Rabu, 03 Juni 2009

PERBANDINGAN AGAMA

AJARAN BUDHA DALAM PANDANGAN ISLAM
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. (QS. Al-Jatsiyah: 23-24)
Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim dan menjadikan ‘Ketuhanan Yang Mahaesa’ sebagai salah satu dasar negara ternyata sangat toleran kepada para pemeluk agama yang sesungguhnya bukanlah penganut ‘Ketuhanan Yang Mahaesa’. Bukan hanya terhadap Kristen, Katholik, dan Hindu, tetapi juga terhadap agama Buddha yang sesungguhnya berpaham atheis (tak bertuhan).
Kebanyakan orang berfikir bahwa orang Buddha itu menyembah Buddha sebagaimana orang Kristen menyembah Yesus. Padahal tidak demikian. Dalam agama Buddha tidak ada sembah-menyembah. Buddha bukanlah sembahan, tetapi Guru yang mengajarkan bagaimana caranya keluar dari 31 alam dan lepas dari ruang dan waktu hingga berada di suatu alam yang disebut Nirvana.
Dalam ajaran Buddha, alam itu terdiri dari 31 alam. Di bawah ini adalah alam-alam tersebut berikut batas waktunya.
I. ALAM LINGKUP INDERA (11 alam)
A. Alam menderita
1. Neraka (tak tentu)
2. Binatang (tak tentu)
3. Setan Kelaparan (tak tentu)
4. Raksasa (tak tentu)
B. Alam Bahagia
5. Manusia (+/- 75-100 th)
6. Empat raja besar (500 ts)
7. 33 Dewa (1.000 ts)
8. Yama (2.000 ts)
9. Tusita (4.000 ts)
10. Bergembira dlm ciptaan makhluk lain (8.000 ts)
11. Penguasa ciptaan para makhluk lain (16.000 ts)
II. ALAM BENTUK (16 alam)
A. Alam Jhana pertama
12. Pengikut-pengikur Brahma (1/3 ak)
13. Menteri-menteri Brahma (1/2 ak)
14. Mahabrahma (1 ak)
B. Alam Jhana kedua
15. Cahaya terbatas (2 mk)
16. Cahaya tak terukur (4 mk)
17. Cahaya gemerlap (8 mk)
C. Alam Jhana ketiga
18. Keagungan terbatas (16 mk)
19. Keagungan tak terukur (32 mk)
20. Keagungan yang memancar (64 mk)
D. Alam Jhana keempat
21. Pahala besar (500 mk)
22. Non persepsi (500 mk)
23. Kediaman tak bergerak (1.000 mk)
24. Kediaman Suci (2.000 mk)
25. Kediaman Indah (4.000 mk)
26. Kediaman Pandangan terang (8.000 mk)
27. Kediaman murni tertinggi (16.000 mk)
III. ALAM TANPA BENTUK (4 alam)
28. Ruang tanpa batas (20.000 mk)
29. Kesadaran tanpa batas (40.000 mk)
30. Ketiadaan (60.000 mk)
31. Bukan persepsi bukan pula non persepsi (84.000 mk)
MK= MAHA KAPPA
AK= ASANKHEYYA KAPPA
TS= TAHUN SURGAWI
Dalam Sutta 8 Jaya Manggala dijelaskan bahwa Mahabrahma kekuatanya sangat jauh melebihi matahari terbit sampai melebihi matahari terbenam, tetapi di atas Mahabrahma masih ada 17 alam yang lebih dahsyat lagi kekuatannya. Dan agama Buddha beranggapan bahwa Mahabrahma ini adalah alam yang biasa disebut oleh agama lain sebagai Tuhan. Jadi mereka beranggapan bahwa Tuhan itu sendiri adalah salah satu dari alam, dan bukan pencipta alam. Tentu anggapan ini adalah keliru dalam Islam. Rabb adalah Pencipta segala alam. Rabb bukanlah alam itu sendiri.
Rabb, dalam pandangan Islam adalah Yang Menciptakan, Mengatur, dan Menguasai segala alam (makhluq). Rabbul ‘alamin dalam Islam adalah Allah. Tetapi dalam agama Buddha, segala alam itu ada dengan sendirinya tanpa diciptakan, sebagaimana diklaim juga oleh para evolusionist. Ajaran Buddha juga mengakui adanya evolusi alam. Namun berbeda dengan Darwinisme, Buddha tidak mengatakan bahwa manusia berasal dari kera yang berevolusi.
Dari sini kita dapat melihat bahwa Buddhisme merupakan paham tanpa tuhan (atheisme). Dalam agama Buddha, alam ada dengan sendirinya tanpa diciptakan. Buddhisme juga menolak konsep taqdir. Karena dalam Buddhisme, manusia mendapat kebahagiaan atau pun penderitaan adalah disebabkan perbuatannya sendiri yang timbul dari kehendaknya sendiri, yang mereka sebut dengan Karma.
Karena mereka menolak penciptaan, itu berarti bahwa alam ini ada tanpa awal. Alam ada tanpa diawali dengan ketiadaan. Maka alam juga tidak mempunyai akhir. Itu artinya, alam ini kekal. Maka Buddhisme juga menolak konsep kiamat.
Dalam Buddhisme dikenal konsep ‘purnabhava’ atau kelahiran kembali. Dengan demikian, manusia yang mati dapat menghuni kembali alam yang kekal ini sebagai manusia atau sebagai makhluq lainnya. Sungguh, ini hanya merupakan konsep takhyul yang hanya ada dalam khayalan para atheis untuk menolak eksistensi Allah. Mereka hanyalah kaum yang mengikuti hawa nafsunya dan berkata bahwa mereka ada tanpa campur tangan Tuhan.
http://hotarticle.org/buddhisme-dan-atheisme/

Kerancuan Pandangan Mengenai Lenyapnya Ajaran


Pada salah satu kotbahnya Sang Buddha Gotama menyatakan bahwa dalam proses berakhirnya era Beliau selama 5000 tahun ini akan ada lima kelenyapan, yaitu: lenyapnya pencapaian tingkat kesucian, lenyapnya Ajaran, lenyapnya pelaksanaan benar, lenyapnya simbol/bentuk luar, dan terakhir lenyapnya Relik.

Lenyapnya Ajaran berarti lenyapnya Tipitaka secara berangsur sampai tidak ada lagi orang yang mampu mengingat bahkan empat syair Ajaran Para Buddha. Tetapi selama Tipitaka masih ada secara utuh bersama kita maka kelenyapan Ajaran belum terjadi walaupun pada kenyataannya sekarang ini Dhamma-Dhamma palsu sudah mulai banyak bermunculan menjamur dan mewabah di berbagai belahan dunia memanfaatkan kesempatan dari kebodohan batin manusia yang semakin tebal. Pada saatnya nanti ketika Ajaran telah lenyap tentu saja Dhamma yang sejati tidak mungkin lagi dapat ditemukan dan pada waktu itu hanya Dhamma-Dhamma palsu dan semua ajaran yang bukan Dhamma yang dapat ditemukan. Inilah kesimpulan kita mengenai lenyapnya Ajaran.

Bertentangan dengan kesimpulan itu ada sekelompok orang yang membentuk intepretasi mereka sendiri sebagai berikut: Dhamma yang sejati tidak akan lenyap dari dunia sampai munculnya Dhamma yang palsu menggantikannya. Ketika Dhamma palsu muncul maka itulah waktunya Dhamma yang sejati lenyap." Jadi menurut mereka sekarang Dhamma yang sejati sudah tidak ada lagi karena sudah banyak Dhamma palsu menjamur di seluruh belahan dunia. Ini adalah salah satu bentuk kerancuan pandangan yang perlu diluruskan.

Ajaran Buddha yang sejati bukan lenyap karena ajaran palsu muncul dan menggantikannya melainkan karena memang masa berlakunya sudah berakhir. Ajaran yang sejati dan ajaran yang palsu bisa saja eksis dalam kurun waktu bersamaan seperti yang sekarang tengah terjadi. Jadi jelas sekarang bahwa karena Tipitaka masih ada dalam bentuknya yang utuh maka artinya Dhamma sejati belum lenyap walaupun ada banyak Dhamma palsu di mana-mana. Ini hanyalah merupakan bagian dari pertanda proses lenyapnya Dhamma secara berangsur. Ketika tiba waktunya nanti Dhamma yang sejati lenyap maka otomatis tidak ada lagi Dhamma sejati yang dapat ditemukan manusia, tentunya yang bisa ditemukan hanyalah Dhamma palsu.

Kerancuan Pandangan Mengenai Datangnya Buddha Metteya

Bagi siapa saja yang mengerti arti dari kata Sammasambuddha akan merasa sangat janggal bila diminta untuk percaya bahwa Buddha Metteya lengkap dengan ciri-cirinya telah lahir di bumi ini di antara kita dengan nama lain sekitar satu abad sebelum tahun 1943. (catatan: tanggal 1 Agustus 1943 tengah hari dihitung sebagai akhir dari sistem penanggalan Kali Yuga). Tetapi ternyata ada saja sekelompok orang yang percaya demikian. Mereka bisa berpandangan demikian tentunya karena mengambil sebagian dari isi kotbah tersebut dan mengabaikan sisanya, kemudian direka-reka sesuai dengan perhitungan dan perkiraan mereka sendiri, padahal seharusnya isi dari kotbah merupakan satu kesatuan jalan cerita. Ini juga salah satu pandangan yang perlu diluruskan.

Sama seperti empat Sammasambuddha yang telah muncul di bumi yang ini, Buddha Metteya adalah juga Sammasambuddha yang berarti Buddha yang mencapai Penerangan Sempurna dengan upaya sendiri tanpa bantuan makhluk lain kemudian membabarkan Dhamma kepada manusia dan dewa. Dengan demikian berarti selama Ajaran dari Sammasambuddha terdahulu masih eksis maka tidak akan mungkin muncul Sammasambuddha baru. Mengapa? Tentu saja karena bila Ajaran dari Buddha yang terdahulu masih eksis maka tidak perlu bagi calon Sammasambuddha yang bersangkutan untuk bersusah payah menemukan kembali Dhamma dengan upaya sendiri. Beliau cukup pergi ke perpustakaan lalu membaca kitab Tipitaka yang masih utuh dan lengkap atau pergi kepada bhikkhu suci yang masih hidup untuk belajar. Dan bila sekalipun kemudian calon Sammasambuddha itu mencapai tingkat kesucian tertinggi setelah membaca dan memahami Tipitaka maka Beliau tidak dapat disebut sebagai Sammasambuddha melainkan disebut sebagai Arahat Savaka Buddha yang artinya Orang yang mencapai tingkat Arahat karena belajar dari Ajaran Buddha. Jadi kesimpulannya Sammasambuddha hanya mungkin muncul pada saat dunia hampa dari Ajaran Buddha.

Mereka yang percaya bahwa Buddha Metteya telah lahir di antara kita adalah orang-orang yang sama yang percaya bahwa Ajaran Buddha sekarang ini telah lenyap total digantikan dengan Dhamma palsu. Mereka melihat semua gejala-gejala yang terjadi di dunia sekarang ini adalah sama dengan yang digambarkan oleh Sang Buddha dalam khotbahnya mengenai kehancuran moralitas seiring dengan semakin pendeknya usia manusia.

Pada kenyataannya memang benar bahwa sekarang banyak terjadi bencana alam, perang, pembantaian, wabah penyakit, kekurangan pangan, kemiskinan, kekerasan, pencurian, pembunuhan, dusta, fitnah, kata-kata kasar, membual, iri hati, dendam, pandangan sesat, berzinah dengan saudara sendiri (incest), keserakahan, pemuasan nafsu, kurang patuh pada orangtua, petapa, orangtua, dan pemimpin masyarakat. Memang benar Dhamma palsu banyak bermunculan. Memang benar Ajaran Buddha yang sejati semakin memudar. Memang benar semakin banyak orang berjubah bhikkhu yang melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan Vinaya. Memang benar relik ada yang berpindah tempat. Tetapi ini semua bukan otomatis berarti bahwa Dhamma sejati telah lenyap melainkan hanya merupakan bagian dari pertanda proses menuju akhir dari era ajaran Buddha Gotama sesuai dengan apa yang digambarkan dalam khotbah Beliau. Kemerosotan moral itu semakin hari akan semakin meningkat dari segi kwalitas, kwantitas dan intensitasnya sampai satu waktu mencapai titik puncak kebobrokan dari segala segi di mana manusia tidak mungkin bisa lebih bobrok lagi daripada itu.

Jadi sekali lagi hendaknya kita pahami bahwa sekarang Tipitaka masih utuh, berarti Ajaran Buddha belum lenyap jadi tidak mungkin Buddha Metteya sudah muncul. Apalagi dalam kotbah disebutkan bahwa kemunculan Buddha Metteya adalah pada waktu usia manusia rata rata 80.000 tahun sedangkan usia rata-rata manusia pada zaman sekarang hanya puluhan tahun saja dan semakin memendek dari waktu ke waktu dari generasi ke generasi. Artinya sekarang ini adalah periode menuju titik terendah usia manusia, yaitu 10 tahun. Setelah menyentuh titik balik terendah maka siklus usia manusia kembali bertambah secara berangsur menuju ke 80.000 tahun.

Kerancuan Sikap Mental Terhadap Buddha yang Akan Datang

Munculnya Buddha yang akan datang bernama Buddha Metteya adalah hal yang tidak perlu diperdebatkan oleh semua yang mengaku siswa Sang Buddha karena peristiwa itu memang pernah dinyatakan langsung oleh Sang Buddha Gotama sendiri. Kapan waktunya Beliau akan muncul juga tidak perlu dipersoalkan karena tentunya ketika masanya tiba dan kondisinya sesuai Beliau akan muncul. Yang penting mulai sekarang kita terus berupaya menyempurnakan Parami mumpung Ajaran Buddha Gotama masih tersedia agar kelak bisa lahir kembali dan meneruskan perjuangan dalam era Buddha Metteya seandainya kita tidak berhasil merealisasikan Tujuan Akhir dalam era Buddha yang sekarang ini.

Yang perlu diluruskan hanyalah sikap mental yang keliru sehubungan dengan penantian kemunculan Buddha Metteya. Sikap mental dan pandangan yang bagaimanakah yang dianggap keliru?

Pertama adalah pandangan bahwa era Buddha Gotama sudah berakhir bersamaan dengan Beliau Parinibbana sehingga Ajaran Beliau dianggap sudah basi, tidak relevan lagi di zaman sekarang. Dan karena era Buddha Gotama dianggap telah berakhir maka otomatis sekarang dipercaya sebagai era Buddha selanjutnya yaitu Buddha Metteya. Padahal mereka juga mengetahui dengan jelas bahwa Buddha Metteya belum lahir.

Sebetulnya ada kontroversi di dalam pandangan itu sendiri yaitu Buddha yang belum lahir dengan Ajaran yang sudah muncul. Suatu Ajaran disebut sebagai Ajaran Buddha tentu saja karena pertama kalinya diajarkan oleh Sammasambuddha sebagai penemu kembali Dhamma yang telah hilang lenyap di antara manusia dan dewa. Jadi Ajaran Buddha pastilah bukan ajaran manapun yang ditemukan dan diajarkan pertama kalinya oleh siapapun yang bukan Sammasambuddha. Jadi bila Buddha yang akan datang belum lahir otomatis berarti Ajaran Beliau pasti juga belum ada. Ini adalah logikanya.

Kedua adalah sikap mental terhadap Buddha yang akan datang. Karena menganggap Buddha Gotama sudah tidak punya kekuatan lagi maka yang menjadi sasaran permintaan dan permohonan tentunya adalah calon pengganti Beliau, yaitu Buddha Metteya. Kemunculan Buddha Metteya nanti digambarkan dan diharapkan sebagai juru selamat yang misinya membawa serta para pengikutnya mencapai Nibbana yang notabene diartikan sebagai kehidupan kekal dalam kebahagiaan abadi. Kata membawa serta ke Nibbana di sini cenderung diartikan seperti seorang ayah yang mengajak anak-anak kesayangannya pergi jalan-jalan ke mal. Atau juga seperti korban gempa yang menunggu dievakuasi ke tempat yang aman oleh tim penyelamat.

Berdasarkan kepercayaan itu maka dalam masa penantian ini orang yang bersangkutan akan melakukan puji dan puja kepada Buddha Metteya yang disertai permohonan agar Beliau tidak lupa membawa serta dirinya serta keluarganya ke Nibbana. Malahan untuk lebih memastikan nama orang-orang yang bersangkutan tidak ketinggalan maka dirasa perlu adanya pendaftaran dimuka yang tentunya disertai syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi dan sekaligus ditindaklanjuti dengan mengabdi dan berbakti demi terpenuhinya harapannya itu.

Ada apa yang salah dengan kepercayaan itu? Para Buddha dari segala masa tentunya termasuk juga Buddha Gotama dan Buddha Metteya hanya mengajarkan inti yang sama, yaitu:" Tidak berbuat jahat, senantiasa menambah kebajikan dan mensucikan batin." Untuk apa melaksanakan Ajaran ini? Tentunya untuk mencapai Tujuan Akhir yaitu Nibbana. Bagaimana bisa? Dengan melaksanakan Ajaran itu dengan benar maka tiga akar kekotoran batin, yaitu lobha, dosa dan moha akan terkikis sampai akhirnya lenyap tuntas.

Lobha, dosa, dan moha adalah penyebab dukkha artinya selama masih ada lobha, dosa dan moha dalam batin maka selama itu pula akan terjadi kelanjutan arus kelahiran atau tumibal lahir dalam samsara (lingkaran kelahiran dan kematian). Dengan lenyapnya ketiga akar itu maka tidak ada lagi kelahiran selanjutnya, tidak ada lagi dukkha, bebas dari samsara. Inilah yang dimaksud dengan Nibbana dalam pola pikir Buddhis.

Jadi jelas bahwa Nibbana yang dimaksud oleh Sang Buddha mesti dicapai dengan upaya melatih diri mengikis akar kekotoran batin sesuai dengan metode yang telah diajarkan Sang Buddha. Tidak ada Buddha yang pernah mengajarkan pengikutnya untuk minta diajak serta mencapai Nibbana seperti contoh anak kecil yang minta orangtuanya mengajak pergi ke mal. Sang Buddha adalah Guru penunjuk Jalan, kita semua lah yang harus berupaya sendiri berlatih mengikuti jalan atau petunjuk Beliau. Realisasi Nibbana adalah hasil perjuangan yang teramat panjang. Bukan hadiah. Bukan hasil undian atau pilih kasih. Bukan hasil memuja dan memuji. Bukan hasil mendaftar di muka. Bukan juga hasil dari memohon dan meminta. Setelah memahami demikian hendaknya kita tidak lagi mudah terperdaya pandangan salah.

Ciri ciri Ajaran Buddha yang Benar

Yang paling utama adalah bahwa Ajaran Buddha di era Buddha Gotama ini harus berdasarkan kitab suci Tipitaka yang merupakan rangkuman dari semua kotbah Sang Buddha selama 45 tahun. Bukan berdasarkan kitab lain. Kemudian jika Tipitaka diringkas dan diambil sarinya akan menjadi 37 faktor penerangan sempurna (bodhipakkhiya-dhamma). Bila dipadatkan lagi akan menjadi 7 Kemurnian (7 visuddhi), kemudian bila diringkas lagi menjadi sila, samadhi dan panna. Ketiga ini disebut tiga sikkha (latihan). Bila dijabarkan maka pelaksanaannya menjadi jalan mulia berunsur delapan (atthangika-magga).

Landasan pokok yang harus ada dalam setiap Ajaran yang menyatakan diri sebagai Ajaran Buddha adalah: tiga mustika (tiratana), tiga corak universal (tilakkhana), empat kebenaran Mulia (cattari ariya saccani), hukum kamma dan tumimbal lahir (kamma dan patisandhi/punabbhava), Nibbana.

Benang merah dari seluruh isi Ajaran dimaksudkan untuk melatih diri memahami realitas akhir Anatta, menyadari samsara sebagai dukkha, dan melaksanakan Jalan menuju akhir dukkha. Ajaran apapun namanya yang tidak ada benang merah ini pasti bukan Ajaran Buddha meskipun ajaran tersebut mengandung nilai-nilai kebajikan sekalipun. Hanya Buddha yang dapat menunjukkan Jalan menuju akhir dukkha.

Lunturnya Praktik Dhamma

Praktik Dhamma bisa dikatakan mudah, juga bisa dikatakan teramat sulit. Mudah dalam arti praktik Dhamma "hanya" berupaya mempraktikkan dana, sila, samadhi, dan panna dalam kehidupan sehari-hari sesuai kapasitas kita. Tidak mesti sampai menyendiri di gunung dan hutan kecuali bila kita sudah sampai tahap kemajuan tertentu di mana membutuhkan kondisi yang lebih khusus untuk bisa mencapai kemajuan lebih lanjut. Lalu di mana sulitnya? Ya, mempraktikkannya itulah yang sulit. Mengapa sulit? Ya, karena kita tidak membiasakan diri maka menjadi sulit.

Seberapa sering kita melihat, mendengar, mengetahui orang lain atau bahkan mengalami sendiri naik turun, pasang surut mempraktikkan dhamma. Pada suatu masa kita begitu rajin belajar dhamma, membantu menyebarluaskan dhamma, berdana, menjaga sila, melatih meditasi samatha dan vipassana kemudian pada masa selanjutnya kita mulai malas belajar dhamma, mulai kendur berdana, mulai melanggar sila kecil-kecilan, mulai malas bermeditasi. Ini adalah pasang surut yang sangat umum terjadi pada kita semua. Hal ini lumrah karena kita memang masih terlalu mentah untuk memahami dhamma. Tetapi kita sebenarnya bisa memilih untuk tidak menjadi bagian dari kelumrahan tersebut.

Lingkaran setan yang biasa ditemukan dalam hal praktik Dhamma adalah pada saat kita mulai kendur praktik maka pemahaman dhamma kita pun turut memudar, sejalan dengan semakin pudarnya pemahaman maka sudah tentu praktik menjadi semakin kendur lagi karena kita mulai lupa tujuan dan manfaat praktik Dhamma, sampai akhirnya satu saat kita sama sekali mengabaikan praktik dan melupakan dhamma. Ketika kita telah melupakan Dhamma maka batin menjadi gelap, kosong, gelisah, sangat menderita, serba salah sehingga mudah sekali kita terombang ambing mengikuti kepercayaan ini dan itu, terperdaya ajaran rendah dan terhasut pengertian sesat. Yang tidak kalah berbahayanya, batin yang kosong sangat rentan tergoda untuk melakukan perbuatan buruk karena telah hilangnya pengertian benar dan minimnya pertahanan pengendalian diri apalagi di tengah gencarnya serbuan godaan duniawi di sekitar kita seperti gemerlapnya harta kekayaan dan kekuasaan, kenikmatan narkoba dan minuman keras, seks, dan seterusnya. menjadi gelap, kosong, gelisah, sangat menderita, serba salah sehingga mudah sekali kita terombang ambing mengikuti kepercayaan ini dan itu, terperdaya ajaran rendah dan terhasut pengertian sesat. Yang tidak kalah berbahayanya, batin yang kosong sangat rentan tergoda untuk melakukan perbuatan buruk karena telah hilangnya pengertian benar dan minimnya pertahanan pengendalian diri apalagi di tengah gencarnya serbuan godaan duniawi di sekitar kita seperti gemerlapnya harta kekayaan dan kekuasaan, kenikmatan narkoba dan minuman keras, seks, dan seterusnya.

Itulah konsekwensi logis dari lunturnya praktik dhamma, seumpama orang yang ditutup matanya dan dilepas sendirian ke hutan belukar yang dipenuhi binatang buas dan jurang-jurang. Terlalu berbahaya. Ketika kita tidak lagi menyadari kesalahan sebagai kesalahan sehingga terus berbuat kesalahan sebagai bentuk kebiasaan maka kita menuju ke tempat gelap dan pintu-pintu empat alam apaya (alam rendah) akan terbuka semakin lebar siap menanti.

Lingkaran arah kebalikannya adalah semakin kita rajin praktik Dhamma maka otomatis pemahaman kita akan semakin mendalam. Dengan pemahaman yang semakin mendalam seiring dengan manfaat yang NAGAWI kita rasakan langsung, maka tekad kita akan semakin kuat untuk mencapai tujuan dan dengan demikian semangat bertambah untuk mempraktikkan dhamma lebih baik lagi dan sebagai hasilnya tentu pemahaman akan semakin dan semakin dalam sampai suatu saat nanti dengan upaya yang berkesinambungan mudah-mudahan tujuan luhur kita tercapai.

Batin yang senantiasa kokoh mengingat Dhamma tidak akan mudah terperangkap tipu daya pikiran sendiri untuk melakukan perbuatan buruk dan tentunya hampir tidak ada peluang bagi pengertian sesat untuk bisa masuk dan berkembang.

Penutup

Akhirnya untuk menghindarkan kesalahpahaman yang mungkin saja terjadi, perlu kiranya disampaikan bahwa tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menuding ataupun memojokkan aliran kepercayaan tertentu. Tujuan dari tulisan ini hanyalah memberikan pendapat dari berbagai sudut pandang yang mungkin dapat membantu para pembaca untuk merevisi pola pikir sehingga mampu menyadari kerancuan sebagai kerancuan sehubungan dengan fenomena yang terjadi dalam proses berakhirnya era Buddha Gotama supaya tidak terperangkap dalam kepercayaan salah yang tidak membawa manfaat kearah kemajuan perkembangan batin.

Kemudian bagi siapa yang menyadari bahwa praktik Dhammanya sudah semakin luntur, mudah-mudahan tulisan ini bisa membangkitkan kembali semangat Anda demi kebaikan Anda sendiri.

Sumber:
- The Requisites of Enlightenment (Bodhipakkhiya Dipani), A Manual by The Venerable Ledi Sayadaw, Buddhist Publication Society, Kandy 1971, Ceylon
- Prophecies of The Buddha, Buddhist Time Prophecies.htm
__________________

YO DHAMMAM DESESI ADIKALYANAM MAJJHEKALYANAM PARIYOSANAKALYANAM TI

Dhamma itu indah pada awalnya, indah pada pertengahannya dan indah pada akhirnya

http://www.indonesiaindonesia.com/f/35201-kerancuan-pandangan-mengenai-lenyapnya-ajaran/

Zainun Kamal: Penganut Budha dan Hindu adalah Ahlul Kitab
Oleh Redaksi
Konsep ahlul kitab dalam sejarah Islam selalu berkembang. Pada masa Nabi, ahlu kitab kerap dikaitkan hanya kepada agama Yahudi dan Nasrani, karena pada masa itu, Nabi Muhammad hanya berinteraksi kepada dua agama besar itu. Tapi, setelah Islam meluas, konsep ahlul kitab juga semakin luas. Beberapa ulama Islam, seperti al-Sahrastani dan al-Baghdadi, menganggap agama lokal Iran (Zoroaster) sebagai ahlul kitab.
Konsep ahlul kitab dalam sejarah Islam selalu berkembang. Pada masa Nabi, ahlu kitab kerap dikaitkan hanya kepada agama Yahudi dan Nasrani, karena pada masa itu, Nabi Muhammad hanya berinteraksi kepada dua agama besar itu. Tapi, setelah Islam meluas, konsep ahlul kitab juga semakin luas. Beberapa ulama Islam, seperti al-Sahrastani dan al-Baghdadi, menganggap agama lokal Iran (Zoroaster) sebagai ahlul kitab. Di Indonesia, ketika yang dihadapi Islam bukan hanya satu atau dua agama, maka konsep ahlul kitab juga perlu diperbaharui. Menurut Dr. Zainun Kamal, pengajar Pasca-Sarjana IAIN Jakarta, semua agama di Indonesia layak dianggap ahlul kitab. “Budha, Hindu, dan Shinto adalah ahlul kitab,” tegas alumnus Universitas al-Azhar, Mesir itu kepada Nong Daral Mahmada dari Kajian Islam Utan Kayu. Berikut petikannya:
Sebenarnya, bagaimana konsep ahlul kitab dalam Islam?
Secara bahasa, ahlul kitab adalah orang yang mempunyai kitab. Artinya orang yang mengikuti kitab suci yang diturunkan kepada salah seorang nabi. Secara singkat, ahlul kitab bisa diartikan orang yang mempercauyai salah satu nabi dan percaya kepada kitab suci, entah itu Yahudi atau Nasrani.
Dalam Alquran, kata ahlul kitab kerap kali ditujukan kepada Yahudi dan Nasrani. Apakah memang hanya dua agama ini saja yang layak disebut sebagai ahlul kitab?
Sebenarnya kalau kita melihat kitab-kitab tafsir atau buku-buku sejarah Islam, pengertian ahlul kitab tersebut tidak terbatas pada Yahudi atau Nasrani. Mengapa yang sangat populer adalah Yahudi dan Nasrani, karena dua agama ini memiliki penganut yang cukup besar. Padahal, asalkan sudah percaya kepada nabi dan percaya adanya kitab suci yang diturunkan kepada salah satu nabi, itu sudah bisa disebut ahlul kitab.
Artinya, kalau dikontekstualisasikan kepada lima agama yang diakui secara resmi di Indonesia, agama-agama selain Islam juga bisa disebut ahlul kitab?
Kita lihat dulu secara makro. Pemahaman klasik, misalnya menurut Imam Abu Hanifah, dan saya juga membaca al-Baghdadi dalam bukunya, al-Farq bayna al-Firaq. Al-Baghdadai mengatakan bahwa agama Majusi atau Zoroaster yang ada di sekitar Arab juga bisa disebut ahlul kitab. Alasannya karena Zoroaster dianggap sebagai nabi. Bahkan Ibnu Rusyd menyebut Aristoteles juga sebagai seorang nabi.
Kalau dalam konteks Indonesia, agama Budha, agama Hindu, atau agama Konghucu, agama Shinto, menurut Mohammad Abduh, dalam kitab tafsirnya, al-Manar, juga disebut ahlul kitab. Alasannya karena ada kitab sucinya. Dan tentu saja, kitab suci tersebut dibawa oleh seorang nabi. Pengertian nabi di sini diartikan sebagai pembawa pesan moral. Itu dikaitkan dengan ajaran Alquran bahwa “Allah mengutus kepada setiap umat seorang rasul (fabaatsna likulli ummatin rasula).” Jadi setiap umat itu ada nabinya. Dalam hal agama Budha, bisa dikatakan bahwa Sidharta Gautama adalah seorang nabi yang membawa kitab suci.
Tapi ada yang mengatakan bahwa agama Budha dan Hindhu bukan termasuk ahlul kitab?
Dalam pemahaman klasik, agama Budha, Shinto, dan Hindhu memang diklasifikasikan sebagai agama budaya atau agama ardhi (ciptaan manusia). Persoalannya begini, yang mengatakan agama Budha misalnya, disebut agama budaya (ardhi) itu siapa? Mereka, para penganut Budha, Hindhu dan lain-lain tentu marah bila disebut sebagai penganut agama ardhi (Bumi) Kenapa? Karena orang Budhha pun menganggap dirinya sebagai agama samawi (langit) dan mendapat wahyu.
Di dalam Alquran pun disebut bahwa Allah mengutus seorang rasul pada setiap umat. Juga, dalam ajaran kita, jumlah nabi dan rasul banyak sekali. Menurut riwayat, nabi berjumlah 12 ribuan, sementara rasul berjumlah 300-an. Alquran menyatakan bahwa sebagian nabi diceritakan kepada kita, dan sebagian besarnya tidak diceritakan. Karena itu, bisa saja pembawa agama sebelum Islam pun bisa disebut sebagai nabi. Kenapa? Coba lihat ajaran Budha, tinggi sekali ajaran moralnya. Tanda nabi adalah tingginya pesan moral yang dibawa. Coba lihat tafsir al-Manar jilid 6 yang mengisyaratkan panjang lebar soal ahlul kitab.
Dulu sewaktu saya di pesantren, saya pernah belajar juga di Sumatra Thawalib. Ada kitab al-Mu’in al-Mubin karangan Abdul Hamid Hakim. Dia menyebutkan juga bahwa Budha, Hindhu, Shinto dan sejenisnya disebut sebagai ahlul kitab.
Jadi pengertian ahlul kitab itu sangat luas?
Ya, benar. Bahkan menurut Abu Hanifah; kalau misalnya ada satu lembaran saja, misalnya kitab Zaburnya Ibrahim, orang yang mengimaninya sudah bisa dianggap sebagai ahlul kitab.
Bagaimana Islam menyikapi posisi ahli kitab?
Inilah yang sangat indah dalam konsep Islam dan tidak terdapat dalam agama lain. Sesungguhnya, kita wajib mempercayai adanya ahlul kitab dan kita wajib pula mempercayai bahwa mereka juga punya seorang nabi. Dengan begitu, kita harus mengakui eksistensi mereka.
Untuk itu, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak hidup secara berdampingan dengan mereka, saling bekerjasama dan tidak ada kendala sama sekali dengan mereka. Dalam Islam, ada konsep dasar untuk mempercayai nabi-nabi terdahulu, dan kurang sempurna iman seorang muslim yang tidak mempercayai kitab-kitab suci yang dibawa nabi-nabi terdahulu. Indah sekali konsep ini.
Artinya, Islam menuntut kita untuk bersikap toleran kepada mereka?
Benar, kita harus toleran dan terbuka. Bahkan dalam perjalanan sejarah, sewaktu syiar Islam sampai di daerah Spanyol, banyak di antara umat Islam yang kawin dengan penduduk asli Spanyol yang beragamag Yahudi dan Kristen. Mereka membangun Spanyol atau Andalusia bersama-sama.
Anda mengatakan Islam sangat toleran dengan ahlul kitab. Tapi, saya membaca beberapa buku yang menyebut bahwa ada sekelompok ahlul kitab yang memusuhi atau merugikan Islam. Bagaimana pandangan Islam dalam hal ini?
Sesungguhnya kalau mereka mengerti kitab-kitab suci mereka, pastilah mereka akan bersikap toleran terhadap agama lain. Seperti juga umat Islam, kalau benar-benar memahami Alquran, mereka pasti akan bersikap toleran terhadap agama lain. Tapi toh ada juga umat Islam yang tidak toleran dengan agama lain karena minimnya pemahaman mereka terhadap kitab suci.
Begitu juga penganut agama lain, juga ada yang tidak toleran. Karena itu, dalam Alquran dikatakan Laisu sawaan min ahlil kitab: yang berarti “Ahlul kitab itu tidak sama.” Karena itu, kita tak boleh berpikiran negatif kepada semua ahlul kitab. Masih ada ummatun qaaimatun yatluuna ayaatillah (suatu ummat yang membaca dan memahami ayat Tuhan siang dan malam, bersujud kepada Tuhan dan beriman kepada Allah dan hari Akhir). Ya’muruuna bil ma’ruf wa yanhauna anial- munkar (yang menyeru kepada kebaikan dan menjauhi kemungkaran). Orang seperti ini akan dijamin oleh Allah masuk surga.
Jadi, ujung-ujungnya adalah bagaimana kita bisa menjalankan ajaran kita sendiri sehingga kita bisa berbuat baik kepada penganut agama lain?
Sebelum kita menjalankan, kita harus memahami benar-benar ajaran kita. Banyak orang yang rajin sekali menjalankan ritual-ritual agamanya, tapi tidak memahami substansi ajaran kitab sucinya. Karenanya, perlu pemahaman dan penghayatan secara mendalam, sehingga dapat terefleksikan dalam perbuatan.
Kita melihat dalam kenyataan bahwa dalam setiap agama selalu ada klaim agamanyalah yang paling benar? Menurut Anda?
Soal claim of truth adalah hal yang lumrah. Misalnya Yahudi menolak klaim agama Kristen yang datang sesudahnya. Juga ada orang Nasrani yang menganggap agamanyalah yang paling benar ketimbang Islam yang datang belakangan. Kita juga kadang-kadang seperti itu juga. Artinya, kita tidak mau mengakui yang lain dan merasa kita yang paling benar. Itu wajar sekali. Kita mengklaim kebenaran ada di pihak kita. Yang paling penting adalah, pada saat kita mengklaim kitalah yang paling benar, kita harus memiliki alasan dan argumentasi yang logis. Alquran mengatakan: Fa’tu burhanakum in kuntum shadiqin (berilah argumen kalian jika kalian merasa benar).
Karena itu, barangkali kita bisa duduk dalam meja bundar dan kita bisa berdialog secara terbuka. Karena kita menolak yang lain, kadang-kadang kita menutup dialog dan tidak mau melihat kebenaran di pihak lain.
Bagaimana dengan persoalan fikih, misalnya soal perkawinan dengan ahlul kitab? Ada yang mengatakan bahwa sekarang ini, sudah tidak ada lagi yang namanya ahlul kitab?
Soal boleh tidaknya menikah antara laki-laki muslim dengan perempuan ahlul kitab, masalah ini bisa dilihat dalam Alquran surat al-Maidah (5) ayat 5. Di sana secara tegas dan qathiy disebutkan halal menikah dengan perempuan ahlul kitab. Sementara kalau seorang perempuan muslimah menikah dengan laki-laki ahlul kitab, masih terjadi perdebatan di antara ulama. Ini karena soal ini tidak disebutkan secara eksplisit dalam Alquran.
Jadi soal al-Maidah ayat 5, tidak ada khilafiah di antara ulama. Ini jelas boleh karena para sahabat banyak yang melakukan pernikahan dengan wanita ahlul kitab. Misalnya Usman dan Thalhah pernah kawin dengan wanita Yahudi dan Nasrani. Contoh yang sekarang adalah Yaser Arafat, pemimpin PLO Palestina, juga menikah dengan seorang wanita Kristen. Dan dosen-dosen saya di Universitas al-Azhar Mesir banyak yang menikah dengan perempuan non-Islam.
Kemudian mengenai anggapan bahwa sekarang tidak ada lagi ahlul kitab. Benarkah ini? Orang Nasrani sudah melakukan penyimpangan semenjak abad keempat masehi. Kitab suci mereka sudah mengalami perubahan sejak sebelum Islam muncul pada abad ketujuh masehi. Dalam Alquran dikatakan bahwa orang Nasrani sudah percaya kepada trinitas pada waktu Alquran turun. Walaupun mereka sudah percaya kepada trinitas, Alquran tetap meminta umat Islam untuk percaya kepada ahlul kitab. Meskipun mereka sudah menyimpang, mereka tetap dipanggil dengan sebutan ahlul kitab. Karena itu tidak ada perbedaan substansial dalam istilah ahlul kitab pada masa nabi dengan sekarang. Karena mereka tetap percaya kepada nabi-nabi dan kitab suci.
Singkatnya, orang-orang non-Islam sekarang bisa disebut ahlul kitab karena mereka masih mengakui adanya nabi dan kitab suci?
Yang tidak dibolehkan adalah menikahi orang musyrik. Coba lihat al-Baqarah ayat 22. Dalam ayat itu jelas-jelas disebutkan “jangan menikahi wanita-wanita musyrik.” Musyrik di sini adalah kaum musyrik Mekkah, karena mereka sama sekali tidak percaya adanya nabi-nabi dan kitab-kitab suci yang diturunkan kepada nabi mereka. Dalam Alquran, dari awal hingga akhir ada tiga golongan yang disebut: pertama, ahlul iman yang spesifik menunjuk kepada pengikut Muhammad, kedua, ahlul kitab dan ketiga, musyrik.
Karena itu, Alquran membedakan antara ahlul kitab dengan kaum musyrik. Dalam surah al-Bayyinah, Alquran menegaskan: “bukanlah ahlul kitab orang-orang musyrik.” Ini menunjukkan perbedaan substansial antara keduanya. Karena itu, Alquran melakukan pembedaan kategoris antara keduanya.[]
http://islamlib.com/id/artikel/penganut-budha-dan-hindu-adalah-ahlul-kitab/
Puasa : Kultural dan Spiritual
Salah satu ajaran yang memperlihatkan adanya kesamaan nilai dalam keragaman budaya adalah puasa. Ia merupakan ajaran agama yang diwariskan dari agama-agama sebelumnya. Sebagaimana tercatat dalam sejarah Islam, bahwa sebelum kedatangan Nabi Muhammad, umat Nabi yang lain diwajibkan berpuasa. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya.

Alquran pun telah banyak menceritakan puasa-puasa yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu, misalnya nabi Musa bersama kaumnya berpuasa empat puluh hari. Surat Maryam menyampaikan bahwa Nabi Zakaria dan Maryam sering mengamalkan puasa.

Ada juga istilah Puasa Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka pada tiap tahunnya yang yang dicontohkan oleh Nabi Daud. Nabi Muhammad SAW Sendiri sebelum diangkat menjadi Rasul telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa Asyura yang jatuh pada hari ke 10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain. Malah masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu turut mengamalkan puasa Asyura.

Istilah puasa memang tidak dikenal dalam Budha, namun, kosep puasa mirip dengan konsep pencapaian kebahagiaan sejati dalam agama budha. Dalam agama budha, untuk menggapai kebahagiaan, harus menghancurkan penderitaan. Penderitaan kadang terjadi akibat adanya keinginan yang tidak tercapai. Di sinilah diperlukan pengendalian diri untuk menolak sesuatu secara berlebihan, dan konsep pengendalian diri inilah yang mirip puasa. Dalam pengendalian diri tersebut, ada beberapa prinsip hidup yang harus dilalui untuk menang. Yakni, konsep menjauhkan diri dari kemewahan, seperti, tidak boleh menonton acara hiburan, tidak boleh tidur di tempat mewah, tidak boleh berhias, dan tidak boleh menerima pemberian berupa emas dan sebagainya. Proses untuk menjadi Bikhu (pemimpin tertinggi dalam ajaran Budha), ada 127 aturan yang harus ditaati. Termasuk, tidak boleh menyentuh wanita. Itu makanya, Bikhu tidak kawin, pasalnya, mereka menganggap, hubungan seksual sangat besar potensinya untuk mengotori pikiran.

Konsep puasa memiliki inti yang sama dengan konsep nyepi dalam agama Hindu. Konsep Nyepi, yaitu mengendalikan diri dari kehidupan duniawi. Dalam Nyepi, para penganut Hindu juga tidak makan, minum, serta melakukan aktivitas duniawi. Gede juga menambahkan, dalam konsep Hindu, ada beberapa fase dalam hidup manusia. Yakni, menuntut ilmu, melakukan aktivitas reproduksi, serta persiapan menjadi Pujangga atau Bikhu.
Prinsip pengendalian diri dalam agama Kristen katolik juga sama dengan puasa. Hampir sama dengan ajaran Budha, seorang Romo atau Pastor, juga dilarang untuk menikah. Keputusan tersebut berdasarkan perjanjian lama, di mana ada beberapa nabi yang tidak pernah menikah. "Mereka yang sudah mengambil keputusan untuk mengabdi pada kerajaan Allah, diwajibkan untuk tidak menikah seumur hidup," ujar Petrus.
Puasa dalam konsep Islam intinya mengendalikan diri dari aktivitas makan-minum dan seksual. Pengendalian ini terutama terhadap bagian atas perut (hati), perut dan bawah perut (alat kelamin), sebab ketiganya sangat potensial merusak. Untuk itu, kita menyucikan diri dengan puasa. Arahnya, bagaimana menjadi kaum Muttaqin dengan menahan potensi jelek yang bisa muncul dari manusia

Orang Yunani mengenal puasa dari orang Mesir purba. Mereka berpuasa sebelum mereka pergi berperang. Orang Roma yang mengikuti jejak langkah orang Yunani juga berpuasa, terutama apabila diserang oleh musuh dengan tujuan untuk memperoleh kemenangan. Mereka percaya amalan puasa akan menguatkan mereka dan mengajarkan mereka tentang kesabaran dan ketahanan, dua hal diperlukan untuk kejayaan dalam perjuangan melawan nafsu batin maupun musuh yang lahir.

Puasa bagi mereka yang menempuh kesengsaraan juga dilakukan oleh orang Cina purba. Kepercayaan Hellensitik purba, yakin bahwa Tuhan-tuhan mereka menyampaikan wahyu dalam mimpi setelah berpuasa dengan penuh ikhlas. Golongan Shaman (orang alim yang dikatakan mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan penyakit dan berhubung secara fisik), di kalangan orang Evenk atau dulu dipanggil Tungus dari Siberia, lazimnya menerima pandangan masa depan bukan dengan sesuatu ikhtiar tetapi setelah jatuh sakit yang tidak dapat diterangkan. Namun, selepas pandangan awal itu mereka berpuasa dan melatih diri untuk melihat pandangan yang selanjutnya dan untuk mengawal roh.
Di negeri Cina, mereka lazimnya berpuasa pada masa yang ditentukan sebelum melakukan suatu pengorbanan pada malam solstis musim sejuk, yaitu ketika kekuatan Yang (energi positif) dipercayai memulai kitaran barunya. Namun, amalan ini telah diberhentikan pada tahun 1949.
Dalam Kepercayaan Jain, berpuasa menurut cara-cara tertentu serta melakukan meditasi tertentu akan membawa kepada keadaan tak sadar, yang menjadikan individu dapat memisahkan diri dari dunia dan sampai ke tahap transenden. Judaisme juga sependapat, yaitu amalan puasa dapat menyebabkan keadaan tak sadar dan wahyu pun dapat diterima.

Adat Mesir dan Babylon purba menganggap amalan puasa sebagai satu cara untuk menebus dosa beserta tindakan lain yang menunjukkan kesedihan atas kesalahan tindakan. Ini kemudian diikuti oleh bangsa-bangsa lain yang menyifatkan puasa sebagai satu cara untuk menebus kesalahan dan dosa, lantas menghindarkan mereka dari kemurkaan tuhan.

Walaupun puasa secara formal tidak dititikberatkan dalam Perjanjian Baru (New Testament) daripada kitab Bible (bukan Injil). Ia akhirnya menjadi amalan suci penghuni padang pasir dan biarawan lelaki dan perempuan yang melihatnya sebagai suatu langkah penting untuk membebaskan jiwa dari keinginan dan ikatan duniawi. Namun, secara berangsur-angsur lahirlah amalan puasa yang bermusim dalam tradisi agama Kristian, seperti waktu Lent, yaitu 40 hari sebelum Easter untuk insaf. Hari-hari Rogation semasa musim bunga untuk mendapatkan hasil tanaman yang baik. Hari-hari Ember, yaitu masa untuk sembahyang dan puasa dalam setiap musim setahun. Terdapat juga puasa mingguan pada hari Rabu dan Jum’at, dan puasa sebelum merayakan upacara penting dalam kehidupan seseorang seperti pembaptisan, upacara pentahbisan (untuk menjadi paderi), kemasukan dalam golongan kesatria (knighthood), dan sambutan Eucharist. Karena perkembangan yang pesat dalam pergerakan suci pada abad pertama dan kedua, amalan puasa menjadi suatu cara penting untuk menanggalkan badan dari ikatan amalan kebendaan dan kesenangan, lalu menjadikan individu mencapai derajat tinggi yang baik dan mendekatkan dengan roh suci. Namun, para biarawan diberi peringatan supaya menjauhkan berpuasa dengan melampau yang dapat menyakiti badan dan roh.

Selain mengamalkan puasa 40 hari dalam waktu Lent, mazhab Katholik Roma dan Ortodoks Timur berpuasa semasa Advent, yaitu suatu jangka masa untuk bertaubat sebelum Natal. Di kalangan Katholik Roma amalan itu telah diubah sejak Kaunsel Vatican yang kedua (1962-65) untuk mengizinkan individu membuat pilihan yang lebih luas, dengan berpuasa wajib hanya pada hari Ash Wednesday dan Good Friday semasa Lent. Gereja Ortodoks Yunani pula telah menghapuskan puasa yang tegar sementara gereja-gereja Protestan umumnya memberi pilihan kepada ahli masing-masing untuk membuat keputusan sendiri mengenai amalan puasa.

Sami Buddha dari mazhab Theravada berpuasa pada hari-hari suci (uposatha) pada setiap bulan. Sementara dalam agama orang Cina klasik, puasa diamalkan sebelum masa mereka berkorban. Walaupun Buddha mengajar kesederhanaan dalam puasa, ramai sami Buddha lelaki dan perempuan berpegang teguh kepada adat makan hanya sekali sehari, dan mereka dikehendaki berpuasa pada hari bulan baru atau bulan penuh. Di kalangan penganut Buddha hari ini adalah lazim bagi mereka berpuasa dan membuat pengakuan atas dosa yang dilakukan sebanyak empat kali sebulan. Mereka percaya puasa adalah satu daripada 13 amalan yang membawa kepada kehidupan yang gembira di samping menjadi alat untuk menyucikan diri.

Dalam kepercayaan orang Yahudi, puasa adalah suatu jangka masa apabila seseorang menahan diri daripada makan dan tidur. Lazimnya ia bersangkutan dengan perbuatan menahan diri yang lain. Contoh dalam Bible termasuk Daniel yang tidak berurap (Daniel 10:3), dan keengganan (Nabi) Daud untuk menukar pakaian dan mandi semasa dia berpuasa (II Samuel 12:16-20).

Para rabai menyatakan bahwa puasa adalah jawaban kepada keperluan rohaniah dan membayangkan, dalam arti kata yang seluasnya, ia adalah suatu bentuk “penyiksaan kepada roh.” Maka puasa tertinggi pada Hari Penebusan (Yom Kippur) mengandung segala bentuk larangan di samping menjadi hari untuk sembahyang, insaf dan menahan diri.

Di samping peranannya dalam agama, puasa digunakan manusia untuk melahirkan suatu pandangan terutamanya dalam protes atau perpaduan. Mahatma Gandhi telah menggunakan pendekatan ini dengan berpuasa dalam penjara untuk menebus kekerasan yang dilakukan oleh pengikutnya yang tidak mengamalkan ajaran ahimsa (tanpa kekerasan) menentang Inggris di India. Dia kemudian selalu berpuasa untuk tujuan sosial dan politik yang lain.

Dick Gregory, seorang pelawak kulit hitam di Amerika tahun 60an, berpuasa yang bukan sahaja memprotes terhadap kehadiran askar Amerika di Asia Tenggara tetapi juga terhadap pencabulan hak asasi kaum kulit hitam di Amerika.

Pada tahun 1981, 10 orang nasionalis mati di penjara Belfast semasa aksi mogok makan yang dilancarkan, termasuk Bobby Sands, ketua mereka, yang meninggal dunia setelah 66 hari “berpuasa”. Mereka mendesak supaya mereka diterima sebagai tahanan politik bukan sebagai pemberontak.

Banyak tokoh sejarah dan sains juga berpuasa. Socrates dan Plato berpuasa selama 10 hari untuk kesehatan mental dan fisik. Pythagoras berpuasa selama 40 hari sebelum menduduki peperiksaan di Universiti Alexandria. Aristoteles, Galen, Paracelsus, dan Hippocrates turut berpuasa. Lama sebelum itu, Siddhartha Gautama atau Buddha telah mengamalkannya juga.

Menurut kitab Bible, Yesus (Nabi Isa) berpuasa selama 40 hari: “Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus” (Matius 4:2). Orang Kristian juga percaya bahawa Nabi Musa telah berpuasa semasa berada di Gunung Sinai selama 40 hari untuk menerima “loh batu, yakni hukum dan perintah, yang telah Kutuliskan untuk diajarkan kepada mereka” (Keluaran 24:12). Itulah peristiwa penurunan kitab Taurat.

Puasa telah menjadi bagian dari budaya masyarakat sebelum Tuhan menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad. Pengakuan ini paling tidak menunjukkan dua hal. Pertama, legitimasi teologis (tekstual). Yaitu bahwa puasa merupakan ajaran Tuhan yang diturunkan untuk peningkatan kualitas diri. Kedua, legitimasi budaya (kontekstual), yaitu bahwa puasa merupakan nilai luhur yang sudah membudaya dalam masyarakat sebelum Islam yang perlu terus dilestarikan. Adanya legitimasi teologis dan budaya akan menyebabkan puasa berdampak pada wilayah sosial sekaligus spiritual. Dua sisi yang sering dipahami secara dikotomis dan tersegmentasi oleh sebagian umat Islam.

Puasa sebagai tradisi agama-agama yang memiliki makna universal harus dijadikan energi positif bagi menguatnya pemahaman multikultural yang disemangati oleh nilai-nilai ketuhanan (rabbaniyah) dan kemanusiaan (insaniyah). Transformasi spiritual dan semangat multikultural yang dicapai lewat puasa idealnya bisa dinikmati dan dirasakan oleh seluruh umat manusia tanpa terjebak oleh sekat-sekat budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun teologis, apalagi politis.

Dalam konteks pelaksanaan ibadah puasa ini, maka refleksi-esoteris dan kesadaran-eksoteris harus tumbuh sebagai manifestasi dari proses internalisasi nilai-nilai ketuhanan. Inilah sebuah proses yang oleh filosof Kierkegaard (1813-1855) disebut sebagai proses dari aesthetic stage menuju religious stage. Maksudnya, puasa bukan sekadar firman (perintah) yang bersifat personal, tetapi juga amal (aktualisasi) yang bersifat sosial.(hasil copy-paste dari banyak sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar