebih spesifik yaitu riwayat semua perbuatan dan ucapan Nabi dan sahabatnya. Dalam pengertian selanjutnya, keseluruhan dari riwayat yang berasal dari tradisi Nabi Muhammad SAW disebut hadis. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu hadis.
I .POKOK PERSOALAN DAN KARAKTERISTIK HADIS
Di kalangan penyembah berhala (kaum musyrikin) Arab, mengikuti sunnah (tradisi) nenek moyang mereka anggap sebagai suatu kebajikan. Tetapi dalam Islam, konsep sunnah tidak lah seperti yang dimaksud oleh kaum musyrikin (mengikuti tradisi nenek moyang). Komunitas muslim mempunyai konsep baru dari istilah sunnah, yaitu setiap mu'min harus mengikuti semua perilaku yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dalam setiap keadaan di kehidupan mereka, untuk itulah mereka berusaha dengan gigih menjaga dan melestarikan riwayat yang berasal dari nabi dan para sahabat.
Orang-orang yang paling mengetahui seluk beluk sunnah nabi adalah generasi sahabat, karena mereka telah mendengat perkataan nabi secara langsung dan menyaksikan perbuatan beliau dengan mata kepala mereka sendiri. Selanjutnya adalah generasi tabi'in, mereka menerima riwayat dari para sahabat secara langsung, generasi yang ketiga adalah para tabi' at-tabi'in, kemudian ulama-ulama yang hidup setelah mereka sampai kepada kita.
Hadis dapat terpelihara dengan baik selama beberapa generasi, karena ia terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi nama-nama periwayat hadis tersebut (orang yang menerima dan menyampaikannya kepada orang lain), bagian ini disebut isnad atau sanad (sandaran) yang berfungsi sebagai bukti kebenaran suatu riwayat. Misalnya ketika seorang periwayat mengatakan "Aku telah mendengarnya dari si A, dan si A juga mendengarnya dari B” dan begitu seterusnya harus ada ketersambungan riwayat sampai kepada nabi. Bagian kedua dari hadis adalah matn atau teks hadis, ia adalah substansi dari riwayat tersebut.
Setelah wafatnya rasulullah SAW, ide-ide dan ungkapan relijius yang ada pada komunitas generasi pertama tidak bisa bertahan lama tanpa perubahan, satu periode baru telah tiba. Pembelajaran sudah mulai tersistematis dalam pengembangan doktrin dan dogma untuk memenuhi dan menyesuaikan dengan kondisi yang baru. Setelah kekuasaan umat Islam meliputi daerah yang sangat luas, banyak ide-ide dan budaya baru diambil dari bangsa yang mereka taklukan. Tidak hanya dari bangsa Yahudi, dan Nasrani tapi juga dari budaya Hellenisme, Zoroaster dan Budhisme, budaya tersebut juga mempengaruhi kehidupan dan pemikiran umat Islam dalam berbagai bidang.
Meskipun begitu, pada dasarnya umat Islam tetap percaya bahwa dalam Islam hanya sunnah nabi dan contoh kehidupan para sahabat yang hidup kurun waktu terbaik yang bisa memberikan teladan yang baik bagi mereka. Karena kepentingan itulah akhirnya mereka lebih hati-hati kalau-kalau terjadi pemalsuan terhadap hadis. Para perawi hadis banyak meriwayatkan perkataan dan perbuatan nabi yang sesuai dengan dan dibutuhkan oleh generasi sesudah mereka (berikutnya). Sehingga sejumlah besar hadis yang beredar adalah hadis yang dibutuhkan oleh mereka, yaitu tidak hanya perkataan dan perbuatan nabi yang cocok dengan kondisi saat itu, namun juga teks Kristen yang berisi perkataan para rasul dan berita yang diragukan kebenarannya, pendapat-pendapat kaum Yahudi, doktrin-doktrin para filosof Yunani, dll yang disetujui dan disenangi masyarakat muslim, muncul dalam hadis dan dengan mudah dianggap sebagai perkataan Nabi Muhammad SAW. Tidak ada keberatan yang dirasakan dalam proses pengembangan hadis ini. Porsi yang sangat besar dari penganggapan bahwa perkataan-perkataan tersebut berasal dari Nabi berlaku dalam masalah ahkam (ketetapan atau peraturan yang sah), kewajiban-kewajiban agama, halal dan haram (yang dibolehkan dan dilarang), yang berhubungan dengan ibadah murni, hukum yang berkaitan dengan makanan, tindakam kriminal dan hukum sipil, juga hal-hal yang berhubungan dengan adab dan sopan santun. Selanjutnya mereka menguraikan masalah dogma, balasan di akhirat, surga dan neraka, malaikat, penciptaan, wahyu, nabi-nabi terdahulu, sesuatu yang erat kaitannya dengan relasi antara Tuhan dan manusia; beberapa hadis yang berisi masalah moral, dan cara bertutur kata yang baik atas nama Nabi.
Rangkaian pencatatan perkataan dan perbuatan Nabi terus meningkat dan terus meningkat sehingga tak terhitung banyaknya. Pada abad pertama setelah wafat Nabi, ada perbedaan yang sangat tajam dikalangan umat Islam pada permasalah sifat Allah. Sehingga setiap kelompok berusaha dengan sebisa mungkin untuk membela pendapat masing-masing dengan berdalil kepada perkataan dan keputusan Nabi. Siapa yang bisa mendasarkan pendapatnya kepada hadis Nabi tentu saja telah berbuat benar, namun semua kelompok mendasarkan pendapatnya kepada hadis, hal ini mengakibatkan tampaknya ada kontradiksi yang sangat banyak dalam hadis Nabi. Sementara para pendukung fanatis mazhab juga mencari pembenaran atas doktrin mazhabnya pada hadis.
Lebih lanjut, sebagian besar hadis Nabi tidak bisa dianggap sebagai sumber sejarah yang benar berasal dari Nabi. Bahkan mereka menyatakan pendapat yang dibuat oleh perawi dan beredar dalam rangkaian proses periwayatan hadis setelah wafatnya Nabi, namun mereka menganggapnya hanya berasal dari Nabi.
Ilmu pengetahuan berhutang sangat banyak kepada Ignaz Goldziher dan C. Snouck Hurgronje (lihat Verspreide Geschriften vol. 2, tulisannya yang lain tentang hukum Islam juga sudah dikumpulkan) yang pertama kali menjelaskan karakteristik dan sejarah hadis yang sebenarnya, hal ini sangat penting dalam masalah ini.
Meskipun pembuatan hadis dan kecerobohan periwayatan hadis disalahkan dan dikutuk oleh umat Islam, namun pengurangan bagian periwayatan tetap mereka akui pada beberapa kasus periwayatan, khususnya ketika berhubungan dengan hadis yang berisi pelajaran moral dan tata cara bertutur kata yang baik yang disandarkan atas nama Nabi.
Hadis kemudian menjadi sangat diagung-agungkan seperti al-Qur'an. Misalnya hadis-hadis yang biasanya dimulai dengan kata "Allah berfirman….", hadis ini disebut oleh ulama hadis sebagai hadis qudsi (hadis ilahi) kebalikan dari hadis nabawi (hadis Nabi). Daftar sejumlah hadis qudsi bisa ditemukan dalam berbagai kitab, contohnya kitab Misykat al-Anwar karya Ibn 'Arabi.
II. PENELITIAN ULAMA HADIS TERHADAP HADIS
Menurut anggapan ahli hadis, sebuah hadis hanya bisa dikatakan sahih apabila dalam sanadnya tidak ada yang cacat. Penelitian sanad telah menyebabkan ahli hadis melakukan penelitian terhadap jalur (thuruq) periwayatan. Mereka tidak hanya berusaha meneliti untuk mengetahui nama-nama dan keadaan para perawi, namun mereka juga meneliti dimana dan kapan mereka hidup, siapa saja yang pernah mereka kenal, bahkan mereka juga meneliti kedhabitan dan kejujuran serta keakuratan perawi dalam meriwayatkan hadis, untuk menentukan siapa diantara mereka yang tsiqah. Penelitian yang dilakukan oleh ulama hadis ini disebut al-jarh wa at-ta'dil (menilai baik dan buruk). Bisa disebut juga ma'rifat ar-rijal (pengetahuan tentang perawi hadis), ilmu ini dianggap sebagai ilmu yang sangat diperlukan oleh ahli hadis, oleh karena itu semua komentar atas kitab hadis mengandung sedikit banyak komentar terhadap para perawi. Berbagai macam usaha yang mereka kerahkan berkaitan dengan hal ini, yang akhirnya menghasilkan sebuah metode yang disebut thabaqat (biografi berisi para perawi hadis, ulama dan tokoh penting lainnya). Kitab yang paling terkenal dari metode ini adalah kitab ath-Thabaqat al- Kubra karya Ibnu Sa'ad (w. 230 H/844 M) dan Thabaqat al-Huffaz karya adz-Dzahabi (w. 748 H/1347 M). Ada juga kitab yang hanya berisi perawi yang lemah seperti kitab adh-Dhu'afa karya an-Nasa'i. juga ada kitab yang hanya memuat biografi para sahabat seperti kitab al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah karya Ibnu Hajar al-'Asqalani (w. 852 H/1448 M) dan Usud al-Gabah fi Ma'rifat ash-Shahabah karya Ibn al-Atsir (w. 630 H/1232 M).
Pendapat tentang ketsiqahan perawi mungkin saja berbeda diantara ahli hadis. Satu orang yang sama bisa secara mutlak dianggap tsiqah oleh satu mazhab namun mazhab yang lain menganggapnya lemah bahkan dianggap sebagai pendusta. Bahkan otoritas keadilan atau ketsiqahan para sahabat nabi sekalipun tidak diakui secara keseluruhan oleh ahli hadis. Sebagai contoh Abu Hurairah, terjadi perdebatan yang cukup sengit dalam menilainya. Keputusan yang berbeda ini biasanya dipengaruhi oleh pendapat atau doktrin mazhab yang berselisih. Bagaimana pun juga, kita harus ingat bahwa substansi (matn) hadis itulah yang paling penting dari hadis tersebut. Jika kejujuran seorang perawi diperdebatkan, hal ini biasanya karena bias dari doktrin yang bertentangan dengan isi hadis tersebut. Sehingga keputusan akhir mereka terletak bukan pada reputasi para perawi hadis tetapi pada matn hadis yang mereka riwayatkan.
Periode selanjutnya, setelah ritual ibadah, dogma, masalah politik dan institusi sosial telah mempunyai bentuk yang pasti pada abad kedua dan ketiga, muncullah opini bersama (pendapat yang disetujui bersama-sama) terhadap ketsiqahan para perawi hadis dan kualitas periwayatan mereka. Prinsip-prinsip utama dalam ajaran Islam telah dibukukan secara mapan melalui tulisan-tulisan Malik bin Anas, asy-Syafi'i dan ulama lainnya yang dianggap memiliki otoritas dalam bidang hadis dan hukum. Selama beberapa dekade, tidak ada yang berani meragukan kebenaran hadis, tidak pula berani menuduh Abu Hurairah –yang telah meriwayatkan banyak hadis- sebagai pendusta. Bahkan hadis-hadis yang secara jelas mengandung kesalahan karena bertentangan dengan fakta sejarah juga diterima dan dapat dipercaya. Hanya beberapa hadis yang ditolak. Namun secara garis besar mereka cenderung mempercayainya juga, paling tidak ketika hadis tersebut memberikan spirit perdamaian. Hadis-hadis yang tampaknya berlawanan tidak ditolak, karena penolaka terhadap hadis dianggap sebagi sikap yang ekstrim. Hadis-hadis tersebut juga dimasukkan ke dalam kitab-kitab hadis besar, solusi atas pertentangan tersebut ditempuh dengan cara diinterpretasi. Ahli hadis sepakat bahwa kualitas hadis tidak sama antara satu dengan yang lainnya, tetapi terklasifikasi berdasarkan kategori tertentu yang didasarkan pada kesempurnaan isnad, ketsiqahan para perawinya, dll.
III. KLASIFIKASI HADIS
Secara garis besar ada tiga kategori hadis; 1) sahih, yaitu apabila hadis tersebut tidak mengandung kesalahan periwayatan, bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh perawi yang dhabit dan kredibel, tidak mengandung 'illat dan kejanggalan (bertentangan dengan ajaran yang lebih kuat). 2) Apabila kualitas perawinya lebih rendah dari yang disebutkan tadi dari segi kedhabitan dan kredibilitasnya maka hadis ini disebut hasan. 3) Kategori terakhir adalah dha'if, yaitu apabila ada perawinya yang cacat atau isinya bertentangan dengan teks yang lebih kuat.
Apabila dalam matn hadis tersebut sudah terjadi penambahan atau pengurangan yang dilakukan oleh perawi, hadisnya disebut mudraj. Apabila hadis mudraj ini hanya diriwayatkan oleh satu orang perawi yang berstatus lemah, hadisnya disebut matruk (ditinggalkan),dan sekiranya hadis ini mengandung kesalahan yang sangat fatal, ia disebut maudhu' (palsu, dibuat-buat).
Tidak semua hadis menceritakan perkataan dan perbuatan nabi, kita juga bisa menemukan dalam sebuah hadis informasi tentang para sahabat dan tabi'in. dalam hal ini, hadis juga terbagi menjadi tiga kategori; 1) Marfu' yaitu sebuah hadis yang disandarkan kepada Nabi. 2) Mauquf, yaitu sebuah hadis yang disandarkan kepada perkataan atau perbuatan para sahabat. 3) Maqtu' yaitu hadis yang disandarkan kepada perkataan atau perbuatan para tabi'in.
Perbedaan selanjutnya dilihat dari kelengkapan isnad. Apabila mata rantai hadis tersebut tidak ada yang terputus sampai kepada sahabat Nabi dan Nabi, ia disebut hadis musnad. Apabila para perawi tersebut secara estafet melakukan hal yang sama dengan perawi sebelumnya atau terhadap riwayatnya, hadisnya disebut musalsal.
Jika isnad hadis tersebut bersambung dan sedikit jumlah perawinya sampai kepada Nabi, hadis ini disebut hadis 'ali (tinggi). Ketinggian sanad itu memiliki nilai yang sangat positif yakni menunjukkan kekuatannya, karena kemungkinan terjadinya cacat hadis pada sanad tersebut sangat sedikit, sebab setiap perawi boleh jadi telah membawa cacat. Oleh karena itu, semakin sedikit untaian rawinya, maka semakin sedikit celah-celah kemungkinan terjadinya cacat.
Apabila untaian perawi tidak terputus dan sempurna sampai kepada yang disandarkan, hadisnya disebut muttasil lawannya adalah munqathi'. Secara spesifik munqathi' adalah hadis yang gugur salah satu perawinya sebelum sahabat, tidak lebih dari satu orang dan tidak terjadi pada awal sanad. Hadis mursal adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi oleh seorang tabi'in dengan mengatakan "Rasulullah SAW bersabda….", baik ia tabi'in besar maupun kecil sedangkan dia sendiri tidak diketahui apakah pernah mendengarnya dari sahabat atau tidak. Apabila ada dua atau lebih perawi yang gugur di satu tempat, baik pada awal sanad, tengah,maupun akhir sanad, maka hadis ini disebut mu'dhal. Apabila ada hadis yang pada sanadnya terdapat ungkapan "fulan 'an fulan", dan tidak dijelaskan apakah hadis tersebut dieritakan oleh fulan kedua atau didengar darinya, maka hadis ini disebut hadis mu'an'an. Mubham adalah nama hadis yang dalam isnadnya ada seorang perawi yang tidak diketahui namanya, namun cuma disebut "dia".
Kategori selanjtnya dibedakan melalui thuruq (jalur periwayatn). 1) Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang secara adat tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah perawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad. 2) Masyhur adalah hadis yang memiliki sanad yang jumlahnya kurang dari jumlah mutawatir, namun perawi tersebut lebih dari dua orang. 3) 'Aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekurang-kurangnya dua orang. 4) Ahad adalah hadis yang diriwayatkan hanya oleh satu orang perawi. 5) Gharib adalah hadis yang asing, yaitu hadis yang perawinya menyendiri dengannya, baik menyendiri karena jauh dari seorang imam yang telah disepakati hadisnya maupun menyendiri karena jauhnya dari perawi lain. Gharib bisa dari segi sanad, bisa juga dari segi matn.
Istilah-istilah tekinis tersebut tidak dipahani sama secara keseluruhan oleh ahli hadis. Sebagi contoh Imam asy-Syafi'i tidak membedakan antara hadis maqthu' dan munqathi'. Pembagian hadis ke dalam beberapa kategori ini telah dibicarakan dalam kitab-kitab ulum al-hadis, misalnya dalam kitab Ulum al-Hadis karya Ibn ash-Shalah (w. 643 H/1245 M), at-Taqrib wa at-Taisir karya an-Nawawi (w. 676 H/1277 M) dikomentari oleh as-Suyuthi (w. 911 H/1505 M) dalam kitab Tadrib ar-Rawi , kitab Nukhbat al-Fikr karya Ibn Hajar (w. 852 H/1448 M) yang dikomentari oleh pengarangnya sendiri., dll.

IV. PENGUMPULAN HADIS
Sejumlah besar kitab koleksi hadis telah dibuat oleh muhaddisin, beberapa karya ini menghasilkan kitab hadis standar. Pengkodifikasian hadis-hadis valid secara resmi tidak pernah dilakukan. Pada awalnya, hadis-hadis tidak dibukukan menurut tema tertentu, tapi berdasarkan nama perawinya. Kitab koleksi hadis ini disebut musnad, kitab musnad yang paling baik adalah Musnad Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M).
Musnad yang seperti itu juga dibuat pada periode selanjutnya. Tetapi metode penyusunan kitab hadis yang sering dipakai pada periode selanjutnya adalah mengelompokkan hadis berdasarkan tema isinya. Misalnya kitab hadis yang disusun berdasarkan bab-bab, yang disebut mushannaf. Enam dari kitab-kitab berbentuk mushannaf ini disebut juga al-kutub as-sittah (enam kitab hadis standar) yang dibuat pada abad ketiga hijriah. Kitab-kitab hadis ini dikumpulkan oleh al-Bukhari w. 265 H/870 M), Muslim (w. 261 H/875 M), Abu Dawud (w. 275 H/888 M), at-Turmudzi (w. 279 H/892 M), an-Nasa'i (w. 303 H/915 M) dan Ibnu Majah (w. 273 H/886 M). kitab-kitab tersebut juga dianggap sebagai kitab sakral setelah al-Qur'an. Kitab al-Bukhari dan Muslim mendapat penghargaan yang lebih tinggi dari kitab-kitab yang lain, dua kitab ini biasanya disebut sahihain (dua kitab hadis sahih). Hanya hadis-hadis yang secara mutlak mereka anggap sahih menurut persyaratan mereka yang dimasukkan ke dalam kedua kitab ini. Dalam hal ini, syarat yang ditetapkan oleh al-Bukhari lebih ketat daripada syarat Muslim. Kitab hadis ini tidak cuma mengandung masalah hukum, halal dan haram, tetapi juga hadis-hadis sejarah, adab, dan ajaran-ajaran Islam yang lain.
Empat kitab hadis yang tersisa biasanya disebut kitab sunan, atau as-Sunan al-Arba'ah (empat kitab sunan). Kitab-kitab ini tidak hanya mengandung hadis-hadis sahih, namun juga hadis hasan dan dha'if. Jasa-jasa pengumpul hadis pada abad ketiga ini sangat besar, diantaranya mereka telah menetapkan kaidah menentukan hadis sahih, hasan dan dha'if.
Meskipun ada beberapa kitab hadis yang popular pada abad ketiga ini selain kitab yang enam tersebut, seperti Sunan ad-Darimi (w. 255 H/868 M), tetapi karya-karya tersebut tidak bisa mencapai kualitas dan kemasyhuran seperti yang sudah dicapai oleh al-kutub as-sittah. Namun kandungan hadis dari al-kutub as-sittah ini secara berangsur-angsur mendapat berbagai macam kritikan dari kritikus hadis, seperti misalnya Sunan Ibnu Majah, dianggap mengandung beberapa hadis dha'if. Ali ad-Daruquthni misalnya, mengemukakan berdasarkan penelitiannya terhadap kitab Sahih al-Bukhari dan Muslim bahwa ada sekitar 200 hadis dha'if di dalamnya.
Beberapa dekade selanjutnya, pengumpulan hadis dalam kitab-kitab masih terus berlanjut, yang kadang-kadang memakai metode yang berbeda dengan yang telah lalu. Misalnya kitab Mashabih as-Sunan karya al-Baghawi (w. 510 H/1116 M). ktab ini berisi hadis-hadis yang diambil dari kitab-kitab hadis yang ada terlebih dahulu tanpa menyertakan isnadnya. Kitab ini dikomentari oleh Wali ad-Din at-Tibrizi dalam kitab Misykat al-Mashabih. Kitab koleksi hadis yang timbul pada peridode selanjutnya adalah Jami’ al-Jawami’ dan Jami’ as-Saghir karya as-Suyuthi (w.911 H/1505 M). Tujuan utama pembuatan kitab ini adalah untuk memberikan sebuah koleksi kitab hadis yang komprehensif dari koleksi kitab-kitab hadis yang telah ada. Pengumpul hadis lainnya membatasi diri dengan hanya mengumpulkan hadis-hadis menurut tema tertentu (tematis), misalnya tentang moral, atau hanya mengumpulkan sejumlah hadis yang dianggap penting seperti al-Arba’in (koleksi hadis yang berisi 40 hadis penting).
Periode selanjutnya adalah pemberian komentar terhadap kitab-kitab hadis tersebut. Para pengomentar merasa seudah cukupu dengan pembukuan hadis dengan berbagai macam metode penyusunan. Komentar atas kitab-kitab tersebut dianggap sangat urgen pada saat itu, untuk menjelaskan maksud dan substansi yang diinginkan oleh hadis-hadis tersebut. Beberapa pengomentar kitab hadis sebut saja Ibnu Hajar (w. 852 H/1448 M) dan Qasthalani (w. 932 H/1517 M) yang telah member komentar atas kitab Sahih al-Bukhari, dan an-Nawawi (w. 676 H/1277 M) pengomentar kitab Sahih Muslim.
Mazhab Syi’ah menentukan kualitas suatu hadis berdasarkan kriteria mereka sendiri, hadis yang dapat diterima mereka adalah hadis yang berasal dari Ali RA , dzuriyat, dan pengikutnya. Hal ini tentu saja berbeda dengan kriteria yang ditetapkan oleh ahlu as-sunnah wa al-jama’ah. Beberapa kitab hadis karya mereka adalah: 1) al-Kafi karya Muhammad bin Ya’kub al-Kullini (w. 328 H/939 M). 2) Man la Yastairuhu al-Faqih karya Muhammad bin Ali bin Babuya al-Kummi (w. 381 H/991 M). 3) Tahzib al-Ahkam dan 4) al-Istibsar fi ma Ikhtalafa fi hi al-Akhbar (ringkasan kitab no 3) keduanya karya Muhammad at-Tusi (w. 459 H/1067 M). dan 5) Nahj al-Balaghah (yang menurut dugaan adalah kumpulan perkataan Ali) karya Ali bin Tahir asy-Syarif al-Murtadha (w. 436 H/1044 M) ada jjuga yang menyebutnya karya saudaranya Radi ad-Din al-Baghdadi.

V. PERIWAYATAN HADIS
Paradigma umum umat Islam menyatakan bahwa pembelajaran ilmu yang dianggap sakral hanya bias didapat melalui proses pembelajaran secara lisan dari guru yang juga telah mendapatkan ilmu dengan cara seperti ini. Cara seperti ini telah diaplikasikan oleh umat Islam dalam prosese periwayatan hadis. Sebuah hadis harus benar-benar “didengar” oleh perawi. Seorang pencari hadis biasanya mengadakan perjalanan panjang untuk mendatangi guru-guru yang sudah dikenal baik ketsiqahannya proses seperti ini disebut tahammul (membawa) hadis. Disebutkan dalam beberapa hadis nabi, perjalanan untuk mencari ilmu dianggap sebagai pekerjaan yang mendatangkan keridhaan Allah. Untuk informasi lebih jauh berkenaan dengan perjalanan untuk menuntut ilmu ini dan proses degradasi kualitas kedhabitan mereka karena pengaruh usia (bagaimanapun juga, sebagai contoh misalnya sementara muhaddisin membanggakan diri dengan perjalanan mereka melewati jarak yang jauh hanya untuk mendengar hadis-hadis yang hampir tidak pernah diketahui muhaddis yang lain) silahkan lihat Goldziher.
Dalam proses periwayatan, hadis disampaikan secara lisan oleh guru. Metode lain yang biasa dipakai adalah seorang murid membacakan sebuah kitab hadis sementara yang lain mendengarkannya, kemudian jika diperlukan guru akan mengembangkan apa yang telah didengar serta memberikan catatan atau komentar. Dalam kasus seperti ini biasanya seorang murid akan menyampaikan hadis dengan mengatakan haddatsani atau akhbarani, hal ini menunjukkan bahwa dia hadir pada saat pembacaan hadis tersebut. Seorang murid yang telah mendengarkan hadis di bawah pengawasan langsung oleh guru seperti ini, bisa meriwayatkannya lagi kepada orang lain, namun dia lebih sering menerima hadis dari gurunya saja. Metode seperti ini disebut juga ijazah (persetujuan, ijin) ia adalah metode paling awal dalam proses periwayatan hadis. Metode periwayatan hadis model lama ini tidak selalu digunakan. Metode penulisan dan pembandingan teks hadis lebiih sering digunakan, sehingga periwayatan hadis secara lisan jadi tidak digunakan. Hadis selanjutnya disampaikan secara sederhana dan ijin diberikan kepada murid untuk meriwayatkannya dengan susunan kata haddatsani, hal ini hanya bisa dilakukan jika teks hadis telah diketahui melalui penyampaian secara lisan dan pertemuan langsung dengan guru.
Dalam beberapa kasus tertentu,penulisan hadis dianggap sebagai sesuatu yang terlarang. Kepercayaan hanya diberikan kepada hadis-hadis yang telah dijaga melalui hafalan perawi yang tsiqah dan diriwayatkan secara lisan, tidak pada teks yang tertulis dan tidak diawasi secara teliti dalam penulisannya atau berasal dari riwayat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ibnu Asakir memperingatkan: “Berusahalah dengan sungguh untuk mendapatkan hadis dan carilah ia langsung dari perawinya, jangan mengambilnya dari tulisan, karena tulisan bisa berubah disebabkan pengaruh dari kerusakan teks. (Goldz h. 200).
Menulis hadis biasanya dilakukan oleh orang yang tidak terlalu kuat hafalannya. Bagaimanapun juga penulisan hadis pada masa itu berfungsi sebagai pembantu muhaddis dalam menghafal hadis, bukan sebagai media utama menghafal hadis, karena menurut mereka ilmu itu ada di dalam dada bukan dalam tulisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar